sumber |
Tapak kembali menghantar jiwa-jiwa yang tersadar.
Menghantar pada kenyataan yang luas terhampar.
Salah satu penyakit khas yang sering menghinggapi pengaku-ngaku pelaku seni adalah kebuntuan. Kebuntuan yang tercipta dari tersesatnya ide dan tujuan dalam belantara khayalan tanpa bendungan. Mereka kebingungan, mencari-cari kesesuaian dalam mengalirkan hasil peradukan pikiran demi menuangkan sebuah karya. Menyusun manifestasi dari kebengalan diri yang dengan setengah hati disusun rapi, seperti barisan upacara Senin pagi.
Tentu saja, sebagai seorang yang mengklaim diri sebagai seniman gagal, penulis pun dengan cengir bangga ikut bergabung dalam barisan. Walaupun jiwa berlagak sok keren dengan menuntut diri menjadi komandan. Hah, komandan apa? Upacara Senin pagi saja di benaknya sudah terasa asing seperti infanteri Kumpeni yang ongkang-ongkang kaki di petak sawah para pribumi. Mereka yang terusir di kekuasaannya sendiri, mereka yang terjebak dalam kegagahan delusi. Jangan coba-coba ditanya, kenapa dibiarkan diri berkubang dalam ironi. Jawabannya akan selalu mengalih berkelit. Sekali dia jawab memperkaya jalan pemikiran, sekali lagi ia jawab mengistirahatkan jiwa. Bahkan bisa dengan santainya ia bilang, sedang iseng belaka.
Terbilang tiga ratus keisengan, sebuah klaim kemenangan oleh lidah yang asyik sesumbar.
Terbilang tiga corak keramaian, sebuah pembagian terhadap landas tulisan yang tersebar.
Sepertinya bisa disimpulkan, jika tiga ratus kesiengan ini bisa dijajarkan dengan nyaman. Bagai sekumpulan dagelan mengantri menunggu suguh saji di kondangan. Dengan asyiknya mereka diajak bercengkrama, bersua dalam canda tawa. Mereka terus tertawa dengan asyiknya, sampai pembina upacara menegur kikikan yang terus bergaung dari barisan. Semua kompak menyalahkan komandan yang dinilai tidak becus membawahi mereka keemuanya. Dan tak perlu diulang lagi, siapalah sang komandan itu yang berlagak jagoan.
Dan sepertinya tak akan kalah menyenangkan jika kubu keisengan yang membuat gaduh itu dibagi ke dalam tiga jajaran. Satu jajaran bersemat mereka yang dengan iseng berusaha memperkaya kepala-kepala dengan ilmu yang bermanfaat. Jajaran selanjutnya bertabur mereka yang dengan iseng berusaha mengistirahatkan jiwa-iwa yang terlalu panas, saking aktifnya mereka beredar dalam percaturan aktivitas. Dan jajaran terakhir berisi mereka yang dengan isengnya mengisengi orang lain untuk iseng-iseng membentuk sebuah keisengan yang dapat diisengi sesekali.
Sampai baris kesekian ini, entah apa saja yang terpikir dalam benak penulis sampai bisa-bisanya melantur sedemikian panjang lebar.
Maka baiklah, akhir kata, semoga laman laman yang nampak terkapar ini bisa terus menebarkan semangat keisengan dalam berbagai coraknya yang meramaikan. Apapun coraknya, entah corak memperkaya jalan pikiran, corak mengistirahatkan jiwa yang lelah, atau corak mengisengi kehidupan untuk ditertawakan.
Semoga tetap waras, meskipun tulisan yang ada di hadapan kalian tidak.
(:g)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar