Hari beranjak siang. Cuaca yang gerah membuat banyak orang malas berjalan keluar. Meskipun tujuannya sekadar pergi ke warung seberang untuk membeli makan siang. Seolah sedang memamerkan geloranya, Matahari bersinar dengan terik, nyaris tanpa putus oleh jeda awan.
Rudi begitu senang melihat kenyataan ini, karena kini ia sedang makan (baca: berteduh dan bersantai) di warung. Di hadapannya terjadi nasi, ayam goreng ekstra lalapan, dengan segelas es kelapa muda yang sudah hampir habis. Sesekali meregangkan lengannya, Rudi nampak begitu rileks membunuh waktu dalam istirahatnya di siang yang luang itu.
Ah, indahnya hidup.
Tepat saat pikiran itu terbit di benak Rudi, mendadak ada panggilan dari dalam dirinya. Panggilan alam.
Huh, di saat santai seperti ini.
Rudi untuk beberapa saat mencoba menahan 'panggilan alam' dengan meraup seonggok nasi beserta sepotong daging ayam. Namun, akhirnya 'panggilan alam' menang, dan Rudi terpaksa memberitahu sang pemilik warung bahwa ia akan pergi sebentar mencari tempat menjawab si 'panggilan alam'. Huh, kenapa warung ini tidak sedia WC sih.
Rudi setengah berlari mengikuti arah yang ditunjuk si pemilik warung. Jalan tersebut terasa sepi di tengah siang hari yang terik–orang-orang tentunya lebih milih untuk bernaung dalam suatu bangunan, entah kamar tidurnya yang hangat atau ruang kerja yang penat. Setelah berjalan sekian lama, akhirnya Rudi mendapatkan anugerah. Tentu saja anugerah ini berupa bangunan sederhana bertuliskan "WC umum".
Tanpa ba bi bu lagi, Rudi pun berjalan terbirit-birit mendatangi salah satu pintu WC. Diketoknya pintu WC, untuk memastikan keberadaan orang dalam pintu yang tertutup itu. Tak ada respon. Dengan semangat Super Saiyan, Rudi menarik-narik pintu tersebut dengan ganas, hanya untuk mendapati kenyataan pahit: pintu itu tidak terbuka. Rudi mengambil nafas perlahan, dan ia mencoba menarik gagang pintu dengan kuat. Namun pintu WC itu tetap tak terbuka. Kekuatan otot-otot Rudi yang konon senantiasa menjaga kebugaran tubuhnya pun terasa loyo tanpa bekas saat menghadapi pintu yang tak mau membuka. Pintu yang tak kunjung menampakan celahnya.
Di tengah rasa putus asa Rudi menahan kesabaran 'panggilan alam', seseorang melangkah mendekati pintu WC. Melihat Rudi yang masih belum patah arang, orang itu hanya memperhatikan sejenak. Kemudian ia berseru, "Misi mas". Rudi pun minggir. Dengan mudahnya orang itu membuka pintu dengan cara menggesernya, dan tanpa basa basi memasuki ruang WC yang kosong, meninggalkan Rudi yang terdiam melongo.
....
Rudi kini kebingungan. Tak hanya ia diselak oleh seseorang, ia kini tak tahu kemana harus menjawab 'panggilan alam' yang telah menyerunya sedemikian rupa. Hanya ada dua pilihan, yang sama-sama menyulitkan, mengingat posisi Rudi yang 'genting'. Genting? Tentu tak mungkin menjawab 'panggilan alam' di atas genting toh? Sehingga Rudi harus segera memutuskan antara dua hal. Pertama, ia akan bergerak mencari WC lain di sekitar sana, dengan ketidakpastian nasib Rudi dalam menemukan WC dengan kondisi yang sedemikian darurat. Kedua, ia akan diam di depan pintu WC itu, menunggu orang yang tadi masuk hingga entah kapan. Opsi pertama baginya lebih melegakan, mengingat betapa menyakitkannya menjadi seseorang yang terombang-ambing, menunggu dalam ketidakpastian. Maka bergeraklah Rudi, mencari tempat baru yang lebih cocok menjadi tempat menjawab 'panggilan alam'. Rudi harus cepat, karena jika tidak, ia akan menerima 'misscall' dan terpaksa harus 'memanggil alam'. Opsi yang 'mengerikan'.
Dengan laju setengah terbirit-birit, Rudi kembali bergerak menyusuri daerah sekitar situ, yang kebanyakan berupa tanah kosong dengan hamparan rumput pendek. Sempat terbersit untuk menjawab 'panggilan' in situ, tetapi lokasi yang tidak mendukung hanya akan menjadinya bulan-bulanan bagi entah siapa yang iseng memperhatikan. Bisa saja seseorang di gedung sana meneropong lapangan. Bisa saja ada satelit Google Maps yang tengah berada tepat ratusan kilometer di atasnya. Nanti kalau ketahuan lagi menjawab 'panggilan alam', gimana dong? Hii. Dengan dasar pemikiran itu, Rudi memutuskan untuk mendekati jalan besar yang terlihat dari posisinya berdiri saat itu. Beberapa menit selanutnya dalam menahan 'panggilan' membawa keberuntungan bagi Rudi, ketika ia menemukan plang SPBU yang terlihat cukup megah. Tak lama, dengan kecepatan Super Saiyan, Rudi telah sampai di depan toilet SPBU, dengan keringat bercucuran dan 'panggilan' sudah meronta-ronta menanti jawaban.
Belasan menit yang terasa bagai meniti di atas jurang panggilan, terasa demikian melegakan ketika Rudi akhirnya berhasil menjawab 'panggilan alam' pada salah satu 'tampungan'. Sembari 'menjawab', Rudi memperhatikan dinding, lantai, serta wastafel toilet yang terlihat mewah, bersih nan mengkilap. Kapan ya bisa punya toilet sebagus ini..
Akhirnya 'jawaban' kelar. Sekarang waktunya 'mengurus keperluan', dan Rudi bersiap membuka keran pada 'tampungan' untuk mengalirkan air untuk 'keperluan' Rudi. Tetapi, nasib Rudi tak berhenti dirongrong kesulitan sampai di situ. 'Tampungan'nya tidak punya keran! Gawat. Apa yang akan kulakukan?
Rudi berpikir, ia bisa memanfaatkan tisu toilet dan air dari wastafel untuk 'keperluan' terkait. Sayangnya, dengan Rudi bergerak mengambil tisu toilet, ia akan menjauhi 'tampungan', dan resikonya, 'keperluan yang diurus' akan merembet kepada tempat-tempat yang seharusnya tak perlu 'diurusi'. Tak melihat jalan lain, Rudi bersiap melaju dengan kecepatan Super Saiyan untuk mengambil tisu toilet, dengan harapan tak ada orang yang kebetulan masuk dan memergoki 'urusannya'.
Rudi perlahan beranjak menjauhi 'tampungan', ketika mendadak air mengucur membilas seisi 'tampungan'. Rudi yang terkejut segera melaju ke 'tampungan', untuk mendapati air yang tadi mengalir tiba-tiba berhenti. Kecewa, Rudi kembali ke rencana awal, beranjak menuju tisu toilet. Lagi-lagi 'tampungan' membilas seisi dirinya. Rudi lagi-lagi melau ke 'tampungan', dan mendapati air bilasan berhenti mengucur. Gusar, Rudi memutuskan untuk segera mengambil tisu toilet, tak peduli dengan air yang mengucur di 'tampungan'. Lagipula, ketika Rudi menyadari kondisi sekitarnya, 'urusan' Rudi sudah menyebar ke berbagai tempat yang seharusnya 'tidak ikut campur'.
...
......
Rudi kembali ke warung setelah hampir setengah jam 'berkelana', dengan gusar menghabiskan sisa nasi dan ayam gorengnya yang sudah mendingin. Setengah jam yang tak akan pernah dilupakan Rudi seumur hidupnya. Setengah jam yang mengajarkannya dengan cara yang kejam, bagaimana tidak semua pintu bertumpu pada engsel, juga bagaimana tidak semua 'tampungan' bisa bekerja secara manual.
(kolaborasi dengan Diaz Jubairy)
(II)
Sementara itu, jauh di negeri di seberang lautan, tiga orang pemuda bertemu di sebuah pojok restoran. Restoran yang secara rutin mereka kunjungi tiap Sabtu pagi. Tepat pada waktu tiga pemuda ini membuka pintu restoran, semua karyawan yang bertugas sudah mafhum, tamu mereka yang biasa telah datang. Mereka akan selalu memesan makanan yang sama, pada waktu yang sama, bahkan memesan makanan ekstra yang sama tiap pekannya. Dan dalam beberapa jam kunjungan mereka, telinga para pelayan seolah sudah kebal akan seruan mereka yang berceloteh demikian serunya, seolah restoran itu menjadi milik mereka selama pertemuan. Kesan yang dinikmati oleh ketiga pemuda tersebut, dan dibiarkan oleh pemilik restoran. Toh mereka membayar semua yang mereka makan.
Mereka bertiga berkawan akrab sejak masa sekolah menengah. Masa labil-labilnya emosi anak muda, dengan pertengkaran yang menggejolak dan merujak di sana sini. Terkadang perselisihan berakar dari persoalan siapa yang lebih cerdas di kelas matematika. Atau persoalan cinta konyol anak remaja. Atau persoalan siapa yang bisa mencetak gol lebih banyak, dalam turnamen sepakbola sekolah.
Meskipun demikian, di tengah segala macam perbedaan pola pikir yang membuat tiga bocah ini terkenal akan perseteruan mereka, ada satu hal yang perlu dicermati. Mereka boleh berseteru seolah mencoba memecah seisi dunia, tapi tunggu semenit-dua menit setelah perselisihan, kau akan dapati mereka bertiga kembali ke dalam formasi normal mereka. Tiga sekawan yang demikian akrab dan kompak. Mereka juga senang sekali berdiskusi, satu hal yang hampir selalu menjadi penyebab dibalik perselisihan mereka dari waktu ke waktu.
Dicontohkan saja, ketiganya berasal dari latar budaya dan bangsa yang berbeda, sehingga tiap kali diskusi mereka sampai ke topik yang menyinggung negara-negara di dunia, masing-masing akan membusungkan dada, membanggakan negara-negara yang terkait dengan leluhur mereka masing-masing. Tentunya sembari menjatuhkan negara yang terkait dengan leluhur kawannya.
Kau penasaran, seperti apa leluhur mereka masing-masing, sampai dijunjung sedemikian rupa? Yaah, leluhur mereka adalah orang-orang patriotik yang terus berjuang tanpa kenal lelah demi keamanan hidup saudara sebangsa setanah air mereka. Paling tidak, itulah jawaban yang akan kaudapat ketika menanyai salah satu dari mereka.
Di satu Sabtu, mereka kembali melakukan kegiatan mereka yang biasa. Berceloteh tanpa ajar di dalam restoran, berdiskusi akan banyak hal hanya antara mereka bertiga. Juga dengan topik yang membuat masing-masing memamerkan kebolehan apa yang mereka anggap identitas mereka masing-masing.
Yang berbeda adalah, sebagaimana tidak sering terjadi, diskusi mereka saat itu menemui jalan buntu. Diskusi mengenai negara mana yang paling unggul. Tak ada kesimpulan yang bagus untuk disepakati ketiganya, yang berarti ketiganya akan diliputi perdebatan pikiran yang sengit, tanpa jalan keluar.
Untungnya, mereka bertiga cukup mawas diri untuk menyadari, bahwa berdiskusi di pojok restoran selama tiga jam tidak banyak membantu penyelesaian diskusi mereka. Masing-masing akan senantiasa bersikukuh leluhurnyalah yang paling unggul—itu pun tanpa dasar informasi yang bisa dijadikan pemandu. Sehingga ketiganya memutuskan untuk berpisah sejenak, pulang ke kediaman masing-masing.
Meskipun demikian, diskusi tak berhenti di situ.
Didukung oleh ketidakpedulian mereka akan akhir pekan yang mengembangkan senyum orang-orang, atau sinar Matahari yang mengetuk-ngetuk jendela kamar mereka tanpa hasil, tiga pemuda itu berdiskusi memanfaatkan teknologi obrolan via internet. Sembari menyusun bangunan obrolan mereka, mereka mengumpulkan berbagai macam data yang terkadang dipenjarakan dengan begitu cermat dalam jejaring ruwet nan ribet a la internet. Mereka sadar, untuk diskusi mereka kali ini, sekadar argumen demi argumen yang bertumpuk tidak memberikan kesimpulan apapun. Karenanya, kini mereka melakukan riset. Hal yang jarang mereka lakukan dalam diskusi.
Mereka cari berbagai data yang mendukung mereka dalam membuat suatu bangun kesimpulan demi menyelesaikan diskusi kali ini. Salah satu diskusi terbesar yang pernah mereka lakukan, yang di dalamnya tersimpan kesimpulan yang paling membuat mereka penasaran.
Butuh waktu cukup lama bagi mengumpulkan sekian banyak informasi. Disanalah mereka menunjukkan kemampuan kerjasama yang dahsyat. Kemampuan pengumpulan data, bersatu dalam keahlian desain dan kreativitas mereka bertiga yang terpadukan menjadi sebuah gambaran sederhana.
Gambaran yang mewakili apa yang dijuarai sebuah negara, di atas negara-negara lain yang mungkin menyaingi dalam hal lain.
Dengan memperhatikan gambaran tersebut secara lebih detail, ketiga pemuda itu menemukan banyak hal yang sebelumnya tak mereka sadari. Mulai dari AS, yang menjadi juara dalam dua hal yang kontras: juara dalam jumlah peraih hadiah Nobel, dan juara dalam jumlah orang yang tewas oleh pemotong rumput. Filipina, dengan tiga perempat pengguna aktif internet juga pengguna aktif akun media sosial.
Kolombia, dimana ada lokasi dengan rerata curah hujan tahunan tertinggi di dunia.
Greenland, dengan banyaknya wilayah kosong yang menjaga privasimu.
Atau Myanmar, yang menjadi juara dalam.... berbahasa Burma. (You don't say.)
Dan banyak lagi.
Banyak diantara data-data terkait yang dikutip dengan sumber dari Wikipedia, yang konon bisa disunting oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Tetapi, sebagaimana komentar Neetzan Zimmermann dari Gawker, dimana lagi ada daftar semacam daftar konsumsi teh per kapita?
Lebih lanjut, sila kunjungi laman-laman berikut.
Post asli: http://thedoghousediaries.com/5414
Gambar (resolusi lebih baik): http://thedoghousediaries.com/large/5414.png
Kumpulan data rujukan: http://thedoghousediaries.com/maplesyrup
(III)
Ada beberapa daerah pesisir yang cukup beruntung untuk tidak dinodai oleh jemari-jemari serakah manusia yang senantiasa memperluas kekuasaanya. Sebuah daerah pesisir bahkan demikian dipenuhi pohon bakau, tak akan banyak yang menyangka kalau beberapa kilometer dari situ ada sebuah kota besar. Bahkan sampah-sampah yang kerap setia menghiasi beribu-ribu kilometer pantai pulau-pulau Nusantara, absen dari daerah pesisir yang ini. Pohon-pohon tersebut tampak damai, dengan akar-akar yang keluar dari lapisan lumpur, menjadi tempat berpegang bagi si bakau.
Tetapi, pagi itu, ada perahu. Beberapa perahu nampak menyusuri perairan di dekat hutan bakau tersebut. Sebenarnya ada beberapa perahu, tetapi yang ditemui disini hanya satu. Dan diatasnya, terjadi sebuah perbincangan seru
.....
"Pernyataanmu salah, Andi."
Membetulkan bingkai kacamatanya yang sedikit miring, Pak Rinto melanjutkan perjalanan memandu siswa-siswi kelompoknya berjalan menyibak belantara pesisir. Siswa-siswi kembali berjalan, begitu juga Andi yang dari tadi begitu bersemangat dengan celotehannya. Meskipun kini yang berjalan adalah Andi yang bingung, bercampur kesal karena ceritanya diinterupsi oleh guru.
Tidak bisa begitu.
"Pak, kenapa saya dibilang salah, Pak?" Andi memberanikan diri memprotes.
Pak Rinto menggaruk kumis baplangnya.
"Coba kamu ulangi lagi kata-katamu tadi, Andi," sahut Pak Rinto singkat.
"Kenapa saya dibilang salah, Pak?"
"Duh, bukan yang itu, yang tadi, yang kau jelaskan tadi," beberapa anak-anak lain terdengar cekikikan.
Andi tampak berhasil mengatasi sedikit rasa kesalnya, dan kembali menyampaikan kata-kata yang disampaikannya dengan penuh semangat tadi.
"Kita nggak bisa bilang teman kita pintar atau bodoh hanya dengan melihat nilai-nilainya di ujian. Mungkin nilai mata pelajaran nya banyak jelek, tapi dia jago bermusik. Mungkin saja nilai olahraganya selalu di ambang batas remedial, tapi dia pandai berbicara di depan umum. Kayak yang pernah dibilang Albert Einstein dulu, semua orang itu jenius. Tapi yaa, jika kita menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, yang ada ikan itu akan berpikir dirinya bodoh kan? Padahal dia jago berenang."
Pak Rinto kembali menggaruk kumis baplangnya.
"Dari kata-katamu yang itu saja, ada beberapa yang perlu dicermati, Andi. Benarkah orang yang dicap berdasarkan apa yang tidak dikuasainya bisa disetarakan dengan ikan yang dicap berdasarkan kemampuan memanjat pohon?
"Katakanlah ikan hidup di laut, dan ia tidak bisa mengambil oksigen dari udara. Maka jika dia keluar dari air, maka ia tidak bisa bernafas, dan akhirnya tewas. Karena pohon hanya ada di daratan, bagaimana mungkin ikan bisa memanjat mereka? Saya tebak, kalian berpikir begitu. Ada yang tidak setuju?"
Pak Rinto hanya mendapati gelengan demi gelengan. Maka kemudian Pak Rinto menjelaskan, dengan gaya berapi-api. Tak jauh beda dengan cara Andi menjelaskan tadi.
"Nah, kalau begitu, untuk kasus ini kita bilang ikan mustahil bisa memanjat pohon. Kalau kita menyamakan anak yang tidak jago matematika dengan ikan yang tak bisa memanjat pohon, apa itu adil? Seakan-akan anak tadi tak akan bisa menguasai matematika. Padahal, semangat pendidikan adalah untuk membuat yang tidak tahu jadi tahu, yang tadinya tidak bisa jadi bisa. Anak tadi bisa kan menjadi seorang yang jago matematika, asalkan ia belajar dengan sungguh-sungguh. Beda dong dengan ikan?"
Perlahan-lahan anggukan bermunculan.
Pak Rinto kini menunjuk ke suatu arah, dan kembali berseru. Tetapi kini dengan nada suara yang lebih tenang.
"Nah, kalau kalian perhatikan daerah di seberang sana, ada kejutan yang menanti kalian."
Siswa-siswi itu hanya berpandangan sejenak, sebelum perlahan mendekati daerah tersebut, daratan berlumpur yang tak terendam oleh air laut. Perahu diarahkan mendekati daerah tersebut, dan tak butuh waktu lama bagi siswa-siswi yang penasaran, untuk mendapati kehidupan yang aktif disana.
Tampak beberapa ekor ikan.... ikan? Jika melihat bentuk tubuhnya, mirip ikan. Memanjang, bersirip. Tapi ikan macam apa yang melompat-lompat di lumpur?
Takjub, mereka tak henti-hentinya memperhatikan ikan-ikan kecil itu merayap di permukaan lumpur–jelas sekali tidak berada di dalam air. Mereka ini ikan atau apa?
"Perkenalkan, semua, ikan ini di sekitar sini dipanggil ikan tembakul. Kadang disebut belacak, atau gelodok. Kalian tahu Glodok di Jakarta sana? Nah, ada yang bilang, kalau nama daerah tersebut berkaitan dengan ikan ini yang dulu ditemukan di pantai utara Jakarta," jelas Pak Rinto penuh semangat. Perahu beranjak pergi mengarungi hutan bakau, dan selama itu Pak Rinto terus menceritakan masa kecilnya yang akrab dengan wilayah bakau.
"Ohiya, tadi kita bicara mengenai ikan yang tidak bisa memanjat pohon ya? Sekarang semuanya perhatikan yang ini," Pak Rinto kembali mengarahkan siswa-siswi mengamati suatu kumpulan pohon bakau.
Kejutan hanya bertambah bagi para siswa-siswi, saat mereka mendapati ikan yang serupa dengan yang mereka temui melompat-lompat di lumpur tadi. Bedanya, ikan yang ini sedang bertengger di sebilah akar pohon bakau.
"Wah, sayang sekali, Andi, ternyata ikan juga bisa memanjat pohon," sahut Tizar yang cekikikan. Andi hanya merengut.
"Sudah, sudah, jangan diledek. Kasian dia pingin manjat pohon juga," celetuk Gun, disusul gelak tawa.
"Hush, kalian ini. Memangnya kalian berani berbicara dengan lantang seperti Andi tadi? Jangan cuma tertawa di belakang gitu," Pak Rinto berusaha mendamaikan. Perhatian anak-anak ini perlu dialihkan.
"Coba, berapa banyak dari kalian yang tahu ikan terbang?" Pak Rinto bertanya. "Bukan, bukan logonya Indosiar," responnya cepat melihat Andi siap menjawab. Lagi-lagi tawa membahana.
"Di dunia nyata juga ada loh, ikan terbang. Memang sih, tidak lama, jarang lebih dari 30 detik. Tapi ada," Pak Rinto kembali menggaruk kumis baplangnya.
"Kalau ada, terus kenapa, Pak? Kita mau cari juga?" tanya Gun.
"Saya sih pengennya begitu, Gun," Pak Rinto menghela nafas. "Sayangnya waktu kita tak cukup. Kalau kita masih di sini sampai besok sore, saya ajak deh cari ikan terbang. Sore nanti kan pulang."
...
...
"Nah, paling tidak kalian jadi tahu, kan, tidak selamanya ikan kerjanya cuma berenang. Ada yang terbang, ada yang bisa memanjat pohon." Pak Rinto menyimpulkan. Perahu kini mulai bergerak meninggalkan daerah hutan bakau, kembali menuju hotel tempat rombongan tersebut menginap.
"Pak," Andi bertanya lagi. "Tadi Bapak bilang ada beberapa hal yang Bapak komentarin dari kata-kata saya. Ada lagi kah? Kepo nih.."
"Ohiya, satu lagi. Tadi kamu bilang siapa yang membandingkan manusia dan ikan itu?"
"Einstein?"
"Ya. Nah, sebenarnya tidak ada bukti kuat Einstein pernah bicara seperti itu. Orang-orang saja menyebarnya di internet, dengan bawa-bawa Einstein seolah dia yang mengatakannya."
"...?!"
(kolaborasi dengan Achmad Muniif Saefudin)
(IV)
.....
.....
Tamat.
Tulisan kecil keemasan itu menyambut mataku di halaman yang kubuka.
Lega rasanya.
Sejak perpustakaan ini diresmikan, aku menjadi satu dari entah berapa banyak orang yang menghabiskan waktu akhir pekannya, menggandrungi buku-buku tanpa ragu. Rasanya senang melihat warga sekitar yang bersemangat datang untuk membaca, atau meminjam buku. Mudah-mudahan perpustakaan ini bisa memacu pertumbuhan kualitas hidup warga sekitar.
Koleksi perpustakaan ini banyak yang berupa buku bekas dari warga kota. Kebanyakan berupa novel-novel, majalah-majalah, atau buku teks yang bisa digunakan untuk belajar di sekolah. Sesekali ada juga yang menyumbang ensiklopedia dan koran bekas.
