Senin, 13 April 2015

Article#409 - Bahasa Semesta (Bagian 1)

Matematika, secara sederhana adalah bahasa yang dipakai sebagai naskah bagi perancangan alam semesta. Naskah yang disalahkaprahi sebagai simbol-simbol tanpa bantah, alih-alih ditanggap terjemah.
Mudah-mudahan sedikit cuplikan di bawah dapat mengajakmu menyelami khazanah kosakata milik bahasa semesta. Selamat menyaksikan.
(transkrip disadur dari edukasi.kompasiana.com, dengan sedikit pengubahan)

Math: Finding Harmony In Chaos 




Saya minta maaf karena tidak pakai, apa itu namanya? (Slide presentasi) mana-mana saya tidak bisa karena saya gagap teknologi benar. Saya, TEDx saja baru dengar seminggu yang lalu, hoo TEDx… serius bukan aku mau menghina, tapi karena memang aku tidak tahu. Ketika temanku bilang pokoknya udah 2 bulan yang lalu diundang TEDx, aku bilang ya udah mumpung di Bandung, senang aku Bandung. Tau-tau kemarin begitu ngobrol sama orang-orang TEDx ternyata TEDx itu “sesuatu”. Banyak yang aku sepelekan jadi, banyak banget dalam hidupku, dulu Gus Dur waktu maju juga aku sepelekan di depan publik “alaah Gus.. Gus.. ga mungkin jadi,” jadi presiden ternyata.

Aku ditugasi yang agak berat, karena udah paling siang dan disuruh ngomong soal matematik.
Baiklah aku mungkin akan awali bahwa Indonesia kurang maju karena matematika-nya rendah. Pendidikan saya di matematika, saya dua jurusan dan teknik sipil, dua-duanya tidak selesai. Karena bagi saya orang yang selesai kuliah itu orang yang meneruskan sejarah tapi orang yang DO itu orang yang menjebol sejarah.
Problemnya begitu kita dengar matematika, kita selalu kebayang hitung-hitungan, satu tambah satu. Padahal matematika bukan about itu, matematika tentang logika kita, tentang konsistensi logika kita.
Tidak ada pelajaran yang terbaik untuk melatih logika kita, konsisten, kecuali matematik.
Jadi di dalam bahasa saya, di dalam benak saya, Bahasa Indonesia itu ga ada cuma Bahasa Inggris, Bahasa Madura, Bahasa Perancis, Bahasa Aborigin, tapi juga ada Bahasa Matematika. Cuma kalau di matematika tambah itu pakai “+” kurang itu pakai “-“ sama dengan itu pakai “=” sama saja ada gramatikalnya sendiri, kalau lebih besar sama dengan ada. Ini jarang sekali ditanamkan ke publik sejak dini atau sejak anak-anak bahwa matematika adalah about language. Seandainya itu ditanamkan sejak SD dengan guru matematika. Mestinya di SD itu, profesor kalau di Jepang profesor-profesor doktor nya justru mengajar tingkat rendah karena untuk dasar. Diajarkan bahwa yang penting itu tingkat dasarnya, kalau diajarkan bahwa matematika itu logika, kita nggak akan jadi kayak gini.

Karena logika kita nggak konsisten, misalkan konsisten, saya termasuk orang yang menolak pemakaian helm. Debat sama orang-orang ahli hukum, aku bilang kenapa kok pakai helm? Supaya kalau jatuh kemungkinan nggak mati, kemungkinannya nggak geger otak. Aku bilang, memang kalau hidup, negara kasih kerjaan? Memang kalau hidup negara kasih pelayanan kesehatan? Seperti Pandji bilang, jangan sampai sakit di Indonesia, karena bangkrut..
Kecuali kalau polisi bisa nyetop... "Heh stop kalian nggak pakai helm, pemerintah tiap tahun sudah invest ke you 2 milyar per orang termasuk penyediaan lapangan kerja, ini saudara menyia-nyiakan, masuk penjara". Lha ini, nggak ada apa-apa, saudara nggak pakai..§{@##(%*

Itu logika-logika matematika saya, karena apa? Matematika selalu dikesankan bahwa matematika ilmu kepastian, itu bullshit dan itu hanyalah orang yang tidak mengerti. Aku malu kalo ada teman, teman dekat yang ngomong kayak gitu. Matematika ketidakpastian, tetapi matematika tentang kesepakatan.

1 + 1 = 2 siapa bilang pasti? Kalau kita bicara dalam konteks bilangan persepuluhan, iya. Tetapi dalam bilangan biner, 1 + 1 tidak 2.
Kita sepakat dengan Pancasila, sepakat kan, trus sepakat bahwa bumi, tanah dan seisinya dikuasai oleh negara bagi kemakmuran, udah sepakat itu. Tetapi dari Freeport kita cuma dapat 1%, gimana gitu matematikanya. Jadi matematika about logika, kalau seluruh masyarakat Indonesia diajar matematika secara benar. Saya mendapat pengertian matematika secara benar ketika saya kuliah di ITB Matematik, dari Bapak Dr Hutahean, mudah-mudahan Tuhan ngasih berkat ke beliau.

Dibuka mata saya, oh ini matematik, dari situ saya tahu hubungan matematika sama musik. Kalau matematik kita benar... banyak penyair, Rendra matematikanya jelek, Toni Prabowo pemusik matematikanya jelek padahal menurut saya seseorang yang musiknya bagus matematikanya harus bagus karena berhubungan.

Kalau seseorang matematikanya bagus pasti dia sastranya bagus. Tapi ternyata banyak teman-teman sastrawan yang matematikanya tidak bagus, berarti matematika diajarkan secara salah oleh kurikulum.

Karena di dalam matematika, kita selalu menemukan bahasa-bahasa baru, yang nantinya kita dapat menemukan, misalnya e = mc². Atau misalnya ketemu dimensi-n, padahal dalam bayangan kita, di dalam benak kita, yang ada adalah maksimal dimensi tiga (x-y-z), semua benda dilukiskan dalam itu. Nggak kebayang ada dimensi lebih dari 4, ada dimensi-n. Tapi itu ditemukan dalam rumus-rumus matematika diturunkan, diutak-atik oleh keisengan sampai ketemu dimensi-n. Ternyata bisa diterapkan di astronomi kemudian, ternyata kata orang-orang astronom di matahari ketika gravitasi bisa menarik cahaya di situ, teman-teman dari fisika bisa lebih menjelaskan, di situ ada banyak dimensi.

13897838801238229385

Jadi ada kadang-kadang kata-kata diciptakan duluan, kata-kata matematika, kemudian teknologi mengejarnya. Zaman saya di tehnik sipil, karena belum ada komputer yqng diitung itu gitu.. Gaya kalau kita nglihat mau bikin beton itu, satu di pinggir, satu di tengah, satu di sana, berapa bebannya. Dari situ didesain. Padahal udah ada rumus matematik untuk menghitung tiap gaya, deretnya itu ada. Di situ tekanannya berapa, di titik itu.. Tak terhingga.
Begitu komputer keluar, dihitung bisa lebih efektif kolom dan... Bukan begitu mas?

Jadi setelah, nah begitu juga penyair mengutak-atik kata-kata…
Aku bawakan mayatku padamu, tapi kau bilang hanya
Aku bawakan cintaku padamu, tapi kau bilang masih
Aku bawakan arwahku padamu, tapi kau bilang hanya
Tanpa apa aku datang padamu


Dalam bahasa kita, gimana kita membawa arwah kita? Gimana kita membawa mayatku padamu tapi masih kau bilang, sajaknya Sutardji.
Bedanya di dalam puisi, itu hanya ada dalam penghayatan kita, oh dengan membaca itu ketika aku datang ke kekasihku aku dengan penghayatan lain.
Jadi kalimat puisi membentuk dunia baru. Begitu juga kalimat matematika. Ketika Ridwan Kamil mengatakan.. sama teman-teman yang lain mengatakan... atau Panji, “Jangan mengharapkan perubahan tapi ciptakanlah perubahan”
Bagi aku itu kalimat matematik yang lahir dari utak-atik, utak-atik, utak-atik lahir kalimat itu. Lalu kita menghipnotis diri kita, menyihir diri kita untuk mewujudkan kalimat itu.

Kalimat-kalimatku, misalkan di twitter aku sering ngomong, itu aku utak-atik dari permainan kayak matematik di kepala.
Kalau tidak salah ada 1000 persamaan, misalkan ya, a + b = c lalu a diuraikan, a ternyata d + f berarti d + f + b = c, lalu c diuraikan... matematik kan terus, terus dan seterusnya... lalu ketemu e = mc².. Lho intinya gitu kok.

Nah, dari pengalaman.. Tadi mas Deni Kobra.. eh siapa namanya? Deni Darko....
Orang besar itu salah satu cirinya selalu salah mgomong orang. Aku belajar dari Rendra, Rendra itu nggak pernah bener nyebut orang. Kan ada Nono Anwar Makarim di hukum, itu kalau nyebut "bilang tuh temenmu Nini Makarim".
Trus pak Jakob Oetama, nggak pernah bener nyebut Emha Ainun Nadjib. "Jo, minta tolong bilangin ama temenmu, Pak Aimum Najib".
Jadi saya harus salah-salah nyebut, biar keliatan besar.

Semuanya dari matematik, itu di puisi, apa yang ada di matematik? Matematik itu konsistensi. Kalau kamu belajar matematik.. Susah ya ngomong kalau bukan sama orang matematik.
Sebetulnya kan penurunan-penurunan dalil Pythagoras... sin²α + cos²α = 1
kalau kalian turunkan itukan dari lama, dari segitiga siku-siku trus diturunkan sebetulnya kan intinya a + b = c. Misalkan katakanlah gitu, a nanti diura. Hoo a itu ternyata dari pengalaman sama dengan e + g, dimasukkan, terus... tiba-tiba kita sampai takjub sendiri, loh kok ternyata jadi seperti ini.
Itulah keindahan matematika, ga kayak keindahan puisi. Kalau kata Bentrand Russel itu keindahan puisi itu meledak-ledak.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak pernah disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada


Keindahan matematik itu indah; dingin indahnya; tapi indah. Seperti orang dicium diam aja, itu matematik.
Sama aja, kita kembali... Ada violinist di sini? Daripada Maya Hasan aku panggil harpist, pemain harpa.. Kalau kupanggil langsung "Kurang ajar kamu!"

Paling gampang contohnya simfoni empat puluh.. (menirukan bunyi) Sebetulnya itu kalau diambil intinya adalah.. (menirukan potongan bunyi).
Kemudian di persamaan kedua, kalau di matematik, oh dari pengalamanku, dari pengetahuanku melihat yang lain-lain, diuraikan bisa jadi (lain). Kalau disebut lagi intinya, diperas lagi jadinya (ketukan tempo).

Matematika adalah kemampuan menangkap pola dari sesuatu yang semula tidak terpola. Itulah kemampuan matematika yang harus ditanamkan.
Melihat kemacetan yang seolah-olah semrawut tapi ternyata ada polanya. Orang matematika akan melihat, oh pada jam 6 pagi dan jam... akan dibentuk konsep-konsep himpunan untuk menyelesaikan masalah.

Batik ada berapa coba? Parang kusumo, parang rusa, batik pagi-sore Pekalongan, trus batik kawung, banyak banget di Indonesia, tapi teman saya matematika menjadikannya cuman ada enam pola batik. Jadi kemampuan menangkap pola dari sesuatu yang tidak terpola.

Ketika aku bilang cinta tak perlu pengorbanan, itu adalah kata-kata baru, kata-kata matematik yang baru dari aku, karena apa? Aku udah atik, atik, utak-atik, utak-atik di kepala dan tidak tahu berapa prosesing yang terjadi. Sama kayak penurunan rumus.
Cinta tidak perlu pengorbanan; pada saat kau merasa berkorban, pada saat itu cintamu mulai pudar. Sementara pada masa lama cinta adalah pengorbanan, tugasku sekarang adalah mewujudkan di dalam diriku bahwa cinta tak perlu pengorbanan. Begitu kau merasa berkorban, bullshit cintamu. Nah kalau aku sudah ini, tinggal bentuk seperti idenya mas Kamil, bentuk komunitas ada nggk yang bisa ngikuti itu... Sehingga ketika kalian hujan-hujan ke pacarmu gak merasa berkorban, wong cinta kok. Yang ada pengorbanan (itu) kalkulasi.

Aku pingin cinta manusia ga ada hitung-hitungan, suatu hari, minimal aku di dalam diriku sendiri. Makanya yang aku terapkan kepada anakku, ini masalah matematika, kalau suatu hari bapak tanya kenapa kamu cinta sama pacarmu dan dia bisa jawab, berarti itu bukan cinta. Itu kalkulasi, cinta tidak ada karena-karena.

Hiburanku kalau menonton orang yang tertangkap, orang narkoba yang tertangkap di TV, hiburanku adalah melihat perempuannya yang tetap setia, itu cinta, mau narkoba mau dibela itu cinta. Bukan kayak salah seorang penyanyi dangdut itu, begitu suaminya ditangkap, eh ditinggal.

Sekarang gini, semua hal itu didasari, kita sadar nggak sih kalau kita terjajah? Kadang nggak.
Di dalam pemikiran matematik, semua hal punya dasar. Coba saya tanya, begitu kita dibangunkan dari tidur, disuruh bikin tangga nada, pasti do-re-mi-fa-sol-la-si-do. Pasti gitu. Pasti deh. Karena apa? Orangtua kita mengajarkan bahwa tangga nada di dunia hanya ada satu. Bikin lagu apapun atas dasar itu, tanpa sadar. Padahal, di Sunda ada da-mi-la-ti-na-da. Di Jawa ada slendro dan pelog. Di Flores tiap kecamatan nada dasarnya beda-beda. (meniup saksofon)
Jadi seluruh tangga nada di dunia itu, dalam pemikiran matematik, cuma dibagi dua: mayor sama minor. Intinya nada itu, di manapun.. err saya agak malu ada dia di situ, dia lebih pinter. Bayangan saya pembicara di TEDx itu orangnya goblok-goblok... asu tenaan.
Begitu masuk ada Ridwan Kamil, ada Pandji... ada yang dari Garut itu, udah banyak ngerjain.

Sekarang saya tanya, nada dasarnya ini apa? (dendang) (tembang) Apa itu, nggak ada do-re-mi-fa-sol nya.
Ending dari pernyataanku ini, mari kita berpikir matematis, matematik tidak sebagai hitung-hitungan, tapi matematik sebagai bahasa karena itu mempengaruhi logika kita. Matematika erat kaitannya sama lagu, erat kaitannya sama puisi. Aku setuju bahwa matematika adalah orkestrasi dari seluruh konsep. Konsep arsitektur, konsep mesin, teknik mesin, konsep seni rupa, digabung jadi satu dalam konsep matematika.

Matematika adalah orkestrasi dari seluruh konsep sementara musik adalah matematika yang berbunyi.
Yang terakhir adalah inti dari matematika adalah mencari persamaan. Tidak ada pelajaran matematika tentang pertidaksamaan; itu hanya pengecualian. Maka dalam kehidupan sehari-hari ada gereja, ada mesjid, ada Sunda dan lain-lain sebagainya kenapa kita selalu mencari perbedaan, mari kita berpikir matematika dan selalu mencari persamaan.

Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...