Jumat, 23 Desember 2011

Article#28 - Bahasa Indonesia yang Terbuang..

Ups, mungkin judulnya terlalu provokatif. Akan tetapi, trik psikologis berupa 'provokatif' lah yang digunakan media massa dalam menyebarkan informasi, dan selama ini trik ini terbukti nyata berhasil memberangus kebutaan informasi di seluruh dunia.... Ah, lupakan. Bukan itu yang akan kita bicarakan. ke, tidak perlu berbasa-basi sebagaimana banyak orang Indonesia biasa lakukan, segera ke topik.

Lupakan soal artikel, karena yang akan saya tulis disini nyaris murni opini. Jika kalian mengamat dari posisi pengamat percakapan di seantero Indonesia, kalian akan mendapat bahwa, meskipun diagung-agungkan sebagai bahasa pemersatu Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa dan bahasa daerah, yang juga memiliki sederet fakta menakjubkan lainnya, bahasa Indonesia secara utuh mulai kehilangan tempatnya di hati rakyat Indonesia. Baik melalui penggunaan kata yang salah, bahkan yang mengarah ke 'malu berbahasa Indonesia'.
Pertama, berkaitan dengan 'kurang dihormatinya' bahasa Indonesia. Dicontohkan saja , seperti gambar di bawah.
perhatikan tulisan inggrisnya. kacau betulan.
Entah apa maunya orang Indonesia, banyak sekali plang di Indonesia yang seolah 'memaksakan' untuk mencantumkan bahasa Inggris. Bahkan seringkali dengan penggunaan bahasa Ingggris tersebut, bahasa Indonesia malah dihilangkan dari plang. Sering kan kalian mendapati plang bertuliskan 'EXIT', atau 'EMERGENCY'. Ini di Indonesia, ey! Malukah warga Indonesia menggunakan istilah dalam bahasanya sendiri?

Terserah kalian mau setuju atau tidak. Tidak ada alasan untuk tidak tahu ini, semua bukti nyata kini sudah tersebar luar di mana-mana. Jika kau tak mengetahuinya, saya katakan anda menutup mata terhadapnya. Inilah alasan mengapa saya sebut bahasa Indonesia mulai 'terbuang' di tengah masyarakat. Inilah alasan pernah munculnya gerakan menjadikan bahasa Indonesia sebagai 'bahaa tuan rumah di negeri sendiri', yang meskipun telah lama menghilang dari permukaan berita, masih ada jiwa jiwa cerah yang berusaha menghidupkannya. Kalau melihat pepatah 'Bahasa menunjukkan bangsa', saya merasa paham mengapa Indonesia belum sukses-sukses. Bahasanya saja, yang katanya jadi identitas nasional, malah makin dinomorduakan. Yang dipikirkan hanya perut, logikanya 'asal hidup tenang'. Kalau hanya berharap, tanpa perbuatan, harapan hanya akan menguap sebagai sebatas mimpi belaka. Mau jadi apa negeri ini.

Saya ucapkan selamat bagi yang sdah mau meluangkan waktunya membaca sejauh ini, karena, permasalahan lingustik negeri kita tak habis disini. Masalahnya sudah seperti rembesan air laut yang muncul saat kau menggali lubang di pasir pantai. Tak peduli sesering apa kau menguras air dari lubang itu, selalu ada air baru yang muncul. Kembali ke topik, rupanya masih ada topik lain yang tak kalah memprihatinkan, yaitu bagaimana mayoritas orang Indonesia masih setengah-setengah dalam berbahasa. Saya cukup yakin kalian sering mendengar kalimat-kalimat semacam ini terlontar, bahkan (mungkin) dari lidah kalian sendiri.
"Tolong di-save filenya dong.."
atau semacam ini..
"Disana environment-nya bagus sekali..."
ada juga yang seperti ini...
"Kemarin acaranya cool banget.."
Dalam beberapa tahun belakangan, kalimat semacam ini makin umum terdengar di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Dan banyak orang yang mengucapkannya dengan lugas dan lapang. Padahal, dengan membiasakan penggunaan kalimat sejenis itu, mereka tanpa sadar sudah mulai mengikis rasa bangga berbahasa Indonesia sendiri.

Dan diantara orang-orang yang mulai terkikis rasa kebanggaannya berbahasa Indonesia itu adalah mereka yang sudah membaca sampai ke bagian ini, tetapi masih belum menemukan apa yang akan dibicarakan disini. Masih belum tahu juga? Baiklah, saya beritahu kalau begitu. Yang akan saya sampaikan berkaitan dengan ketiga kalimat diatas adalah bahwa ketiga kalimat diatas setengah-setengah dalam berbahasa. Maksudnya? Tenangkan pikiran, dan coba pahami sebelum lanjut membaca.

Pada kalimat-kalimat diatas, kesemuanya mengandung satu kata dari bahasa Inggris. 'Budaya' salah kaprah ini tampaknya makin menjamur seiring merebaknya era globalisasi. Sebenarnya sih, pemakaian istilah bahasa asing (tak peduli dalam bahasa Inggris [contoh: cool], atau bahasa Arab [contoh: alim], bahasa Hokkien [contoh: goceng] dan lainnya) dalam bahasa Indonesia tetap diizinkan (di bahasa Inggris juga sering memakai istilah Latin kok), asalkan memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku (serasa di kuis saja). 
(Untuk selanjutnya, dibawah ini akan lebih mencermati masalah pemakaian istilah asing dari bahasa Inggris, karena inilah gejala krisis kebahasaan Indonesia paling kronis saat ini. Lagipula sebagian besar kosakata bahasa Indonesia adalah serapan bahasa asing, yang paling umum dari bahasa Inggris, Arab, Sanskerta, Belanda, Portugis dan dialek Hokkien. Tetapi, yang akan dibahas selanjutnya adalah penggunaan istilah asing (bukan serapan) yang mulai menggeser bahasa Indonesia yang asli, baik bahasa baku maupun tak baku.)

Ketentuan (selanjutnya disebut pedoman saja) tersebut adalah:
  1. Istilah bahasa asing digunakan untuk menyebut atau menamai benda atau konsep baru yang belum ada di Indonesia seperti kata-kata di bidang kedokteran.
  2. Istilah bahasa asing digunakan untuk memberikan makna yang lebih 'halus'
  3. Istilah bahasa asing digunakan untuk menyebutkan sesuatu dalam kebudayaan atau kehidupan masyarakat asing.
  4. Istilah bahasa asing digunakan untuk frase-frase tertentu yang lebih dikenal dalam bahasa asing daripada padanan aslinya dalam bahasa Indonesia. Seperti kata tissue yang umum dipakai karena lebih terkenal dari kata padanannya dalam bahasa Indonesia, selampai.
  5. Istilah bahasa asing hanya digunakan ketika benar-benar diperlukan, jika ada padanannya yang umum dikenal dalam bahasa Indonesia
(disadur dari artikel Bahasa Menunjukkan Bangsa, karya Mukodas Arif Subekti, 15 Desember 2011, 15.11 WIB dengan penambahan dan pengubahan seperlunya)
Yap, intinya, untuk menggunakan istilah asing, perlu diperhatikan rambu-rambu yang sudah saya bagikan diatas, atau paling tidak rambu-rambu lain yang relevan dan sesuai.
Wah, salah, bukan rambu yang ini.
Lupakan dan kembali ke pokok bahasan. Mengapa saya sebut 'setengah-setengah dalam berbahasa', ialah karena mereka yang mengucapkan kata-kata tersebut terkesan tidak konsisten dalam menggunakan bahasa. Mau bicara pakai bahasa Indonesia ya konsisten, jangan pakai istilah-istilah Inggris terus. Dinilai oleh sebagian pihak, mengenai penggunaan ini ada kaitannya dengan doktrin sebagaimana yang pernah saya tuliskan di artikel sebelumnya, bahwa Barat dianggap lebih baik dalam hampir segala bidang. Karenanya, rakyat Indonesia menilai, "dengan meniru Barat, saya akan tampak lebih baik".

Berlomba-lombalah orang orang malang itu (jangan disalahartikan dengan kota Malang) dalam menyerap dan mengimplementasikan budaya Barat dalam keseharian mereka, termasuk, yang menjadi bahasan utama di sini, bahasa. Dan, berkembangnya pola pikir semacam ini ikut mendorong munculnya doktrin kedua, bahwa dengan mengucapkan istilah bahasa Inggris, seorang akan dianggap 'intelektual', 'cerdas' dan 'terpelajar'. Padahal, tanpa mereka sadari, jati diri nasionalisme mereka luntur secara bertahap dengan kebiasaan tersebut. Tengoklah presiden Indonesia saat inipun, Susilo Bambang Yudhoyono atau populer sebagai SBY, kerapkali menggunakan istilah asing yang dirasa tak perlu dalam banyak pidatonya. Sampai-sampai ada yang mengolok gaya pidato SBY dengan pidato 'gado-gado', menyindir penggunaan bahasa Inggrisnya yang berlebihan.
Khusus untuk bagian ini, sengaja saya kutip sebuah catatan dari Roy Thaniago, seorang peminat kebudayaan dan kesenian muda Indonesia, yang dipasang di Facebook pada 12 Desember 2010.
"Seorang kawan yang baru lulus kuliah ditolak di mana-mana ketika melamar pekerjaan. Kesalahannya cuma satu, Ia terlalu bangga memakai bahasa Indonesia. Tidak seperti kebanyakan pelamar lain yang berfoya-foya dalam bahasa Inggris, kawan tadi memakai bahasa Indonesia dalam surat lamarannya.

Jumlah alasannya memakai bahasa Indonesia pun sama dengan kesalahannya itu, cuma satu, yakni, ia melamar pada perusahaan yang ada di Indonesia, yang masyarakat, rekan kerja, dan pimpinannya berbahasa Indonesia. Perusahaan yang pekerjaanya bisa dikerjakan dalam bahasa Indonesia.

Sialnya, kawan tadi lupa, kalau perusahaan di Indonesia merasa hebat ketika berhasil mengaudisi karyawannya dalam bahasa Inggris. Biar sedikit intelek, bro!

Dari perusahaan dengan banyak istilah asingnya – meeting, outing, order, customer, owner, break event point, part time, office boy – mari beralih ke bidang lain. Dalam pemerintahan, kebanggaan meminjam istilah Inggris juga amat mengenaskan – kalau tidak mau disebut mengesalkan atau memuakkan.

Tampak sekali kalau para pejabat kewalahan untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia sepenuhnya, sehingga merasa perlu meminjam istilah asing. Tengoklah istilah seperti impeachment, smart card, voting, sampai yang paling tolol, busway.

Entah, tulah apa yang menelanjangi identitas kebangsaan kita. Kenapa kata-kata asing bertaburan dalam percakapan sehari-hari? Bahasa Indonesia seakan tak mampu bersolek dengan anggun bila tidak menggandeng bahasa Inggris. Orang paling bodoh sekali pun diatur gaya berbahasanya agar fasih melafal tengkyu, sori, serprais, sekuriti, syoping sebagai syarat penduduk berwawasan global – walau pengetahuan dan nalarnya tidak diajak mengglobal.

Tidak ketinggalan – dan ini yang paling menyakitkan – institusi publik yang seharusnya mendidik masyarakat, malah melayani kekeliruan berbahasa tersebut. Kita lihat bagaimana sekolah-sekolah berbangga dengan mengganti namanya dengan bahasa Inggris. Universitas mengiklankan dirinya di media dengan istilah Inggris seperti admission, free laptop, the leading university, faculty of management, dan seterusnya.

Padahal target pemasarannya adalah orang-orang yang sehari-hari berbahasa Indonesia. Media cetak maupun elektronik juga melayani semua kekenesan ini. Simak saja kata-kata yang mondar-mandir di halaman mata kita. Ada Today Dialogues, Woman of the Year, Sport, Headline News, dan sebagainya.

Pada SINDO, sebuah media massa nasional, yang logikanya adalah sebuah media yang turut bertanggungjawab terhadap budaya berbahasa, pun bersikap demikian. Coba periksa koran ini pada tiap edisinya. Di halaman depan, mata pembaca sudah dihadang dengan rubrik ‘news’ dan ‘quote of the day’.

Usaha meng-inggris ini belum usai, karena disusul di lembar-lembar berikutnya: rubrik ‘financial revolution’-nya Tung Desem Waringin, rubrik ‘people’, rubrik ‘fashion’, rubrik ‘food’, rubrik ‘rundown’, atau cap ‘special report’ pada artikel tertentu. Jangan tersenyum geli dulu, karena bukan saja SINDO, koran-koran lainnya pun tak luput dari gaya-gayaan berbahasa ini.

Mau contoh lain? Tak usah pergi jauh, karena cukup sambil duduk menggenggam halaman ini, bayangkanlah segala sesuatu di sekitar anda: merek permen, keterangan dalam bungkus mie instan, nama restoran, keterangan dalam gedung (exit, toilet, emergency), dan seterusnya, dan sebagainya, yang kalau dituliskan semua, artikel kali ini hanya akan memuat daftar ‘dosa’ tersebut. Dan tentunya memanjangkan rasa jengkel.

Lalu, menjadi sehebat Inggris atau Amerika-kah bangsa ini ketika berhasil mengadopsi bahasa mereka? Apakah dengan serta merta ekonomi negara menjadi seciamik mereka? Apakah dengan begitu terlihat cerdas karena berhasil mensejajarkan diri dengan bangsa Barat?

Sampai sebegitu jijiknyakah kita terhadap bahasa Indonesia sehingga pada kata ‘peralatan kantor’ perlu ditemani kata dalam kurung ‘stationery’, ‘nyata’ ditemani kata dalam kurung ‘real’, atau ‘kekuatan’ yang ditemani ‘power’? Seakan mata kita lebih karib dengan kata di dalam kurung ketimbang kata dalam bahasa Indonesia-nya.

Masih cukup waraskah kita ketika menertawakan seorang artis muda yang ber-Inggris ria, “hujan..beychek..ojhek”, yang padahal adalah cermin dari ketidakberpribadian diri kita sendiri? Atau celakanya, latah pun kalau bisa dibuat-buat agar yang keluar secara spontan adalah kata, ‘oh my god’, ‘monkey’, ‘sh*t’, ‘f**k you’, atau ‘event organizer’.

Pada kasus lain kita temukan bagaimana sikap sok inggris ini tidak diimbangi dengan pengetahuan memadai. Contoh paling fatal, juga paling tolol, ada pada isitilah ‘busway’ yang tidak mengindahkan aturan bahasa, terlebih logika. Mana ada frase, “ke Blok M naik ‘jalanan bis’ sangat nyaman”.

Coba perhatikan, bagaimana kita melafal ‘AC’ (Air Conditioner) dan’HP’ (Hand Phone). Bukankah kita menyepel a-se untuk ‘AC’ dan ha-pe untuk ‘HP’? – padahal kalau sok Inggris layaklah dieja ei-si dan eitch-pi. Tapi tidak pada ‘VCD’ (Video Compact Disc) dan ‘PC’ (Personal Computer), karena kita menyepel vi-si-di dan pi-si. Konyolnya, ‘Media Nusantara Citra’ (MNC), dieja dengan em-en-si, bukan em-en-ce.

Yang paling menyedihkan, justru yang menghargai budaya (bahasa) Indonesia adalah orang asing. Mungkin kita sudah bosan mendengar bagaimana bertaburnya kelompok musik gamelan Jawa di Amerika. Di Eropa, beberapa konservatori musik malah menyediakan jurusan musik karawitan atau gamelan bali.

Tengoklah yang terdekat, misalnya di Erasmus Huis, sebuah pusat budaya Belanda di Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam program bulanan kegiatan yang dicetak di atas brosur, bahasa Indonesia-lah yang didahulukan, kemudian baru disusul dengan bahasa Belanda kemudian Inggris. Bila ada pementasan pun, buku acara, bahkan kata sambutannya pun – walau terbata-bata – mendahulukan bahasa Indonesia. Gilanya, hal ini justru terbalik bila artis Indonesia yang tampil.

Pada konser Nusantara Symphony Orchestra yang berkolaborasi dengan Tokyo Philharmonie Orchestra di Balai Sarbini, 10 Juni 2008 lalu, sebagai perwakilan dari Indonesia, Miranda Goeltom yang orang Indonesia memberi sambutan, tentunya dalam bahasa Inggris. Lalu, sebagai perwakilan Jepang, kata sambutan dari ‘Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Jepang untuk Republik Indonesia’, Kojiro Shiojiri menyusul.

Shiojiri yang asli Jepang ini, yang tidak ada untungnya karena memakai bahasa Indonesia, malah dengan pede-nya berpidato dalam bahasa Indonesia, meski terbata. Sudah cukup muakkah membaca kenorakan kita di atas? Memang, bahasa yang hidup adalah bahasa yang dinamis dan terus dirusak. Tidak seperti bahasa yang sudah mati seperti bahasa Latin.

Namun dalam konteks ini, sama sekali tidak menandakan bahwa masyarakat Indonesia sedang mengembangkan bahasanya secara sadar. Sebaliknya, masyarakat kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali fenomena budaya yang menggigiti identitas bangsa. Tidak mampu mengatasi kekagokkannya sendiri terhadap budaya asing.

Mirip orang kampung yang merias berlebihan dengan segala pernak-pernik kota sepulangnya ke kampung halaman. Bangsa yang persoalan budaya-nya dianggap sepele bukan Indonesia sendiri. Tenang saja, kita ada kawan. Bangsa Romawi adalah kawan yang dimaksud.

Secara militer Romawi memang menjajah Yunani, tapi dalam hal kultural, Yunani-lah yang menjajah. Kalau kita, militer dijajah, budaya dijajah, ekonomi juga dijajah. Lalu apa yang bisa membuat bangsa ini tidak terjajah? Ketika tersinggung saat membaca artikel ini, begitu jawabnya.

Jadi, tersinggunglah!"

 Untuk epilog, saya ingin sedikit mengubah kata-kata Bung Karno, yaitu berikut ini, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai bahasanya". Sudah banyak bahasa daerah Indonesia yang terkikis sedikit demi sedikit karena makin langkanya penutur, dan hal yang hampir sama terjadi pula pada beberapa kesenian dan kebudayaan lokal, yang tergerus oleh kuatnya arus perubahan zaman. Alih-alih berusah mengembailkan semua itu seperti semula, kini giliran bahasa Indonesia yang kemurniannya dilunturkan. Yang dalam pengucapan dinomorduakan. Yang senantiasa dicampuradukkan. Ingatlah perjuangan pahlawan dahulu, yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu di seluruh Indonesia. Ingatlah lagi baik-baik baris ketiga naskah Sumpah Pemuda 1928. saat itu rakyat Indonesia yang berbahasa Belanda, Melayu, Jawa, dan lain-lain rela beralih bahasa menggunakan bahasa Indonesia dalam rangka mencapai tujuan bersama, sebuah identitas sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat secara utuh.

Nyatanya, rakyat Indonesia menomorduakannya kini. Hanya karena alasan remeh temeh yang tidak sebanding dengan kesediaan pahlawan pergerakan kemerdekaan dahulu dalam memantapkan penggunaan bahasa Indonesia. Ingin dianggap intelektual. Ingin dianggap modern dan gaul. Takut dibilang kampungan. Bahkan yang paling bebal, ikut-ikutan belaka. Memangnya, dengan memakai gaya bicara gado-gado tersebut, kalian akan terlihat pintar? Terlihat cerdas? Terlihat terpelajar? Terlihat modern? Kata saya, peduli amat dengan itu semua. Hanya orang yang tak mau berpikirlah yang mau diperdaya akan hal-hal semacam itu. Orang yang mau berpikir dengan baik, takkan peduli cara supaya dia terlihat 'lebih' di mata orang lain. Yang belum tentu sama menurut tiap-tiap orang. Yang akan dia lakukan hanyalah selalu memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik.
Kawan, mari mulai lestarikan bahasa Indonesia sebagai identitas nasional. Apa gunanya memiliki sebuah bahasa yang dikoar-koarkan sebagai bahasa persatuan, jika dengan hanya alasan 'kekerenan' semata, bahasa yang menjadi alat pemersatu itu kita kesampingkan.

Sebenarnya, melakukan hal ini mudah saja, asalkan tujuannya murni untuk memperbaiki diri dan untuk memajukan bangsa ini. Sebagai catatan, saya tidak pernah melarang penggunaan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari, justru, jujur saja, saya mendukung rakyat Indonesia untuk belajar bahasa Inggris. Kata ayah saya, ilmu itu semuanya baik, yang menjadikannya buruk adalah sang pemakai ilmu sendiri. Masalah muncul ketika orang termakan doktrin yang telah saya sebutkan sejenak diatas, dan lalu meminggirkan bahasa Indonesia demi kesan 'terpelajar' dan 'modern'. Saya sebut itu malu akan berbahasa Indonesia. Karena tidak ada bangsa yang baik secara menyeluruh, yang rakyatnya merasa malu akan identitas bangsanya. Dan, mengutip kata-kata Aa Gym, mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal yang kecil, dan mulailah dari saat ini. Tunggu apa lagi? Jika ingin berubah menjadi lebih baik, tak akan ada gunanya menunda. Selamat berjuang! (:g)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...