Novel yang baru saja kutamatkan juga termasuk novel bekas, sehingga aku bisa memaklumi kondisi buku yang sedikit lusuh. Walaupun lusuh, tanggal yang tertera di balik sampul depan novel memberitahukan padaku jika pemilik buku ini sebelumnya merawat buku ini dengan cukup baik, selama hampir dua puluh tahun. Isinya pun masih seru untuk dibaca, meskipun disana-sini sang pemilik sebelumnya telah membubuhi coretan-coretan. Entah mengomentari ejaan yang salah, info ekstra terkait suatu istilah, atau catatan sembarang.
Tetapi, rupanya aku belum benar-benar menamatkan novel ini.
Kuamati halaman novel itu berbayang hitam. Kubuka halaman selanjutnya, dan disanalah ia, sebuah tulisan yang ditulis dalam huruf kecil-kecil. Tulisan yang sama dengan yang menghiasi novel tersebut di halaman-halaman sebelumnya.
Ia benar-benar membenci tempat yang bernama sekolah. Apalagi untuk benar-benar berangkat ke sekolah, ah, betapa malasnya ia! Namun, ada satu hal yang menarik dari remaja ini, ia memiliki cita-cita yang sangat tinggi. Meski ia merasa tak secerdas teman-teman sekolahnya yang lain, atau bahkan tak jarang ia menganggap dirinya bodoh apalagi setelah menghadapi ujian dan hampir selalu mendapat nilai yang buruk, ia tetap memiliki cita-cita yang luar biasa. Bukan cita-cita biasa. Cita-citanya, belajar! Ya, ia memang bukan tak mau belajar. Hanya cara belajar di sekolah saja yang tak ia sukai. Ia belajar dengan cara yang lain, dan menjadikan cara itu sebagai cita-citanya. Ia bercita-cita untuk melakukan perjalanan, berkeliling dunia, agar ia bisa bertemu dengan orang-orang dari seluruh negara di dunia ini. Ia meyakini satu hal, bahwa tiap orang pasti memiliki suatu pengetahuan yang tak ia miliki, dan artinya, bisa ia pelajari.Hari sudah sore. Aku putuskan untuk menaruh novel itu kembali ke rak, kembali berdiam bersama novel-novel lain untuk diambil dan dibaca lagi, entah kapan, entah oleh siapa.
Ia tak pernah pesimis. Tak pernah sekali pun patah semangat. Ia yakin, bahwa suatu hari nanti, ia pasti akan meraih cita-citanya untuk belajar dari orang-orang di seluruh dunia! Sekali pun tak pernah terbersit rasa putus asa pada dirinya. Meski kini, di masa pendidikan, di masa sekolah yang tengah ia jalani, ia adalah si korban pendidikan itu. Ia lah korban pendidikan yang hampir selalu dianggap gagal dalam pendidikannya, hanya karena ia tak berhasil dalam ujian-ujian sekolahnya. Meski ia selalu nyaris tidak lulus di setiap ujian yang dipaksakan oleh negaranya, ujian yang bernama ujian nasional. Ujian yang memaksa remaja-remaja sepertinya menyamaratakan kemampuan mereka di satu bidang, yang belum tentu di bidang itulah kemampuan mereka. Ujian paksaan. Namun, sekali lagi ia tak pernah putus asa pada hasil-hasil ujiannya itu, karena yang ia yakini adalah, secarik lembar jawaban ujian tak bisa menilai dirinya.
Ia yakin, hasil ujian bukanlah hal yang menentukan masa depannya. Tapi, bagaimana ia mau terus belajar dengan caranya, hingga ia meraih mimpi yang diinginkannya, untuk tetap terus belajar.
Selamat meraih mimpi, hai korban pendidikan!
Mungkin saja buku-buku koleksi perpustakaan ini akan membantu memunculkan nama besar dari kampung ini?
Siapa tahu?
- kutipan disadur dari sini, dengan beberapa perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar