Langit siang cerah, meraja memamerkan benderang ke segenap manusia fana di bawahnya. Ada kemegahan yang terus tersirat dari kemilau biru di atas sana. Kemegahan yang tak sirna ketika arakan awan berbaris menatahi parasnya, malah-malah menambah pesonanya. Aku terkadang membayangkan leluhur manusia sejak dahulu kala mengamati langit dengan perasaan heran dan decak kagum. Akan ketinggiannya yang tampak tak terjangkau. Akan kedalamannya yang terus menyeruak tanpa dasar. Akan segala hal yang tertutupi bias cahaya mentari di siang, dan ditampakkannya dengan hingar bingar malam. Akan segala perubahannya, warnanya, segala dinamikanya yang terus bergulir tanpa pernah sepenuhnya mampu dicerna oleh pengetahuan manusia, bahkan hingga sekarang.
Berangkat dari pemikiran tersebut, aku mendapati orang-orang yang mengistimewakan apa-apa yang ada di “atas” sebagai sebuah keniscayaan. Bahkan lebih jauh lagi, orang kemudian menjadikan arah atas sebagai sesuatu yang istimewa, dan tiap-tiap kebudayaan berlomba membangun monumen setinggi yang mereka bisa. Seolah mencoba menggapai langit, ketika ia tampak terpancang tenang menaungi jiwa-jiwa lemah yang berusaha sekuat tenaga menggapainya.
Jiwa tamak yang sibuk menancapkan cakar-cakarnya melukai wajah angkasa, kemudian juga menancapkan wujud pongahnya dalam pandang tiap-tiap kita. Memercikkan bayang-bayang menjulang yang menghalangi sebagian pandang dari langit di atas sana.
Dari sekian banyak warga yang berlalu lalang di dalam bentang kota, ada saja mereka yang mendamba kekaguman dalam memintas dunia sekitar. Kekaguman yang kadang tercerabik dengan segala macam bentang kepongahan di sekitar. Kekaguman yang kemudian mendorong tiap-tiap mereka untuk meluangkan usaha ekstra untuk sejenak memintas seisi angaksa. Baik menyingkir menuju tanah lapang yang sunyi dari keramaian, atau lebih mudah, menapak tiap-tiap muka tertinggi dari bentang menjulang yang ada.
(isi lengkap menyusul kemudian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar