Mungkin sebagian dari kalian sudah tak asing dengan kata yang satu ini. Namun, mungkin juga sebagian yang lain tak tahu sama sekali dan belum pernah mendengar tentang hal tersebut. Bahkan, bisa saja ada yang
nyeletuk, "Doktrin? Obat apa tuh?". Atau, "Temennya kelenjar endokrin, ya?". Yang jelas, doktrin bukanlah salah satu obat. Justru, doktrin adalah salah satu alat terampuh dalam mendistorsikan makna suatu hal, dan mencekoki orang-orang dengan paradigma si pendoktrin.
Kalau anda sekalian rela mencari mengenai 'doktrin' di
Google, niscaya yang akan kalian temukan kebanyakan berupa masalah agama. memang, sampai saat huruf demi huruf di artikel ini dituliskan, doktrn masih identik dan melekat dengan agama. Mungkin, keterkaitan yang erat antara doktrin dan agama disebabkan sifat doktrin yang cenderung membantu menyokong agama dan banyak bentuk organisasi sosial lainnya. Berdasarkan
the Free Online Dictionary, doktrin adalah:
- Sebuah prinsip atau kumpulan prinsip yang ditujukan untuk meyakinkan orang lain, yang biasa dipakai organisasi keagamaan, organisasi politik, atau kelompok filsafat; serupa maknanya dengan dogma.
- Sebuah aturan atau prinsip hukum, terutama ketika diresmikan oleh sebuah preseden.
- Sebuah pernyataan kebijakan resmi pemerintah, terutama dalam urusan luar negeri dan strategi militer.
- (Definisi kuno): Ajaran, instruksi
Di sebagian besar pembicaraan mengenai doktrin, kebanyakan bertema sesuai poin pertama, dan kebanyakan menjurus masalah agama. Memang, pada kenyataannya beberapa organisasi keagamaan banyak menggunakan doktrin untuk menyebarluaskan ajarannya. Dalam agama Kristen ataupun Nasrani sendiri, kata 'doktrin' sendiri bermakna sebagaimana tertulis di poin 4, yaitu berupa ajaran pokok yang dinilai amat penting dalam rangka menyebarkan ajaran agama Kristen kepada seluruh umat di muka bumi (tidak bermaksud SARA~). Meskipun begitu, makna sebenarnya doktrin jauh lebih luas dari sekedar urusan agama. Banyak juga doktrin yang ditanamkan dalam sisi budaya, sosial dan politik. Berikut contoh yang paling nyata~ dilihat dari sudut pandang penulis (disini penulis hanya mencantumkan masalah sosial budaya)
- Doktrin 1: bahwa 'Barat selalu lebih baik'
Dampak dari doktrin yang satu ini terasa begitu nyata, khususnya di Indonesia. Penulis sendiri menganggap munculnya doktrin seperti ini akibat dari penjajahan selama sekian ratus tahun yang dilakukan bangsa Barat (Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis) terhadap ranah Indonesia, yang akhirnya membuat mental sebagian rakyat Indonesia menjadi 'inferior' dan tidak percaya diri. Penjajahan tersebut, yang secara tidak langsung menahbiskan para penjajah sebagai yang 'lebih baik' dari yang terjajah, memicu timbulnya paradigma yang benar-benar keliru: bahwa bangsa Barat selalu, atau umumnya, lebih baik, lebih modern, dan lebih maju. Dan dampaknya benar-benar jelas. Lihat saja di sekitarmu, dimana orang-orang biasa berlalu lalang. Banyak orang yang merasa lebih 'keren' dengan segala macam gaya busana a la Barat, yang cenderung mengenang masa lalu mereka sebagai kera yang tak berpakaian, sebagaimana dijelaskan oleh Teori Evolusi Darwin. (Saya harap anda sekalian mengerti maksudnya). Ketika menulis beberapa kata sebelumnya, saya jadi teringat akan sebuah cerita yang dahulu diceritakan kakek saya, tentang Charles Darwin. Konon, pada tahun 1872, Charles Darwin pernah mendatang kaisar Jepang untuk menjodohkan putri sang kaisar dengan putranya yang sudah lama membujang. Berikut percakapan mereka.
Darwin: Yang Mulia Kaisar Negeri Matahari Terbit, saya datang jauh-jauh kesini semata-mata untuk menjodohkan putrimu dengan putra saya.
Kaisar: Tidak bisa.
Darwin: Mengapakah putra saya tidak bisa menikahi putrimu? Apakah karena saya bukan seorang bangsawan?
Kaisar: Bukan, permasalahannya bukan itu. Masalahnya ada pada perbedaan garis keturunan.
Darwin: Apa karena saya bukan orang Jepang?
Kaisar: Bukan itu. Kami, para bangsawan Jepang adalah keturunan Dewa Matahari, sedangkan anda adalah keturunan kera.
(NAH! Kena kau, Darwin.)
Terserah kalian mau anggap cerita tadi benar atau salah. Yang pasti, masalah ras juga menghinggapi doktrin yang satu ini. Kita dapat dengan mudah melihat dimana-mana, banyak orang yang mengecat rambutnya hingga berwarna coklat, merah atau pirang layaknya ras Kaukasoid di Eropa dan Amerika. Seolah tak puas dengan apa yang telah mereka miliki, walaupun memang tidak berlaku secara keseluruhan. Dan yang lebih nyata lagi, sebagian wanita (dan juga pria) Indonesia menganggap bahwa orang yang cantik/atau tampan haruslah putih bersih berseri. Paradigma yang kacau inipun diperparah dengan iklan kosmetik yang menjamur di seantero Indonesia, yang mengagungkan 'cantik dengan kulit putih mulus', 'rambut lurus dan elastis'.. apalah itu, saya tidak hafal, bahkan saya pernah menyaksikan sebuah iklan yang berbunyi 'kulit kaki halus bebas bulu'. Gila! Sebagian orang botak berharap rambutnya tumbuh, yang ini malah 'menggunduli' kakinya. Lebih baik disumbangkan ke para orang botak... (jangan dibuat emosi.. :D).
Padahal, kalau kalian coba tanyakan ke orang-orang Barat yang kebanyakan gaya hidupnya, dari hedonismenya sampai liberalismenya diikuti sebagian warga Indonesia, terkadang mereka merasa ingin mengikuti budaya Timur yang menurut mereka amat indah dan penuh kreativitas. Para kulit putih senang berjemur karena mereka ingin kulit menjadi cokelat. Sementara, orang-orang Indonesia yang 'beruntung' terlahir dengan kulit coklat, nyatanya malah mendambakan kulit putih berseri sebagaimana yang selama ini digaungkan dan didoktrinkan iklan-iklan. Terkadang orang Indonesia merasa tidak nyaman memakai batik di daerah yang ramai, seperti pusat perbelanjaan, bandara, stasiun dan lain-lain, karena batik di Indonesia dianggap identik dengan kondangan (doktrin lagi...!). Intinya, berusaha itu baik, tetapi jangan mengubah ciptaan Tuhan, karena apa yang diberikan oleh Tuhanmu adalah yang terbaik untukmu. Meskipun saat ini kau tak sadar, kelak kau akan memahaminya.
- Doktrin 2: bahwa bersekolah adalah untuk bekerja
Meskipun yang ini tidak segencar yang pertama, paling tidak saya ingin cermati, betapa banyak orang yang bersekolah dan 'berusaha mendapat nilai bagus', supaya nantinya 'bisa berkuliah di universitas yang bagus', dan lalu mengulangi 'berusaha mendapat nilai bagus', supaya nanti bisa 'mendapat pekerjaan yang layak'. Cara berpikir seperti inilah yang mendominasi pikiran sebagian besar manusia di bumi ini, yang emngakibatkan adanya pengangguran.
Meskipun orang-orang ini harus ada demi terjaminnya stabilitas sosial, namun jika perbandingannya tidak tepat, yang muncul tentunya adalah...ketidakseimbangan. Mengutip salah satu tulisan dari
alumnus sekolah saya, bahwa menurut hadits Rasulullah s.a.w, 9 dari 10 pintu rejeki ada pada perdagangan, yang untuk konteks masa ini terbukti menjadi sumber munculnya orang-orang terkaya di dunia. Sebut saja Carlos Slim Helu. Apa yang dia perdagangkan? Jasa komunikasi. Lihatlah Bill Gates. Kekayaannya berasal dari hasil berdagang komputer. Atau mungkin yang contohnya lebih dekat ke kehidupan sehari-hari. Larry Page, Sergey Brin, Mark Zuckerberg dan sederetan orang lain adalah orang-prang yang berhasil meraih keuntungan besar dan menjadi kaya, berkat 'berdagang' informasi dan koneksi sosial di dunia internet.
Sementara para pebisnis handal tersebut menorehkan satu demi satu pencapaian kekayaan maupun amal, sebagian besar masyarakat dunia (termasuk Indonesia), masih terbelenggu akan doktrin mengenai pekerjaan ini. Beberapa hari setelah ribuan, atau mungkin jutaan sarjana baru di Indonesia dilantik, sebagian besar dari mereka berbondong-bondong mengirim amplop lamaran kerja ke sana-sini. Hanya sedikit yang memilih melanjutkan studi, membentuk riset ataupun bisnisnya sendiri.
Kawan, orang sukses itu selalu orang minoritas. Mereka bisa sukses karena mereka mau menempuh jalan yang berbeda dengan yang dilalui kebanyakan orang. Meskipun jalan itu lebih sulit dilalui, justru kesulitan-kesulitan yang ada disanalah yang kemudian membangun mereka menjadi pribadi yang tangguh dan cerdas dalam menghadapi masalah. Jika kalian ingin menjadi orang sukses, beranilah untuk melawan kebiasaan yang umum berlaku dan menggantinya dengan yang lebih baik. Bukankah layang-layang mampu terbang tinggi kaena ia berani melawan derasnya arus angin? Apalagi, memudahkan jalan orang lain jugalah suatu kebaikan yang besar. Untuk apa kita mempersulit orang lain untuk mendapatkan pekerjaan, jika pada saat yang sama kita bisa menyediakan pekerjaan untuknya?
Sekian, mohon maaf apabila kata-kaa diatas terlalu serius atau terlalu 'kejam'. Diambil saja sisi baiknya, untuk sisi buruknya silakan diberitahukan ke saya, sebagai media pembenahan diri menuju yang lebih baik.
Marilah, mulai membiasakan kebenaran, bukan membenarkan kebiasaan.
(:g)