Melihat debat di media sosial, saya mengambil kesimpulan bahwa para pihak yang berdebat sesungguhnya tidak mencari kebenaran tetapi mencari pembenaran. Masing-masing sudah punya pendapat sendiri-sendiri (yang tidak mau diubah), kemudian mencari argumentasi yang mendukung pendapatnya. Mencari pembenaran.
Ambil contoh yang mendukung. Sembunyikan contoh yang tidak mendukung. Bahkan sekarang seringkali contoh atau argumentasi yang mendukungnya pun tidak diperiksa kebenarannya. Seakan, semakin banyak contoh, semakin benar. hi hi hi.
Ingin dilihat paling benar atau menang dalam perdebatan. Itu tujuannya. Lah, sudah salah.
Diskusi atau debat seperti itu tidak akan memiliki ujung karena yang dicari bukan kebenaran. Yang sama-sama niat untuk mencari kebenaran saja sudah susah untuk menemukannya, apalagi yang masing-masing niatnya bukan itu. Saran saya, untuk yang model debat seperti itu lebih baik tidak usah dilayani.
Atau mungkin masalahnya di medianya. Media sosial nampaknya belum cocok untuk menjadi media diskusi. Entah medianya yang perlu diperbaiki, atau orang-orang yang menggunakannya yang harus lebih banyak belajar untuk mengendalikan teknologi ini.
Lini masa terlampau bising, lagi dan lagi. Terlumuri komentar kosong dari segala yang merasa paling mengerti.
Mungkin saatnya beristirahat sejenak, meninggalkan hingar-bingar kerusuhan yang bergema di segala arah. Meninggalkan segala rupa yang berlagak bijak, sementara ketika ia berpijak, sekian banyak nyata terinjak. Berkutat pada apa-apa yang tersurat, sementara yang tersirat terserak terlupakan.
Semoga nalar kita tetap benderang.
Yg ingin si A benar, bs membenarkan. Yg ingin si A salah, bs menyalahkan. Di kedua kubu itu tersedia para ahli. Inilah demokrasi keinginan— Reklamasi Jancukers (@sudjiwotedjo) June 14, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar