Kita bisa saja berkutat pada kata dasarnya, "bijak"; sebuah kata yang biasa dipakai untuk melabeli mereka yang mendedikasikan diri sebagai lumbung petuah dan kutipan motivasi. Meskipun pada kenyataannya, "bijak" sendiri dapat dimaknai sebagai sifat "petah lidah": kepandaian dalam meracik kata-kata, membaurkan ragam dialektika—setidaknya demikianlah menurut KBBI. Atau "bijak" sebagai sifat orang yang senantiasa mendayagunakan akal budinya, sebagaimana mungkin sering kita temui dalam senarai cerita.
Kita pun bisa memaknai "kebijakan" sebagaimana penempatannya dalam tajuk berita, yang kerap kali diidentikkan dengan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh para pemangku kekuasaan. Tidak jelas juga, bagi penulis, kapan pemaknaan "kebijakan" yang ini dipopulerkan; apakah ini usaha pemerintah dalam mencitrakan dirinya sebagai kumpulan orang "bijak" yang peduli nasib rakyat, saya pun tak tahu.
Apakah kebijakan ini, jika diniatkan dengan niatan bijak, berhasil membuat bijak apa-apa yang ditujukan padanya kebijakan, kita pun mungkin lebih tak tahu.
Ada kebijakan yang tak mendengar. Seolah tak bergeming di hadapan ribuan, jutaan orang yang bersatu menyuarakan teriak senada, jerit seirama. Ia dengan tenangnya membiarkan sekian banyak manusia saling tabrak, baku hantam, adu kericuhan, toh mereka dibebaskan untuk melakukan apa yang mereka suka. Silakan saja ricuh sekeras yang kau bisa, itu hakmu, mereka para "orang bijak" pun tak akan terganggu. Tak pula repot-repot mencari tahu.
Ada kebijakan yang tak melihat. Seolah tak kenal ampun, mendobrak pakem dan hegemoni yang bercokol demi kebaikan bersama. Terbutakan oleh imaji akan sebuah negara yang besar, ia terus mendorong dirinya sebagai pelopor dari beragam pergerakan, pusat dari tiap mata badai gejolak dunia; toh ialah yang memicu bermulanya segala. Silakan saja kau membunuh sekian banyak cita mulia yang digaungkan, ia pun akan tetap membawamu berjalan, melangkah demi kebesaran yang tercitakan. Tak menyadari sesiapa di belakang yang setia berkalang.
Ada kebijakan yang tak berbicara. Hadirnya bisu, perangainya pun tampak jemu, seolah bosan melihat canda tawamu. Pergerakannya dalam menduduki kursi tertinggi pun senyap; tanpa banyak rusuh, tanpa banyak basa-basi sebagaimana umumnya penduduk negeri. Tetapi, ketika ia mulai menancapkan jemari ke penjuru negeri, dibawanya seisi negeri untuk mengikuti: bicarakan yang baik-baik, atau mati. Silakan saja berseru sekeras mungkin di depan khalayak ramai, yang selanjutnya akan kausapa adalah jemari jeruji. Jeruji sunyi, sepi, memaksa penghuninya untuk berdiam diri sebagaimana penguasa negeri. Tak menggubris kebusukan di sana-sini.
sumber |
Ketika mereka yang bercokol di kursi mewah mengeluarkan kebijakan, kita yang berkemul seisi angkasa sontak memprotesi.
Ketika mereka yang berhiaskan jas almamater mengeluarkan kebijakan untuk menanggapi kebijakan, tak lagi jelas batas antara peduli dan ditunggangi.
Dan ketika mereka yang bernafaskan aroma pertiwi mempertanyakan kebijakan, semua sontak saling mengkritisi tanpa dasar berarti.
Kebijakan tak tampak bijak? Mungkin memang tidak. Mungkin, mereka dari awalnya memang tak pernah semakna.
Sajak Pertemuan Mahasiswa(WS Rendra)Matahari terbit pagi inimencium bau kencing orok di kaki langit,melihat kali coklat menjalar ke lautan,dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.Lalu kini ia dua penggalah tingginya.Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di siniMemeriksa keadaan.Kita bertanya:Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.Orang berkata, “Kami ada maksud baik“Dan kita bertanya: “Maksud baik untuk siapa?”Ya! Ada yang jaya, ada yang terhinaAda yang bersenjata, ada yang terluka.Ada yang duduk, ada yang diduduki.Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.Dan kita di sini bertanya:“Maksud baik saudara untuk siapa?Saudara berdiri di pihak yang mana?”Kenapa maksud baik dilakukantetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.Perkebunan yang luasHanya menguntungkan segolongan kecil saja.Alat-alat kemajuan yang diimporTidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.Tentu kita bertanya:“Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”Sekarang matahari, semakin tinggi.Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :Kita ini dididik untuk memihak yang mana?Ilmu-ilmu yang diajarkan di siniakan menjadi alat pembebasan,ataukah alat penindasan?Sebentar lagi matahari akan tenggelam.Malam akan tiba.Cicak-cicak berbunyi di tembok.Dan rembulan akan berlayar.Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.Akan hidup di dalam bermimpi.Akan tumbuh di kebon belakang.Dan esok hariMatahari akan terbit kembali.Sementara hari baru menjelma.Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.Atau masuk ke sungaiMenjadi ombak di samudra.Di bawah matahari ini kita bertanya:Ada yang menangis, ada yang mendera.Ada yang habis, ada yang mengikis.Dan maksud baik kitaberdiri di pihak yang mana!Jakarta, 1 Desember 1977
Malam kini mungkin tampak beranjak. Atau tidak pernah bangkit dari keterasingannya yang ditelan siang.
Mungkin, bagi kita yang senantiasa menatap masa kini yang ada di masa depan, kita punya ketidaktahuan yang sama akan apa-apa yang kita inginkan. Atau apa-apa yang kita takutkan.
Maka, izinkanlah kami-kami yang tak tahu apa-apa, untuk mundur teratur dari barisan yang kata kalian peduli nasib ramai manusia. Peduli, meski dengan cara yang membuat kita bertanya-tanya: jangan-jangan kalian sibuk mempertengkarkan hal yang sia-sia. Hal yang memberi kami semua alasan logis untuk tetap curiga.
Naskah sajak disadur dari azharologia.com.
beeeuukh keren keren gi ...
BalasHapusAmpun, mbakset
Hapusini tentang mahasiswa yg batal demo habis di ajak makan malam jokowi...?
BalasHapusSilakan menafsirkan demikian, jika dirasa pas.
HapusSaya tidak mau membatasi penafsiran orang lain atas tulisan saya.
Tabik :-)