Rak berdebu itu memanggilku dalam lusuh.
Sebuah rak yang tidak istimewa, yang terletak dalam suatu ruangan tidak istimewa dalam rumah tua yang juga tidak istimewa itu. Catnya mengelupas di sana-sini, atapnya bolong di beberapa tempat, jendelanya yang kusam, berpadu menjadi satu. Mungkin mereka yang sempat menghantarkan selayang padangnya pada rumah itu, akan terheran, mengapa rumah ini tak juga rubuh. Supaya kekusamannya bisa enyah dari penglihatan yang penuh citra buruk.
Meskipun tidak bagiku, yang seolah terhasut. Memasuki rumah kosong tanpa perlu, seakan menyatukan jiwaku dengan jiwa rumah itu yang tak terurus. Yang lebih lagi menguat ketika kepada rak buku itu pandanganku terpaut. Jika lembar-lembar buku adalah percikan air yang membasahi jiwamu, rak buku berdebu ini mungkin bisa menjadi laut. Dimana lembar-lembarnya tidak mengizinkanmu melahap langsung, tetapi sebagai gantinya ikan-ikan datang tersuguh. Tentunya, ketika kau mengailnya dengan sungguh-sungguh.
Rak berdebu itu membisu padaku dalam lumpuh.
Ia tetap berdiri dengan kokoh dan anggun, dengan topang kayu yang mulai ringkih digerogoti waktu. Ia menjadi saksi, sepanjang perjalanannya menghiasi salah satu pojok yang tak ada arti spesialnya dalam rumah yang dulu megah itu. kita pun tahu betul bahwa dinding yang berdiri dingin, rak-rak yang menjulang garang, tak akan sudi memecah bisu. Apalagi hanya demi seorang bocah yang dalam rumah itu lidahnya kelu. Tetapi aku seolah merasakan, bagaimana dalam sunyi itu, mereka bercerita dalam lantur. Disampaikannya kronologi kehidupan yang dulu semarak di rumah ini, dengan bahasa senyap nan ambigu. Terbayang muka-muka yang berkeliaran mencari buku dengan lugu. Terbayang anak yang menjerit ketika membuka buku, menyaksikan gambar hantu.
Semua tersampai dalam wujud berbagai buku-buku usang, yang berserakan di segala tempat menemani saput debu. Jurai angin yang membelai jendela dalam nyanyian ngilu. Tumpukan kertas alat tulis yang terpaku dalam pilu. Mengurai waktu demi waktu dalam ketidakteraturan yang terus bertumbuh.
Rak berdebu itu memandangku sayu.
Buku-buku yang terjajar padanya, mungkin adalah buku-buku yang dahulu dicelotehi hingga bertalu-talu. Ada yang dengan mudah dilahap dalam laju. Ada pula yang demikian tebal dan membuat mata yang memandangnya jemu. Bahkan ada pula yang nampak demikian baru, meskipun kusam dalam debu.
Sambutlah salah satu buku, dan mungkin akan ada seangga yang bergerak-gerak malu. Dengan panik, mencari tempat persembunyian yang baru. Atau mungkin mereka juga menikmati buku-buku ini sebagai suguhan ilmu? Siapa tahu.
Agaknya tak mudah bagiku yang sibuk bergelut dengan debu, untuk memperhatikan buku-buku yang tergeletak ini secara menyeluruh. Apalagi jika harus menafsirkannya secara utuh. Toh buku pun tak pernah benar-benar menyampaikan pemikiran sang penulis secara utuh. Yang satu boleh bercerita mengenai air dan pasir yang bertemu. Tetapi yang satu lagi bisa berbicara mengenai kumpulan jiwa dalam pesona semu. Atau kombinasi lain yang mungkin tak pernah tercetus di benakmu. Meskipun sayangnya, buku yang akan dicelotehi beramai-ramai hanyalah buku yang tampak seru. Mereka yang lain hanya bisa terdiam dalam wajah kuyu.
Rak berdebu itu mengundangku kembali berkunjung.
Dan aku tak segan lagi untuk mengangguk.
“What an astonishing thing a book is. It's a flat object made from a tree with flexible parts on which are imprinted lots of funny dark squiggles. But one glance at it and you're inside the mind of another person, maybe somebody dead for thousands of years. Across the millennia, an author is speaking clearly and silently inside your head, directly to you. Writing is perhaps the greatest of human inventions, binding together people who never knew each other, citizens of distant epochs. Books break the shackles of time. A book is proof that humans are capable of working magic."
- Carl Sagan
-Hari Buku Nasional, 17 Mei 2014-
sumber gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar