Semilir angin meniupi mereka yang berjalan di pinggir taman.
Burung-burung yang bertengger di ranting pepohonan berceloteh ria. Bagai melepas rindu, mereka kembali bercengkrama setelah bersembunyi berbulan-bulan sepanjang musim dingin. Di kota itu, musim dingin identik dengan salju yang bertumpuk-tumpuk akibat suhu yang dingin menusuk. Sehingga, ketika matahari mulai menang, tumbuhan dan hewan bersorak dan bergelora dengan membangkitkan semangat baru dalam label bertuliskan musim semi.
Situasi hari itu pun tak jauh beda. Entah itu Matahari, entah itu langit, entah itu awan, entah itu bebungaan yang bermekaran. Semuanya nampak bersemangat memamerkan kementerengannya masing-masing, menaungi kerumunan orang yang berlalu-lalang. Orang yang lewat itupun seolah ikut tersihir oleh semarak tersirat dan melangkah dengan laju dan semangat ekstra.
Kecuali seseorang.
***
Gema berjalan tanpa antusiasme di siang hari itu.
Tak jauh di depannya, kawan-kawan sesama pelajar asal Indonesia tengah berfoto-foto dengan penuh cengar-cengir memanfaatkan latar pepohonan yang sedang jaya-jayanya berbunga. Rombongan itu baru saja menyelesaikan kegiatan makan siang mereka di taman kota, sembari melakukan kegiatan
hanami seperti banyak perkumpulan lainnya di siang hari tersebut.
Musim semi di Jepang senantiasa identik dengan
hanami. Sebuah kegiatan dimana orang-orang berkumpul untuk memandangi bebungaan, seringkali dengan menggelar tikar untuk piknik bersama di bawah naungan pohon yang berbunga. Konon,
hanami sudah mulai dibudayakan sejak lebih dari seribu tahun lalu, tumbuh seiring dengan mulai dibentuknya dasar-dasar dari apa yang kini kita kenal dengan sebutan "samurai". Istilah yang, aku yakin, sudah cukup familiar dan langsung muncul di kepala kalian di saat membaca tulisan ini. Sebagaimana familiarnya nama bunga yang menjadi ikon utama dalam tiap kegiatan
hanami di seantero Jepang.
Hanami, melihat bunga. Tepatnya, bunga sakura.
Sayangnya, segala fakta nostalgik itu tak punya tempat di pikiran Gema, saat itu.
Bunga-bunga yang bermekaran itu sesekali melambai anggun ketika angin menyapa. Sesekali ada satu-dua helai mahkota bunga sakura, lepas dan berayun menuju peraduannya di pinggir trotoar. Angin yang makin kencang membuat helai sakura makin banyak berjatuhan. Tak ayal, para anak muda makin bersemangat mengabadikan diri mereka bersama guguran bunga sakura.
Sesekali mereka bergaya dengan dua jari teracung. Kemudian satu jari, di depan bibir. Atau tiga jari, di depan sebelah mata. Atau sepuluh jari,
menutupi wajah.
Dasar anak-anak zaman sekarang, gumam Gema.
"Memangnya kamu anak zaman kapan, Ma?"
Sebuah tepukan keras menghantam tas ransel milik Gema. Secara refleks Gema menoleh ke belakang, memastikan tasnya baik-baik saja dan tidak terluka. Tetapi yang dihadapinya hanya wajah yang nyengir. Penuh kejahatan terselubung, Gema curiga.
"Bikin kaget orang aja Ris, tepuk-tepuk tas orang," Gema memberengut. Ada rombongan yang terakhir meninggalkan lokasi
hanami para pelajar sebelumnya, dan kini mereka sudah menyusul Gema.
"Haha, siapa suruh jalannya loyo begitu? Padahal yang lain semangat foto-foto," Arisa hanya menanggapi santai.
"Yah, begitu doang, ngapain?"
"Apanya?"
"Yaa orang-orang, sampai segitunya. Padahal cuma bunga di pohon. Nggak seru."
"Ya ampun, segitunya. Hahaha. Eh aku ikutan foto dulu ya," Arisa menyerahkan tasnya ke tangan Gema. "Kalau nggak ikutan foto, paling nggak bantuin yang foto lah."
Lagi-lagi Gema memberengut.
Sayangnya cuaca mulai bergolak, dan angin yang makin kencang kini diikuti butir air hujan yang turun sedikit-sedikit. Alhasil, mereka yang sedari tadi sibuk dengan sekian banyak kombinasi gaya depan kamera terpaksa berhenti. Mereka mengemasi barang-barang mereka dan melanjutkan perjalanan pulang. Kebanyakan dari mereka membawa payung, karena menurut aplikasi ramalan cuaca di ponsel, memang pada waktu itu diprediksikan akan turun hujan.
Generasi abad 21 gitu loh. Meskipun demikian, beberapa dari rombongan tersebut tidak membuka payung yang mereka bawa.
Gerimis begini ngapain pakai payung, mungkin begitu komentarnya jika ditanyai. Lagipula hujan di daerah iklim sedang memang jarang selebat hujan di negeri tropis macam Indonesia.
Gema termasuk di antara mereka yang menganggap payung belum diperlukan di saat itu. Maka tanpa perlu repot-repot mengambil dan membuka payung lipat, Gema terus saja berjalan. Tangan kanannya memegang tali bahu ransel sebelah kanan, sementara tangan kirinya menjinjing tas... Tunggu.
"Ris, tasmu nih," Gema mendatangi Arisa dan menyerahkan tas milik Arisa.
"Yaah Gema, kamu kan nggak pake payung tuh. Aku minta tolong bawain dulu nggak apa-apa ya?"
Gema hanya bisa menghela nafas.
Hujan masih turun dengan malu-malu, sehingga rombongan itu tetap menjaga ritme perjalanan yang tenang nan pasti. Ritme yang terjaga memudahkan para pelajar untuk saling mengobrol santai dalam perjalanan mereka kembali ke kediaman masing-masing.
"Ris, menurutmu, kenapa ya orang-orang pada senang banget sama sakura?" Gema bertanya. Pertanyaan yang tak biasa muncul, namun tak mengejutkan jika menyimak kata-kata Gema beberapa waktu sebelumnya.
"Loh, sakura kan bagus, cantik-cantik bunganya," respon Arisa sedikit bingung.
"Menurutku nggak bagus, ah. Warnanya monoton, sekali putih semuanyaa putih, sekali pink semuanyaa pink. Kalau kayak di taman bunga begitu kan bagus, warna-warni. Kalau begini doang apa serunya?"
"Lhoo masa' nggak ngerasa kagum sih ama bunga yang sebanyak ini di pohon?"
"Nggak, ah. Mending pohon buah, ada yang bisa dimakan. Daripada begini, udah dimakan nggak enak, dilihat pun ngebosenin. Kalau kata orang,
hana yori dango.*)"
Arisa terdiam sejenak mendengar pendajpat Gema barusan. Jarang-jarang rasanya orang yang nggak suka sakura begini. Biasanya orang Indonesia malah berebut ingin berfoto dengan sakura.
"Serius nggak tertarik ama sakura, Gema?" tanya Arisa lagi.
Hanya ada gelengan pelan sebagai jawaban.
"Aku jadi inget sama temenku di kelas budaya Jepang. Tahu si John? Dia bilang, temennya ada yang bener-bener masa bodoh ama sakura. Kalau menurut cerita si John, temennya itu beralasan di negeri asalnya tiap musim semi juga selalu ada bunga dimana-mana. Di dekat rumahnya pun ada pohon sakura juga. Jadi dia semacam udah terbiasa dengan bunga yang sama tiap tahun. Ketika dia denger dai John kalau orang Jepang demikian mengagumi sakura, temennya John ini malah heran. Kok bisa sedemikian rajinnya ngeliatin bunga tiap tahun. Mana bunga yang modelnya sama semua gitu. Mirip sama pendapat kamu tadi kan, Gema?" Arisa menjelaskan. Gema hanya mengangguk-angguk.
"Nah, mendengar pertanyaan itu, temenku yang lain berkomentar. Menurut dia, alasan sakura begitu populer itu karena dia menandai datangnya musim semi. 'Kan biasanya musim dingin identik dengan kebekuan atau berhibernasi gitu, jadi mekarnya sakura itu seperti memberitahukan bahwa 'sekarang sudah musim semi, ayo beraktivitas'. Kalau udara makin hangat, orang akan lebih nyaman beraktivitas."
"Lah, kalau cuma begitu, kenapa di negara-negara lain nggak terdengar kegiatan melihat bunga yang sepopuler
hanami ini?" protes Gema.
"Aish, ntar dulu aah, masih ada lanjutannya.
"Iya, seperti katamu, Gema, penjelasan yang itu nggak cukup meyakinkan. Tapi kemudian
sensei**) aku ikut ngejelasin tentang sakura ini. Dan penjelasan dari
sensei menurutku keren banget!" Arisa tampak berbinar-binar.
"Apa katanya?"
"
Sensei-ku bilang, ada kepercayaan yang mengatakan bahwa helai-helai bunga sakura itu perwujudan dari jiwa-jiwa prajurit yang gugur dalam perang. Kalau dalam falsafah hidup samurai, kan diajarkan supaya hidup bersungguh-sungguh dan meninggal sebelum usia tua. Kalau aku sih menafsirkannya meninggal ketika si samurai sedang optimal-optimalnya mengabdi kepada kaum bangsawan. Helai sakura kan gitu, mekar beramai-ramai, langsung sekaligus banyak, kemudian langsung berguguran ketika masih bagus, belum layu.
"Tapi, menurut
sensei-ku, inti dari filosofi bunga sakura itu adalah bahwa dia cuma mekar sebentar, terus langsung rontok. Bisa dikaitkan ke samurai yang umurnya nggak panjang tadi, bisa juga dikaitkan ke meninggal saat di puncak. Tapi,
sensei-ku bilang, konsep ini secara lebih luas bisa dikaitkan kepada kita semua yang lain. Fungsinya sebagai pengingat kalau hidup seseorang di dunia ini itu nggak kekal. Bagi umur kita yang sekian tahun, waktu sakura yang mekar cuma dua minggu tiap tahun itu terasa sebentar banget. Padahal mungkin, jangka waktu kita hidup di sini pun yaa mungkin juga cuma sebentar, sebagaimana waktu mekarnya sakura. Bahkan mungkin terasa cuma sekejap mata, tahu-tahu hilang."
Arisa mengambil nafas, sebelum melanjutkan penjelasannya.
"Kamu tahu kan, Gema, bagaimana lemahnya bunga sakura itu. Disenggol dikit pun bisa jatuh, ditiup angin semilir pun helainya juga rontok. Mekarnya pun cuma sepekan-dua pekan. Tapi, dalam waktu sepekan-dua pekan ini, jutaan orang dari seluruh dunia, semuanya rela bepergian jauh, membayar lebih, demi menikmati pemandangan sakura yang menghiasi pepohonan. Serapuh apapun sakura, sesingkat apapun masa jayanya, tetap aja, hanya dengan melihatnya aja jutaan orang bisa dibuat berdecak kagum. Sampai ada aja orang yang rela datang lagi tahun berikutnya, tahun berikutnya, hanya demi melihat sakura lagi. Keren banget kan kalau dipikir-pikir..!"
.....
Arisa merasa menang, berhasil menjelaskan dari awal hingga akhir.
Dan kini Gema hanya bisa melongo.
Ekspresinya tampak sedang berusaha mencerna kata demi kata penjelasan Arisa barusan. Bahkan, saking asyiknya merenungkan penjelasan itu, tanpa Gema sadari dirinya beserta rombongan sudah memasuki kompleks asrama mahasiswa, tempat Gema dan teman-temannya tinggal.
"Sampai jumpa di kelas besok ya!" seru rombongan mahasiswi yang beranjak ke kediamannya masing-masing.
Gema masih melongo di depan kantor manajemen asrama. Di dekat kantor berdiri sebatang besar pohon sakura, yang juga sedang memamerkan kecemerlangan bunga-bunganya. Setelah sekian lama, Gema merasakan sesuatu. Seolah rimbunan bunga sakura itu memanggilnya.
"
Jadi, Gema? Apa kabarmu hari ini?"
Kabar baik, Gema membatin.
Senang bisa melihatmu lagi.
*) Hana yori dango (花より団子), sebuah idiom Jepang yang menggambarkan kondisi dimana seseorang lebih memilih sesuatu yang nyata manfaatnya daripada sekadar pemanis mata.
**) Sensei (先生), istilah Jepang yang digunakan sebagai sapaan untuk guru.
(:g)