Mencampurbaurkan persepsi. Menyelewengkan konsepsi. Mempertanyakan esensi. Menyelisihi konsesi.
Kamis, 24 Desember 2015
Article#498 - Realisasi
Jika dalam kenyataan ini memang ada sebuah titik belok dari pengejawantahan arah hidup, saya akan tempatkan perjalanan saya di paro awal Maret lalu sebagai contoh utama dari titik sejenisnya. Sebut saja tiap kilometer perjalanan saya menjauhi kediaman sebagai perjalanan meniti tanjakan menuju puncak pemaknaan hidup. Maka, tepat pada detik-detik yang berlalu dengan sapuan ombak di garis pantai bergerigi itu, pada batuan beku berusia seratus tahun itu, tergapailah sebuah kulminasi pemaknaan hidup.
Itu jika kita bertahan dengan segala macam definisi yang mendayu itu. Pemahaman yang mengawang-awang tanpa benar-benar kita nyatakan hadirnya dalam tiap kita.
Tetapi, itu sebelum sebuah ketetapan pengarahan hidup dibentuk dengan semestinya. Saat itu adalah masa-masa euforia, di mana seorang anak manusia yang mereguk setiap detik perjalanan menggapai titik kemerdekaan yang belum pernah terasa ia jumpa. Titik di mana sebuah bongkah gunung pemaknaan baru saja dikalahkan. Menahbiskan diri sebagai yang tertinggi dari sekitar.
Waktu lama berlalu dalam suka cita menikmati indahnya puncak. Perjalanan menurun menjadi keniscayaan yang tak terelakkan sebelomnya, untuk kembali menyapa kenyataan. Karena berapa banyak pula dari tiap-tiap kita yang menjadikan galur lereng pegunungan sebagai latar pentas kehidupannya.
Bagi mereka yang gamang akan kenyataan yang hendak, atau harus, disapanya, sebuah perjalanan menurun adalah penurunan dalam segala aspek yang terbayangkan. Maka kusebut beruntunglah mereka yang menyadari adanya latar belakang yang masih membayang di balik apa-apa yang hadir di depan mata. Mereka yang menepi barang sejenak, untuk kemudian melesat dalam kelejitan yang tak terbayangkan. Mereka yang menatap kabut bernama masa depan sebagai sebuah lahan untuk menata kenyataan yang mereka inginkan kemudian. Mereka yang menetapkan langkah, menapakinya dalam takzim menuju perwujudan yang hasil akhirnya telah terbayang jelas di dalam kepala.
Apakah kita, atau entah barang sesiapa, termasuk dari mereka, belum tentu kita mengerti. Semua akan menjadi makin rumit ketika mempertimbangkan tentang apa yang kita definisikan sebagai sebuah kejelasan, manakala sebagian kita akan menyanggahnya. Apa yang ada di hadapan, seringkali ia adalah misteri. Dan orang macam mana yang bisa dengan yakin memprediksi.
Bagi sebagian kita, mungkin yang lebih penting adalah menentukan ke arah mana harus melangkah. Ketika yang dijadikan rujukan perjalanan adalah tujuan, ia tak banyak membantu dalam menghadapi sebuah kabut tebal hidup yang masihlah sebuah misteri. tentu saja akan muncul argumentasi, jika dalam sebuah kabut misteri, bagaimana kita akan tahu tentu arah mata angin. Akan tetapi, sependek pengetahuan akal kita yang fana, rasanya tidak ada kabut yang total menghapus jangkauan pandang.
Barangkali, kita bisa jadikan sedikit pandang yang masih dipunya untuk terus melangkah.
Dan ketika seorang anak manusia yakin betul akan panduannya dalam melangkah, segala macam gelimang capaian yang tidak pernah ia damba, tidak akan pernah membekas dalam dirinya. Segala yang tak ia kejar, meski tampak kemilau cerlangnya di mata sekian banyak mereka yang menyaksikan, menjadi kerlap-kerlip bebatuan kristal yang menghiasi serentang jalan. Sila saja kausebut dia indah, kausebut ia menawan, dia hadir di jalanan, dilangkahi oleh sekian ribu langkah. Langkah milik jiwa raga yang sambil lalu berjalan merenungkan tiap-tiap kesibukan hidup. Langkah-langkah yang kita piir tak menahu akan apa yang ia tuju.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar