Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar tentang senja yang lebih merona merah dari fajar. Entah apakah benar demikian adanya—agaknya sebagian besar dari kita bukanlah manusia yang senantiasa berkesempatan meluangkan waktunya untuk memintas datang fajar atau lepas senja. Kita pun tak tahu pula, apakah mereka yang pertama mencetuskan falsafah tersebut adalah mereka yang senantiasa menyerta senja dan fajar. Bisa saja mereka sembarang berfalsafah, atau sekadar menyampaikan faedah. Bisa saja mereka seperti kita, terkagum-kagum akan pengetahuan baru dan bersemangat menyebarkannya.
Barangkali, membuktikan kebenarannya dengan menilas senja demi senja, atau fajar demi fajar, bukanlah opsi yang cukup mnguntungkan bagi sebagian besar kita.
Maka kemudian tercetuslah tanya: Kalau senja benar lebih merah adanya dari fajar, apa gerangan penyebabnya?
Apa ada kaitannya dengan perputaran Bumi? Memang, perputaran Bumi yang cenderung ajek dalam satu arah membuat kita menyambut mentari dalam naungan fajar, untuk kemudian meninggalkannya dalam naungan senja.
Tetapi, ketika ditelisik pun, laju perputaran Bumi yang tak sampai setengah kilometer per detiknya ini justru tampak kerdil ketika bersanding dengan kecepatan cahaya. Mungkinkan laju yang kerdil ini mempengaruhi kenampakan cahaya mentari yang tiba, membuatnya sedikit memerah? Agaknya tidak.
Maka kita mengalihkan dugaan pada tabir udara Bumi kita.
Adakah kemungkinan beda kualitas tabir udara pada pagi dan sore hari mempengaruhi perbedaan pada warna fajar dan senja? Kita pun belum tentu yakin pula akannya.
Mungkinkah warna senja adalah warna fajar yang dikotori ragam sisa kesibukan manusia? Dari debu, asap pabrik, bau knalpot, bahkan hingga peluh kita yang mengejar tujuan hidup.
Atau mungkin, senja adalah warna mentari yang meredup, terkesiap dalam sekilas sigi atas penduduk Bumi.
Apapun maknanya, sepertinya kita tak akan mengarah pada pemahaman akan senja yang memerah sebagai perpisahan pada dunia fana. Karena kita belum tentu memahami, apa yang hendak disampaikan dengan warna sedemikian.
Tempat kita, agaknya, adalah untuk menikmati pandangnya. Memahami prosesnya. Dan tidak kehilangan takjub atasnya.
Semburat fajar beranjak
Membukakan hari pada jiwa yang terlambat bertindak
Sementara semburat senja menjumpa
Merampungkan hari bagi jiwa pendekap nelangsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar