Minggu, 13 Januari 2013

Article#127 - Kembali Ke Pembuka: Segenggam Cerita Dalam Hampa

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

(Chairil Anwar, 1948. Prajurit Jaga Malam)
Entah mengapa, rasanya sedikit aneh bagi saya ketika melihat kalender dan tersadar, angka tahunnya kini adalah 2013. Bukan, tak ada hubungannya dengan angka sial ataupun sejenisnya. Lebih karena belum terbiasa. Bagaimanapun pula, setelah tahun yang sebelumnya berlalu dengan begitu banyak cerita dan fluktuasi dalam ketidakjelasan dan ketidaknyataan (terutama mengenai isu kiamat 2012 yang kini terbukti palsu sepalsu-palsunya), kini semua itu sudah berlalu.

Jadi bagi yang masih menggalaukan tahun 2012 yang penuh kenangan, segera move on, sekarang sudah 2013. Tagihannya yang (masih) nunggak dilunasi segera, dan jangan lupa beli kalender baru. (okesip)

Tentu saja, sebagai bulan baru, sebagaimana pernah saya tulis sebelumnya, mayoritas orang memandang hal yang baru dengan berbagai harapan dan doa yang membuncah layaknya para bocah di dalamnya.
Begitupun pula para bocah tengil, yang sebagian dari mereka masih berusaha menemukan kehangatan yang tepat untuk membuat hati mereka bisa bersemayam dengan aman dan tenteram. Entah kumpul berenam dan bersama memasak ayam, atau membaca buku dalam temaram malam yang timbul tenggelam. Eh tapi ini liburan yah. Masa' baca buku? Yang benar aja...

Sebenarnya sudah berbagai cara mereka lakukan demi tercapainya kenyamanan hati yang baru ini. Ada yang memutuskan untuk mengisi relung jiwanya ke ibukota timur. Ada pula yang menyibukkan diri dalam antrian beramai-ramai untuk obral di pagi-pagi buta. Ada yang menyimpan diri dalam selimut hangat di kamarnya. Tetapi, akibat musim kebekuan yang makin dalam menancapkan hawa menggigilnya ke sanubari tiap-tiap bocah tengil, mereka masih harus terus merelakan kebekuan itu untuk hadir, mengisi kehidupan masing-masing diri.
Dan sebagaimana di edisi sebelumnya, kini perlahan si putih mulai menyeruak dan melapisi berbagai penjuru kota.
Terkadang ingin rasanya saya meneriaki semua kebekuan ini, untuk pergi, enyah sejauh yang ia bisa, supaya ia tak mengganggu saja. Namun kemudian saya sadar, semua itu hanya sia-sia dan tak ada gunanya dilakukan. Cukup menutup jendela. Tuh kan, akibat kebekuan, otak jadi lambat.

Hm, bicara soal lambat, saya jadi teringat pelajaran kimia (yang akhirnya berisi fisika dan kalkulus, duh) di kampus. Katanya, energi pada partikel dalam sebuah benda akan makin besar jika suhu makin tinggi. Begitu pula sebaliknya. Saya jadi berpikir, jadi ini alasannya orang-orang menjadi malas bergerak di tengah suasana kebekuan ini. Tetapi ada satu yang mengalir sedikit lebih deras: alat tukar untuk mendapatkan benda penunjang hidup, duit. Kata legendanya, karena tubuh butuh banyak energi untuk menghangatkan diri dari terjangan sang kebekuan, asupan gizi harus lebih banyak. Akhirnya, duit untuk membayar semua asupan gizi itu juga harus lebih banyak. Yah, apa boleh buat, demi kesehatan jiwa dan raga, mungkin memang ini yang terbaik.

Kalian mungkin sudah membaca di edisi tentang bocah-bocah tengil sebelumnya, mengenai bagaimana mereka berusaha bertahan di tengah dahsyatnya gejolak dan gemuruh dari perubahan cuaca dan lingkungan yang tak biasanya mereka hadapi. Jika sudah, maka kalian juga sudah membaca tentang bagaimana para bocah tengil dibuat kesal tak berujung oleh si emak, yang senang mengiming-imingi para bocah tengil dengan duit yang baru saja dicairkan, seolah mengumpankan susu kental manis pada sekawanan anak kucing. Memang, sejak awal si emak terkesan mengelabui para bocah tengil dengan untaian kata-katanya yang menggugah selera (?), sehingga para bocah tengil pun sudah paham untuk tidak terlalu banyak menggantungkan nasib finansial mereka kepada sebuah makhluk berjuluk 'emak'. Paling tidak karena ia 'emak' palsu. Kalau 'emak' asli yang indah dilupakan dan diabaikan, bisa-bisa kau didamprat seharian ketika pulang nanti. ("durhaka sama orangtua?"). Sudahlah.

Berangkat dari hati sang senior pendapat diatas, para bocah tidak mau lagi tergantung kepada lembaga L dalam memberikan uang untuk penunjang kehidupan, tetapi sebelum para bocah tengil berhasil menstabilkan kondisi finansial mereka yang masih bertumpu pada sokongan antara-niat-atau-tidak yang ada, datang lagi kabar yang lebih mengejutkan dari si emak: Kalkulator kesayangannya yang selama ini menemani perjalanan hidupnya, terjatuh ke dalam danau kekacauan, dengan kebekuannya yang terus mencekam di sepanjang waktu. Alhasil, kalkulator tersebut tak bisa diambil hingga perginya kebekuan setelah diusir bunga-bunga yang bermekaran, yang rupanya masih lama. dan repotnya lagi, si emak hanya mau menghitung dengan kalkulatornya tercinta itu. Entah karena cinta yang terlalu dalam, ataukah saking ndeso-nya hingga tidak bisa pakai kalkulator lain. Duh, para bocah tengil yang masih rela menerjang dinginnya cuaca atas nama perjuangan ilmu pengetahuan inipun harus mencari keran duit yang lain. Hiks hiks..
Sungguh ironis ditengah hamparan kebekuan segienam yang memerangkap.
Para bocah tengil ini sadar akan kondisi mereka yang makin menipis di tengah tipisnya udara yang masih sedikit diliputi si putih yang membekukan. Dan para bocah ini tentu sadar, dengan terus berkurangnya duit sebagai alat tukar utama yang mereka simpan, sebanyak apapun yang mereka miliki, kecuali dunia di sekitar mereka yang meliputi dengan kebekuannya itu mengubah sistem alat pembayaran menjadi batu kerikil—yang nyaris sama tak mungkinnya dengan diadopsi sebagai anak sendiri oleh si emak—tentunya, mereka harus membuktikan ketangguhan jiwa mereka. Jiwa perjuangan, yang tak akan pernah padam meskipun terpapar badai ganas pembeku kehidupan. Dan jiwa kebersamaan, dari rekan-rekan para bocah tengil yang membuat mereka sadar, mereka tak pernah sepenuhnya sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Cita terbesar saya saat ini, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi pejuang tangguh.
Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang selalu melihat hambatan sebagai sebuah peluang untuk terus berjuang. Sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa generasi muda, penerus bangsa, masa depan bangsa. Sebagai mereka yang tetap bertingkah laku sebagai seorang manusia yang nyata adanya, dengan jiwanya yang bersih tanpa noda kebusukan nan culas, meskipun terus ditindas oleh kekuatan yang senang menebas lepas.
Ini masalah hidup. Bertahan atau tersingkir. Kami para pemuda, tak akan terlindas ganasnya kehidupan hanya akibat kebergantungan. Lebih baik terasing dan bertahan, daripada menyerah dalam menjalani kehidupan.
Meskipun aku tak tahu lagi nasib waktu yang terdua,
Yang terhampar dari Kaledonia hingga Managua
Aku tak akan menunggu hingga beranjak tua
Karena hanya saat inilah, disini ada peluang

(Bocah Tengil, 2013. Retorika Sang Pecandu Imaji)

(setelah menulis semua ini, diketahui penulis langsung pergi meringkuk dan bergelung-gelung layaknya ulat yang membentuk kepompong. Entah karena takut diganggu pemangsa, atau....?)

3 komentar:

  1. Bener-bener pujangga sumbang ya masgi... Btw itu kalkulator rusak lah kalo kecebur terus dibiarin sampe musim semi datang. Kok menyedihkan sih....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sumbang banget ya, nahaha..
      Kan kalkulatornya terjebak dalam kebekuan.

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...