Betulan kok, cuma sedikit... Kalau ternyata banyak, berarti memang standar Anda yang beda. Sudahlah, daripada ribut memperbincangkan hal sepele macam itu, langsung saja kita sambut artikelnya...
Kalau boleh jujur, ini termasuk aktivitas paling sporadis yang pernah saya lakukan di balik layar halaman blog. (Tenang, bukan di dalam monitor). Sampai tanggal 27 Juli lalu, saya sudah merancang sebuah tulisan yang tadinya akan dipasang di blog dengan label Artikel nomor 75. Namun ketika saya memutuskan untuk membaca ulang draft artikel terkait, makin dalam saya membaca, makin bingunglah saya. Terlalu serius. Dan jujur saja, acak-acakan. Alhasil, saya memutuskan untuk merombaknya secara keseluruhan dan menampilkan artikel baru segar yang baru saja dikukus dalam oven di rumah tetangga saya. Dan dengan bau kertas hangus menyengat, saya memutuskan untuk melupakannya dan segeramenulis mengetikkan artikel ini.
Catatan: Bahkan artikel yang tertulis di bawah ini telah mengalami berbagai penulisan ulang akibat tidak fokusnya sang pengetik. Berhubung sudah jadi, sekarang sudah sedikit lega..
Hidup.
Sebuah kata sederhana dari 5 huruf, yang seperti banyak kata 5 huruf lainnya, familiar di telinga warga Indonesia. Meskipun bukan termasuk kata yang sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari, sehubungan dengan maknanya yang vital dan mencakup tiap embusan nafas Anda di dunia ini, makna kata hidup ini kini cenderung dimaknai secara filosofis.
Tetapi apa sebenarnya hidup itu?
Ada yang bilang, hidup itu layaknya selembar kertas. Seperti dendang band Padi dalam lagunya, 'Harmoni', Kita terlahir bagai selembar kertas putih. Terlahir dari pulp berupa selembar putih bersih tanpa noda, yang siap untuk memberi kontribusi pada dunianya berkiprah kelak. Seiring waktu, debu perlahan menghinggapi ruang di antara serat selulosa kertas, yang walaupun mengotori juga menjaga sang kertas dari penumpukan debu lebih lanjut. Semua itu menjaga kemurnian kertas, hingga datang berbagai alat meninggalkan berbagai pengaruhnya di kertas tersebut. Ada yang menggunakan pensil, ada yang menggunakan pena, dan ada yang menggunakan spidol. Ada yang melubangi kertas tersebut, ada yang menempelinya dengan aksesoris.
Tiap pengaruh di lembaran kertas itu kebanyakan akan tertinggal dan menjadi citraan baru akan wujud sang kertas itu sendiri. Pada saat tertentu, kertas itu akan menjadi lecek dan terlipat oleh pengaruh keadaan dan benda sekitar. Sayangnya, meskipun guratan pena dan pensil dapat dihilangkan atau ditutupi dari selembar kertas, ketike ia lecek atau terlipat, bekasnya akan selalu ada, tak peduli seberapa besar usaha kita untuk meratakannnya. Bahkan jika kita salah memperlakukannya dan mencoba membersihkannya dengan air, kertas itu justru akan melemah dan hancur.
Sebagaimana kertas, hidup seorang manusia berhiaskan berbagai guratan pengaruh dari lingkungan sekitarnya, yang membentuk perangai dasarnya sejak kecil. Ia rentan dan rapuh akan pengaruh lingkungan, sehingga sudah menjadi tanggung jawab yang dititipi hidup untuk menjaganya dengan baik.
Ada yang bilang, hidup itu perjalanan. Baik perjalanan menuju suatu tempat yang baru ataupun perjalanan untuk kembali pulang. Baik perjalanan mengaruhi lautan layaknya sebuah bahtera, atau melayang di ketinggian layaknya pesawat udara.
Sebagai bahtera, hidup seseorang berlayar menuju tempat impian yang belum diketahuinya, seraya mengira-ngira berdasarkan naluri alamiahnya akan jalan tercepat dan terefektif mencapainya. Bahtera yang telah disiapkan dan harus siap menghadapi ganasnya ombak yang menghadang, dengan hanya mengandalkan pemandu berupa bintang di langit dan peta untuk menentukan arah dan tujuan (Oke, sekarang pakainya GPS. Tapi disini baterainya habis..). Padahal bahkan petanya belum tentu peta yang tepat.
Disanalah awak kapal kehidupan mempelajari pentingnya membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak, dan bagaimana mereka bisa mengambil keuntungan dari perjalanan berupa ikan segar yang akan membantu mereka menyiapkan energi dalam menghadapi keganasan lautan di depannya menuju tujuan.
Sebagai pesawat, persiapan dalam mengarungi langit yang penuh dengan ketakterdugaan dan ketakpastian haruslah dilakukan sebaik mungkin. Dan sang pilot harus bisa mengendalikan pesawat sebaik mungkin supaya pesawat dan banyak nyawa di dalamnya terjamin keselamataannya menuju tempat pendaratan.
Terlepas dari semua itu, tidaklah penting coretan apa yang terukir dalam kertas kehidupanmu, dan gelombang sebesar apa yang telah membawamu terombang-ambing di tengah lautan dunia luar. Seperti pernah saya pasang dahulu kala di artikel 3, yang akan saya kembali tuliskan di bawah:
Lanjutkan baca »
Kalau boleh jujur, ini termasuk aktivitas paling sporadis yang pernah saya lakukan di balik layar halaman blog. (Tenang, bukan di dalam monitor). Sampai tanggal 27 Juli lalu, saya sudah merancang sebuah tulisan yang tadinya akan dipasang di blog dengan label Artikel nomor 75. Namun ketika saya memutuskan untuk membaca ulang draft artikel terkait, makin dalam saya membaca, makin bingunglah saya. Terlalu serius. Dan jujur saja, acak-acakan. Alhasil, saya memutuskan untuk merombaknya secara keseluruhan dan menampilkan artikel baru segar yang baru saja dikukus dalam oven di rumah tetangga saya. Dan dengan bau kertas hangus menyengat, saya memutuskan untuk melupakannya dan segera
Catatan: Bahkan artikel yang tertulis di bawah ini telah mengalami berbagai penulisan ulang akibat tidak fokusnya sang pengetik. Berhubung sudah jadi, sekarang sudah sedikit lega..
Hidup.
Sebuah kata sederhana dari 5 huruf, yang seperti banyak kata 5 huruf lainnya, familiar di telinga warga Indonesia. Meskipun bukan termasuk kata yang sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari, sehubungan dengan maknanya yang vital dan mencakup tiap embusan nafas Anda di dunia ini, makna kata hidup ini kini cenderung dimaknai secara filosofis.
Tetapi apa sebenarnya hidup itu?
Ada yang bilang, hidup itu layaknya selembar kertas. Seperti dendang band Padi dalam lagunya, 'Harmoni', Kita terlahir bagai selembar kertas putih. Terlahir dari pulp berupa selembar putih bersih tanpa noda, yang siap untuk memberi kontribusi pada dunianya berkiprah kelak. Seiring waktu, debu perlahan menghinggapi ruang di antara serat selulosa kertas, yang walaupun mengotori juga menjaga sang kertas dari penumpukan debu lebih lanjut. Semua itu menjaga kemurnian kertas, hingga datang berbagai alat meninggalkan berbagai pengaruhnya di kertas tersebut. Ada yang menggunakan pensil, ada yang menggunakan pena, dan ada yang menggunakan spidol. Ada yang melubangi kertas tersebut, ada yang menempelinya dengan aksesoris.
Tiap pengaruh di lembaran kertas itu kebanyakan akan tertinggal dan menjadi citraan baru akan wujud sang kertas itu sendiri. Pada saat tertentu, kertas itu akan menjadi lecek dan terlipat oleh pengaruh keadaan dan benda sekitar. Sayangnya, meskipun guratan pena dan pensil dapat dihilangkan atau ditutupi dari selembar kertas, ketike ia lecek atau terlipat, bekasnya akan selalu ada, tak peduli seberapa besar usaha kita untuk meratakannnya. Bahkan jika kita salah memperlakukannya dan mencoba membersihkannya dengan air, kertas itu justru akan melemah dan hancur.
Sebagaimana kertas, hidup seorang manusia berhiaskan berbagai guratan pengaruh dari lingkungan sekitarnya, yang membentuk perangai dasarnya sejak kecil. Ia rentan dan rapuh akan pengaruh lingkungan, sehingga sudah menjadi tanggung jawab yang dititipi hidup untuk menjaganya dengan baik.
Ada yang bilang, hidup itu perjalanan. Baik perjalanan menuju suatu tempat yang baru ataupun perjalanan untuk kembali pulang. Baik perjalanan mengaruhi lautan layaknya sebuah bahtera, atau melayang di ketinggian layaknya pesawat udara.
Sebagai bahtera, hidup seseorang berlayar menuju tempat impian yang belum diketahuinya, seraya mengira-ngira berdasarkan naluri alamiahnya akan jalan tercepat dan terefektif mencapainya. Bahtera yang telah disiapkan dan harus siap menghadapi ganasnya ombak yang menghadang, dengan hanya mengandalkan pemandu berupa bintang di langit dan peta untuk menentukan arah dan tujuan (Oke, sekarang pakainya GPS. Tapi disini baterainya habis..). Padahal bahkan petanya belum tentu peta yang tepat.
Disanalah awak kapal kehidupan mempelajari pentingnya membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak, dan bagaimana mereka bisa mengambil keuntungan dari perjalanan berupa ikan segar yang akan membantu mereka menyiapkan energi dalam menghadapi keganasan lautan di depannya menuju tujuan.
Sebagai pesawat, persiapan dalam mengarungi langit yang penuh dengan ketakterdugaan dan ketakpastian haruslah dilakukan sebaik mungkin. Dan sang pilot harus bisa mengendalikan pesawat sebaik mungkin supaya pesawat dan banyak nyawa di dalamnya terjamin keselamataannya menuju tempat pendaratan.
Terlepas dari semua itu, tidaklah penting coretan apa yang terukir dalam kertas kehidupanmu, dan gelombang sebesar apa yang telah membawamu terombang-ambing di tengah lautan dunia luar. Seperti pernah saya pasang dahulu kala di artikel 3, yang akan saya kembali tuliskan di bawah:
"Hidup bukanlah mengenai apa yang kau alami. Hidup adalah tentang bagaimana kau menyikapi apa yang kau alami."Karenanya, untuk apa menyikapi dengan berbagai keluhan dan amarah jika ada cara yang lebih baik untuk menyelesaikan permasalahan hidup. Mari berkarya dan berubah demi pribadi yang lebih baik! (:g)