Sabtu, 19 Januari 2013

Article#129 - Realistis, Antara Menyerah dan Berharap

Yah, kembali bersama saya dalam tulisan blog yang penuh dengan kecamuk ketidakjelasan ini. Kalau dipikir, sudah cukup lama saya tidak menuliskan mengetikkan tulisan untuk disumbangkan dalam koridor pemikiran, sejak kira-kira 2 pekan yang lalu. Sejak itu, saya punya cukup banyak bahan yang masih mengantri layaknya bantuan sembako, tetapi tetap saja, karena kemalasan saya mengetik dan bingung memilih topik yang mana untuk dipasang di blog berbagai hal, akhirnya baru sekarang saya kembali siap siaga untuk menuliskan tulisan terbaru saya ini. Siapkan kue dan teh hangat kalian, karena akan segera dimulai.. Gubrak. Oke langsung saja.

Kata yang menjadi topik kali ini sendiri sudah banyak muncul dalam berita-berita terbaru saat tulisan ini dibuat, yang masih banyak membicarakan banjir yang melanda ibukota Indonesia sebagai salah satu metropolitan terbesar di Asia Tenggara, Jakarta. Kata ini juga sudah banyak pula dituturkan oleh orang yang berbicara mengenai segala macam hal yang tak masuk nalar, atau yang dianggap tidak tepat penempatannya. Penulis sendiri mendapat ide awal untuk menulis tentang topik ini setelah mengunjungi blognya mba Fitri.
Cukup singkat, hanya terdiri dari 9 huruf: realistis.

Secara etimologis, kata realistis merupakan serapan dari kata Inggris realistic, yang merupakan gabungan dari kata real dan akhiran -istic, yang ketika digabungkan, makna lengkapnya menjadi 'yang memandang sesuatu secara real/nyata'. Banyak pihak mengatakan bahwa realistis adalah lawan dari idealis, tetapi rasanya, tidak juga. Bahkan dari dasarnya saja sudah tidak berlawanan. Realis berdasar kepada apa yang ada dalam kenyataan. Idealis berdasar pada apa yang ingin ia lihat dalam kenyataan, dalam hal ini, dunia yang ia cita-citakan berupa dunia yang ideal. Agaknya, makna 'ideal' dan 'real' yang berlawanan hanya ada dalam dunia fisika, dimana dicetuskan sebuah kondisi ideal yang tujuan utamanya adalah mempermudah pemahaman dan perhitungan. Dan meskipun kenyataannya (sebagai realis) di dunia ini tak ada yang sepenuhnya ideal, jika yang ideal itu memang baik, kenapa tidak disempurnakan (sebagai idealis), atau paling tidak mendekatinya? Meskipun idealisme absolut sendiri takkan pernah tercapai, memangnya hanya hasil itu (ideal) yang dikejar? Yang penting adalah prosesnya, bukan hasilnya.

Wah wah wah, kembali saja ke topik awal sebelum keburu melenceng bergemerenceng.
Berikutnya tentu, akan muncul pertanyaan, memang realistis sendiri itu apa?
Orang-orang menafsirkan realistis dalam berbagai macam sudut pandang, namun, seperti sedikit penulis sebutkan di awal, kebanyakan dipakai untuk membantah sesuatu hal yang dinilai tak masuk nalar, atau yang tak pantas. Kata realistis umum ditemukan dalam kalimat yang berisi mirip seperti kalimat "Lupakanlah mimpimu, realistis saja lah", "mencoba realistis dengan tidak memasang target tinggi, 1 emas sudah cukup", atau "Saya pikir pemikiran Anda ini tidak realistis", atau yang sejenisnya. Sampai akhirnya muncul sebuah pendapat, yang dikutip oleh novel Perahu Kertas (yang juga difilmkan) lewat tokoh Keenan, 'Menyerah dan realistis itu beda tipis' (padahal saya belom pernah nonton filmnya). Meskipun begitu, apakah berarti menyerah dan realistis harus serupa? Melihat ungkapan lain dengan frasa 'beda tipis', yang ada 'Cinta dan benci itu beda tipis'. Sepertinya cukup jelas, jika orang-orang sepakat jika cinta dan benci merupakan dua kata sifat yang saling berlawanan makna. Bagaimana dengan menyerah dan realistis? Penulis lebih cenderung kepada pendapat bahwa maksud dari frasa 'beda tipis' itu adalah kemudahan untuk 'berpindah' antara kedua keadaan tersebut.
Maka, supaya alur tulisan ini tidak terombang-ambing terlalu jauh dalam ketidakpastian, penulis akan berikan definisi 'realistis' dari sudut pandangnya sendiri (yang selalu 'terkontaminasi' idealisme).
"Realistis bukanlah menyerah dan berhenti mengejar impian. Realistis adalah membuka mata atas dunia nyata supaya tak terbuai angan."
Artinya, jika penulis memiliki sebuah koin bernama realistis, maka dasar dari masing-masing kalimat menjadi kedua sisinya.
Realistis bukan menyerah? Memang bukan. Reaslistis juga tidak harus berarti dikecewakan atras kenyataan yang tak sesuai harapan.
Menyerah, ataupun kecewa, hanyalah salah satu manifestasi yang mungkin muncul dari sebuah sikap realistis (juga dari beragam sikap lain). Bukan satu-satunya. Dengan realistis, kau bisa mengurangi sikap gegabah dalam bertindak ataupun mengambil keputusan. Dengan realistis pula, kau bisa melihat permasalahan yang ada dengan kepala dingin, tidak tersugesti, meskipun memang banyak juga masalah yang berada di balik tabir.
Dan dengan realistis pula, impian yang ingin kau rajut bisa disusun benang-benangnya dengan nyata dan sadar, serta tidak terbuai dalam angan-angan kosong. Bahkan idealisme yang kuat baru akan berbuah nyata jika disokong oleh sikap realistis yang cukup. Kalau orang bilang, "Impianmu boleh tergantung di langit tertinggi, namun jangan sampai kakimu lupa memijak bumi."

Mengenai realistis supaya tidak terbuai angan, penulis mendapat contoh bagus mengenai hal tersebut beberapa hari yang lalu, ketika di salah satu grup di akun media sosial Facebook penulis dikunjungi seseorang yang mempromosikan sebuah grup yang disebutkan 'bercita-cita memajukan teknologi Indonesia' (idealis). Usut punya usut, penulis dan rekannya yang penasaran akan idealisme yang dimiliki anggota grup tersebut mulai 'mengamati' aktivitas yang dilakukan di grup ini. Namun, sayang seribu sayang, idealisme yang begitu indah itu menjadi terdengar naif, saat penulis dan rekanan mengetahui bahwa idealisme itu, alih-alih dibentuk dengan dasar sikap realistis atas permasalahan bangsa, justru dibangun diatas kebohongan dan kepalsuan. Terbukti, semua itu tak bertahan lama. Hanya sekitar sepekan sejak penulis dan rekannya menemui grup tersebut, seisi anggotanya sudah kehilangan kepercayaan atas sang 'commander', yang mengaku bekerjasama dengan sebuah lembaga teknologi luar negeri yang maju, sementara jelas bahwa ia berbohong.

Yah, menurut penulis, itulah jadinya jika idealisme tak ditopang realistisme. Hanya wacana kosong.
Sebagai penutup, ada sedikit komik mengenai idealis-realis. Meskipun bukan gambaran umum, tak ada salahnya direnungkan.
Kompilasi dari 3 panel komik tentang idealis-realistis dari laman http://cophilosophy.blogspot.com/
(:g)

3 komentar:

  1. Before being a realist, one needs to taste the bitter-sweet-ness of being an idealist though :]

    BalasHapus
    Balasan
    1. I think so. Being realist without any single trace of idealism is much closer to 'surrender'.

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...