Malam ini, aku masih melihat tirai malam berselimutkan beludru yang biasa. Sepoi angin yang menyusup ke dalam raga yang biasa. Derum-derum yang berlomba, mendecitkan teriakan malam yang biasa. Jiwa-raga yang berkalang kebisingan, mencandu sorak bising yang biasa. Sinar bangga sang Bulan, yang menderu menyimpulkan segala bayang yang biasa.
Sekilas tiada beda! Langit yang kering, bersih dari jajahan arak awan. Angin malam meraja, menggetarkan bangunan beserta nyali penghuninya. Kendaraan yang berlomba, berpencar dalam sigap pada tiap-tiap tujuan. Kerumunan yang bergembira, mengulang rutinitas tanpa kenal bosan. Rembulan yang tegas, menantang cerlang lampu metropolitan.
Pada nyatanya, memang tiada beda! Segala suara yang terdengar jelas berkumandang dalam segala terjemah pada detik-detik tertulisnya untai kata ini, memang sudah biasa dikumandangkan. Berkumandang entah sembarang saat, menyigi telinga-telinga yang tak sudi menepi barang sejenak Berkumandang dalam bentuk bait-bait yang menjelma, menutupi cakrawala dengan bayang kokohnya. Berkumandang dalam larik-larik yang terlepas dari dahan, berayun bertumpuk di dasar sebelum ada yang menyapu bersih semuanya. Berkumandang dalam segala serapah, celetukan yang terpercikkan tanpa pernah terayak.
Pada kenyataannya, di antara kita memang masih ada yang bergelut gamang, untuk sejenak bertegur sapa dengan kenyataan. Kenyataan yang berbicara dalam bahasa yang kita terjemahkan. Bahasa yang senantiasa terlantunkan tanpa rajin diperdengarkan. Lantunan yang mengubah derap zaman tanpa banyak diperhatikan.
Maka, sebagian dari kita mengambil keputusan untuk kembali bersahabat dengan realita. Menepuk bahu yang terhuyung dalam tenaga yang nyaris tiada, menyapa wajah ceria yang tampak hampir kehilangan rona bahagia. Menyalami hidup yang menyesap udara lamat-lamat, untuk menyerukan seruan lirih yang menggetarkan. Menggetarkan relung hati, nyaris tanpa menggetar timpani.
Malam ini, aku mendengar suara di kepala bercerita. Dongeng asing akan mereka yang merana dalam bahasa yang paling kudamba. Celoteh asing akan mereka yang mengiba dalam nada yang paling setia. Enkripsi asing akan mereka yang meminta dalam harap yang paling tersimpan. Masing-masing dan kesemuanya bercokol sebagai sederetan istilah yang dikesampingkan oleh pikiran, membiasakan keasingan istilah supaya tak diperhitungkan. Semua sebelum jiwa tersadar, bahwa dunia ini luas. Luasnya lingkup bagi kebrengsekan yang trengginas, memoles cerita yang tak rela dibalas.
Maka malam ini, aku sejenak menembus derak angin yang membekukan, mencoba mengurai makna yang tak kulihat.
Merangkai kenyataan, akan kita yang terlahir dari warna sama. Akan kita yang bernafas dalam pendar rona yang beraneka. Akan kita yang berkembang dari arah yang sama, menyesap butir-butir gizi penguat jiwa raga. Akan kita yang menyerap nilai dari berbagai arah, mewujud sebagai ciri tiap kita. Akan kita yang mengecat dunia sekitar dalam pekat corak yang berbeda. Akan kita yang tumbuh dalam semangat yang sama, dalam corak motif yang mewarnai dunia. Akan kita yang kemudian tumbuh besar dalam pengkotakkan atas remah kecil perbedaan. Akan kita yang bertindak, menjadikan kita semua nyata dalam kontras. Akan kita yang bersiap bangun, meniti jalan yang terlimpas.
Malam ini, kulihat kita berdiri di persimpangan. Derap angin mungkin akan menggeser sebagian kita ke satu jalan. Deraknya mungkin akan mengusir sebagian yang lain menuju satu jalan. Berbagai ragam kita, yang tampak dalam bungkus citra yang senada, kini menjelmakan diri sebagai apa-apa yang berbeda corak noda. Corak noda yang telah disandikan oleh larik-larik yang tak kita pedulikan. Larik yang disusun dari senarai kata tanpa suara. Yang tanpanya kita mulai meniti jalan.
Satu-dua jalan yang membawa pengikutnya menuju beragam tujuan.
Satu-dua jalan yang tersajikan, yang dari sini mungkin akan menyulam segala macam perbedaan.
Pada akhirnya, memang tiada beda. Kita hanya jarang rela untuk peka.
Semoga kita senantiasa berbahagia, walaupun bahagia adalah pilihan.
Hari 7205, ditemani derak angin metropolitan malam.
Kamis, 1 Januari 2015, 00:59 (UT+9)
35°43'18.51"N, 139°48'05.43"E
Lanjutkan baca »
Sekilas tiada beda! Langit yang kering, bersih dari jajahan arak awan. Angin malam meraja, menggetarkan bangunan beserta nyali penghuninya. Kendaraan yang berlomba, berpencar dalam sigap pada tiap-tiap tujuan. Kerumunan yang bergembira, mengulang rutinitas tanpa kenal bosan. Rembulan yang tegas, menantang cerlang lampu metropolitan.
Pada nyatanya, memang tiada beda! Segala suara yang terdengar jelas berkumandang dalam segala terjemah pada detik-detik tertulisnya untai kata ini, memang sudah biasa dikumandangkan. Berkumandang entah sembarang saat, menyigi telinga-telinga yang tak sudi menepi barang sejenak Berkumandang dalam bentuk bait-bait yang menjelma, menutupi cakrawala dengan bayang kokohnya. Berkumandang dalam larik-larik yang terlepas dari dahan, berayun bertumpuk di dasar sebelum ada yang menyapu bersih semuanya. Berkumandang dalam segala serapah, celetukan yang terpercikkan tanpa pernah terayak.
Pada kenyataannya, di antara kita memang masih ada yang bergelut gamang, untuk sejenak bertegur sapa dengan kenyataan. Kenyataan yang berbicara dalam bahasa yang kita terjemahkan. Bahasa yang senantiasa terlantunkan tanpa rajin diperdengarkan. Lantunan yang mengubah derap zaman tanpa banyak diperhatikan.
Maka, sebagian dari kita mengambil keputusan untuk kembali bersahabat dengan realita. Menepuk bahu yang terhuyung dalam tenaga yang nyaris tiada, menyapa wajah ceria yang tampak hampir kehilangan rona bahagia. Menyalami hidup yang menyesap udara lamat-lamat, untuk menyerukan seruan lirih yang menggetarkan. Menggetarkan relung hati, nyaris tanpa menggetar timpani.
Malam ini, aku mendengar suara di kepala bercerita. Dongeng asing akan mereka yang merana dalam bahasa yang paling kudamba. Celoteh asing akan mereka yang mengiba dalam nada yang paling setia. Enkripsi asing akan mereka yang meminta dalam harap yang paling tersimpan. Masing-masing dan kesemuanya bercokol sebagai sederetan istilah yang dikesampingkan oleh pikiran, membiasakan keasingan istilah supaya tak diperhitungkan. Semua sebelum jiwa tersadar, bahwa dunia ini luas. Luasnya lingkup bagi kebrengsekan yang trengginas, memoles cerita yang tak rela dibalas.
Maka malam ini, aku sejenak menembus derak angin yang membekukan, mencoba mengurai makna yang tak kulihat.
Merangkai kenyataan, akan kita yang terlahir dari warna sama. Akan kita yang bernafas dalam pendar rona yang beraneka. Akan kita yang berkembang dari arah yang sama, menyesap butir-butir gizi penguat jiwa raga. Akan kita yang menyerap nilai dari berbagai arah, mewujud sebagai ciri tiap kita. Akan kita yang mengecat dunia sekitar dalam pekat corak yang berbeda. Akan kita yang tumbuh dalam semangat yang sama, dalam corak motif yang mewarnai dunia. Akan kita yang kemudian tumbuh besar dalam pengkotakkan atas remah kecil perbedaan. Akan kita yang bertindak, menjadikan kita semua nyata dalam kontras. Akan kita yang bersiap bangun, meniti jalan yang terlimpas.
Malam ini, kulihat kita berdiri di persimpangan. Derap angin mungkin akan menggeser sebagian kita ke satu jalan. Deraknya mungkin akan mengusir sebagian yang lain menuju satu jalan. Berbagai ragam kita, yang tampak dalam bungkus citra yang senada, kini menjelmakan diri sebagai apa-apa yang berbeda corak noda. Corak noda yang telah disandikan oleh larik-larik yang tak kita pedulikan. Larik yang disusun dari senarai kata tanpa suara. Yang tanpanya kita mulai meniti jalan.
Satu-dua jalan yang membawa pengikutnya menuju beragam tujuan.
Satu-dua jalan yang tersajikan, yang dari sini mungkin akan menyulam segala macam perbedaan.
Pada akhirnya, memang tiada beda. Kita hanya jarang rela untuk peka.
Semoga kita senantiasa berbahagia, walaupun bahagia adalah pilihan.
35°42'38.11"N, 139°45'36.47"E, 31 Desember 2014, 20:36 (UT+9).
Todaiakamonmae (東大赤門前), Bunkyo-ku, Tokyo.
|
Hari 7205, ditemani derak angin metropolitan malam.
Kamis, 1 Januari 2015, 00:59 (UT+9)
35°43'18.51"N, 139°48'05.43"E