[Apdet: Komentar penulis per 30 Juni 2014]
Setelah melalui 2 Ramadhan dengan mendalami lebih lanjut permasalahan terkait pengamatan hilal dalam menentukan awal bulan pada kalender Hijriah, saya kini cenderung meninggalkan pendapat yang saya usung pada saat dituliskannya isi post ini. Metode yang saya sebut semata sebagai "hisab" dalam tulisan ini, sebenarnya adalah metode hisab wujudul hilal (menghitung keberadaan hilal), yang dengan serampangan saya labeli sebagai anak muda yang terlalu bersemangat untuk sekadar menelaah duduk perkara, misalnya, tentang bagaimana metode yang sebenarnya digunakan.
Saya kini memilih untuk mengusung metode yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu metode hisab imkanur ru'yat (menghitung keterlihatan hilal), yang pada tulisan ini saya labeli secara serampangan sebagai semata "ru'yat".
Meskipun demikian, untuk keperluan dokumentasi, saya memutuskan tidak akan mengubah keseluruhan isi tulisan ini.
Untuk menelaah sudut pandang yang saya amini saat ini, sila kunjungi post berikut ini.
Untuk menelaah sudut pandang saya pada penghujung Agustus 2011, sila teruskan membaca.
Oke, semua, kali ini kalian telah sampai pada edisi selanjutnya dari sebuah blog yang super tidak jelas ini. Dan kali ini kalian beruntung (halah~), karena kalian mendapatkan EDISI SPESIAL IDUL FITRI... *padahal cuma dipasang di tanggal 30 doang.. Yap, terkait dengan Idul Fitri 1432 H yang di Indonesia pelaksanaannya terbagi-bagi waktunya (lagi), mari telisik apa yang menimbulkan perbedaan ini dan apa reaksi masing-masing kubu. Untuk info, disini hanya akan membahas dua pendapat yang paling kuat saja (tanggal 30 atau 31 Agustus), pendapat yang lain (misalkan: 29 Agustus) tidak akan penulis bahas disini karena keterbatasan informasi mengenai pendapat tersebut. Yap, langsung saja:
Lanjutkan baca »
Setelah melalui 2 Ramadhan dengan mendalami lebih lanjut permasalahan terkait pengamatan hilal dalam menentukan awal bulan pada kalender Hijriah, saya kini cenderung meninggalkan pendapat yang saya usung pada saat dituliskannya isi post ini. Metode yang saya sebut semata sebagai "hisab" dalam tulisan ini, sebenarnya adalah metode hisab wujudul hilal (menghitung keberadaan hilal), yang dengan serampangan saya labeli sebagai anak muda yang terlalu bersemangat untuk sekadar menelaah duduk perkara, misalnya, tentang bagaimana metode yang sebenarnya digunakan.
Saya kini memilih untuk mengusung metode yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu metode hisab imkanur ru'yat (menghitung keterlihatan hilal), yang pada tulisan ini saya labeli secara serampangan sebagai semata "ru'yat".
Meskipun demikian, untuk keperluan dokumentasi, saya memutuskan tidak akan mengubah keseluruhan isi tulisan ini.
Untuk menelaah sudut pandang yang saya amini saat ini, sila kunjungi post berikut ini.
Untuk menelaah sudut pandang saya pada penghujung Agustus 2011, sila teruskan membaca.
***
Oke, semua, kali ini kalian telah sampai pada edisi selanjutnya dari sebuah blog yang super tidak jelas ini. Dan kali ini kalian beruntung (halah~), karena kalian mendapatkan EDISI SPESIAL IDUL FITRI... *padahal cuma dipasang di tanggal 30 doang.. Yap, terkait dengan Idul Fitri 1432 H yang di Indonesia pelaksanaannya terbagi-bagi waktunya (lagi), mari telisik apa yang menimbulkan perbedaan ini dan apa reaksi masing-masing kubu. Untuk info, disini hanya akan membahas dua pendapat yang paling kuat saja (tanggal 30 atau 31 Agustus), pendapat yang lain (misalkan: 29 Agustus) tidak akan penulis bahas disini karena keterbatasan informasi mengenai pendapat tersebut. Yap, langsung saja:
- 30 Agustus 2011
Untuk di Indonesia, keputusan ini diusung oleh salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah. Mereka membuat keputusan mengenai 30 Agustus sebagai 1 Syawal, dengan menggunakan metode hisab atau perhitungan posisi bulan yang didasarkan kepada kedudukan bulan dan matahari relatif terhadap bumi. Dari hasil hisab, mereka mendapatkan bahwa bulan berada pada posisi ijtima' atau konjungsi, pada tanggal 29 Agustus 2011 pukul 10:04 WIB. Sekedar info, konjungsi disini adalah kedudukan ketika bulan berada pada posisi terdekatnya dengan matahari, relatif dari bumi.
29 Agustus 2011, 10:04 WIB, dilihat dari Tangerang |
Karena kalender Qamariyah/Hijriyah menggunakan ijtima' sebagai patokan penentuan awal bulan, maka secara astronomis, pada hari Hijriyah berikutnya (yang dimulai tepat setelah terbenamnya matahari di hari tersebut) sudah memasuki bulan yang baru, dalam hal ini, Syawal. Atas dasar inilah Muhammadiyah menetapkan bahwa sholat Idul Fitri mereka akan digelar pada 30 Agustus 2011.
- 31 Agustus 2011
Nah, inilah keputusan resmi Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan sidang penentuan hari raya Idul Fitri yang digelar Senin (29/8) malam. Pemerintah RI 'menggunakan' MUI, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia untuk menentukan kapan sholat Idul Fitri akan dilaksanakan. Tetapi, berbeda dengan Muhammadiyah, MUI menggunakan metode ru'yat untuk menentukan kapan 1 Syawal akan dimulai. Sekadar penjelas, metode ru'yat adalah metode dimana pengamatan dilakukan sesaat setelah matahari terbenam untuk menemukan hilal (bulan sabit yang tipis). Metode ini, pada prakteknya, lebih sulit dilakukan dari pada metode hisab, karena metode ru'yat memerlukan pengamat yang menyaksikan hilal, dan tentunya dipengaruhi oleh cuaca di sekitar lokasi pengamatan. Oleh karenanya, tahun ini MUI membuat 14 lokasi pengamatan hilal yang tersebar di seluruh Indonesia, supaya hasil yang diperoleh bisa lebih relevan.
Meskipun cuaca cerah (tanpa awan di sekitar horizon barat tempat matahari terbenam dan bulan dicari), berbagai faktor lain dapat menentukan terlihatnya hilal. Faktor yang paling menentukan adalah jarak sudut hilal dari matahari. Umumnya, jarak sudut minimal hilal supaya dapat diamati dengan mudah adalah 3 derajat. Karena, pada saat itu, matahari sudah cukup jauh terbenam, sehingga cahaya matahari yang masih tersebar di langit pun sudah jauh berkurang dibanding sebelumnya. Yang memicu timbulnya perbedaan penetapan 1 Syawal adalah jarak sudut antara bulan dan matahari yang hanya sekitar 1,8 derajat.
Jarak yang kecil ini menyebabkan hampir semua pengamat yang ditempatkan MUI di seluruh Indonesia tidak dapat melihat hilal ini. Maka, sesuai hadist Nabi s.a.w mengenai metode ru'yat, hari ini ditetapkan masih dalam bulan Ramadhan, dan 1 Syawal akan digelar pada 31 Agustus besok. Keputusan inilah yang dipakai oleh pemerintah RI, dan juga, mayoritas kaum Muslim Indonesia.
Namun......
karena ini di Indonesia, tentu saja masalah tidak selesai sampai disini! Inilah topik utama sebenarnya! jrengjreng~
Seperti bisa ditebak, pro dan kontra pun bermunculan seputar ketetapan pemerintah ini. Salah satu kontroversi yang muncul adalah mengenai ditolaknya laporan teramatinya hilal dari 'pos pengamatan' di Cakung dan Jepara. Berdasarkan situs yang mencantumkan berita tersebut, MUI mengklaim bahwa hilal mustahil diamati di Indonesia. Seperti dinyatakan oleh ketua MUI, Ma'ruf Amin,"Jika mustahil, tapi ada yang mengaku melihat, (maka) harus ditolak,". Ini, dinilai oleh beberapa pihak, mengindikasikan betapa MUI masih terkesan 'konservatif' dalam zaman yang serba modern ini. Dapat dilihat dari komentar para pembaca, yang sebagian besar mengkritisi betapa MUI tetap keukeuh menggunakan ru'yat yang 'tradisional', padahal sudah ada metode hisab yang lebih akurat dan lebih mudah administrasinya. apalagi, ru'yat yang lebih banyak faktor ketidakpastiannya inilah yang dijadikan acuan utama. Berikut penulis kutip salah satu komentar seorang pembaca artikel tersebut, "Sebagai orang awam saya hanya bisa bertanya, kenapa ya, kalau 1 Ramadhan, 10 Dzulhijjah, dll. tidak pernah ada perbedaan dalam penentuannya? Tidak pernah dilakukan ru'yatul hilal tetapi memakai metode hisab, namun untuk 1 Syawal metode hisab selalu dimentahkan oleh ru'yatul hilal yang masih tradisional?". Ada juga yang berkomentar, "Cara yg digunakan pemerintah menentukan puasa & ied dg melihat hilal sdh tepat. Begitulah cara yg diajarkan Rasulullah, sbg umat islam yg baik ikuti sj apa yg sdh di ajarkan nabi." Namun pihak lain mengkritisi bahwa ru'yatul hilal bukanlah satu-satunya cara untuk menentukan pergantian bulan, yang justru terkesan 'disakralkan' oleh pemerintah, sebagaimana komentar pertama yang penulis cantumkan.
Dari KBRI Den Haag, Belanda, Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA, juga mengkritisi terkait 'sakralisasi' ru'yatul hilal sebagai metode utama penentuan pergantian bulan Hijriyah. Menurut beliau, dalam hadits mengenai penggunaan ru'yatul hilal dalam menentukan pergantian bulan, disebutkan mengenai ketidakmampuan warga Makkah dan Madinah saat itu dalam baca-tulis. (Jangan tanya soal hadits ini pada penulis.) Jadi, dengan kata lain, ru'yatul hilal hanya digunakan untuk menentukan awal dan akhir bulan semata, namun tidak lantas dijadikan cara wajib untuk menentukan pergantian bulan. "Karena pada masyarakat Nabi s.a.w hanya ru'yatul hilal yang memungkinkan untuk dijadikan acuan, maka digunakanlah ru'yatul hilal. Tetapi, saat ini pergerakan dan posisi bulan sudah dapat ditetapkan dengan akurasi tinggi," demikian jelas beliau.
Komentar penulis:
Yah, saya sendiri sebenarnya ikut berlebaran tanggal 30. Dasarnya, posisi bulan yang sudah melewati posisi ijtima' atau konjungsi. Terlepas dari kapan Anda sekalian berlebaran, akan lebih baik jika pendapat yang Anda pilih sebagai hari raya Idul Fitri, baik tanggal 30 atau 31 Agustus, masing-masing anda ketahui asal muasalnya. Jangan hanya mematuhi keputusan pemerintah sebagai warga negara yang 'taat', karena ketaatan yang buta hanya akan menyeret kepada kebodohan semata. Dan juga, amal yang kita lakukan karena kepatuhan semata, makna spiritualnya akan jauh berkurang. Namun, saya sebenarnya menginginkan supaya seluruh Indonesia selalu kompak mengenai keputusan seperti ini. Karena perbedaan seperti ini di Indonesia, meskipun sering dikoar-koarkan 'Perbedaan itu indah', lebih sering memunculkan perselisihan dan saling caci maki, yang pada akhirnya akan mengotori esensi dari ibadah itu sendiri.
Akhir kata, maaf kalau artikelnya terlalu 'berat' atau terlalu serius, ini semata-mata hanya berbagi pengetahuan. Boleh, kan? Yap, mohon maaf apabila ada keterangan penulis yang kurang tepat, atau kata-kata yang kurang berkenan. Selamat berlebaran! :D
(:g)
Dari KBRI Den Haag, Belanda, Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA, juga mengkritisi terkait 'sakralisasi' ru'yatul hilal sebagai metode utama penentuan pergantian bulan Hijriyah. Menurut beliau, dalam hadits mengenai penggunaan ru'yatul hilal dalam menentukan pergantian bulan, disebutkan mengenai ketidakmampuan warga Makkah dan Madinah saat itu dalam baca-tulis. (Jangan tanya soal hadits ini pada penulis.) Jadi, dengan kata lain, ru'yatul hilal hanya digunakan untuk menentukan awal dan akhir bulan semata, namun tidak lantas dijadikan cara wajib untuk menentukan pergantian bulan. "Karena pada masyarakat Nabi s.a.w hanya ru'yatul hilal yang memungkinkan untuk dijadikan acuan, maka digunakanlah ru'yatul hilal. Tetapi, saat ini pergerakan dan posisi bulan sudah dapat ditetapkan dengan akurasi tinggi," demikian jelas beliau.
Komentar penulis:
Yah, saya sendiri sebenarnya ikut berlebaran tanggal 30. Dasarnya, posisi bulan yang sudah melewati posisi ijtima' atau konjungsi. Terlepas dari kapan Anda sekalian berlebaran, akan lebih baik jika pendapat yang Anda pilih sebagai hari raya Idul Fitri, baik tanggal 30 atau 31 Agustus, masing-masing anda ketahui asal muasalnya. Jangan hanya mematuhi keputusan pemerintah sebagai warga negara yang 'taat', karena ketaatan yang buta hanya akan menyeret kepada kebodohan semata. Dan juga, amal yang kita lakukan karena kepatuhan semata, makna spiritualnya akan jauh berkurang. Namun, saya sebenarnya menginginkan supaya seluruh Indonesia selalu kompak mengenai keputusan seperti ini. Karena perbedaan seperti ini di Indonesia, meskipun sering dikoar-koarkan 'Perbedaan itu indah', lebih sering memunculkan perselisihan dan saling caci maki, yang pada akhirnya akan mengotori esensi dari ibadah itu sendiri.
Akhir kata, maaf kalau artikelnya terlalu 'berat' atau terlalu serius, ini semata-mata hanya berbagi pengetahuan. Boleh, kan? Yap, mohon maaf apabila ada keterangan penulis yang kurang tepat, atau kata-kata yang kurang berkenan. Selamat berlebaran! :D
(:g)