Selasa, 27 Oktober 2015

Article#479 - Terjun

Kereta itu perlahan melaju. Terus menyapu keraguan dari wajah-wajah jenuh di pagi hari itu.

Aku terduduk dalam kompartemen, mencoba membetulkan posisi untuk menyamankan diri untuk menghadapi beberapa jam perjalanan ke depan. Itu adalah pengalaman baru; berkelana sekian jauh dengan kereta supercepat adalah sebuah kemewahan bagi sembarang jiwa mahasiswa. Bukan perjalanan receh yang bisa dijalankan dan dibubarkan begitu saja.
Ketika pandangan disapukan ke sekitar pun, sosok-sosok yang umum ditemui adalah sosok dengan setelan formal; berjalan terburu-buru khas karyawan yang sedang menjalankan panggilan tugas ke luar kota. Bukan alam yang jamak kujamah, bukan dunia yang kerap kusinggah.

Aku menujukan pandangan jauh melebihi sekat dinding gerbong kereta. Menyapa tiap-tiap semilir dedaunan, jurai rerumputan, petak perumahan, mengamati bagaimana mereka balas menyahuti wajah yang tertawan. Meski, dengan laju kereta yang bergegas sedemikian rupa, aku tidak tahu apakah sahutan ramah itu akan sampai pada tiap-tiap tujuannya. Atau apakah mereka pernah menetapkan satu dua dari sekian sembarang tujuan untuk dijadikan pelabuhan bagi hilir sapa.
Kecepatan adalah impian bagi jiwa yang mendamba keterjangkauan dan pergerakan, akan tetapi ia kerap menjadi momok bagi sesiapa yang mendamba keterikatan. Barangkali kehadiran sang wahana menjadi jembatan antara dua titik kulminasi yang bertolak belakang.

Aku melayangkan ingatan, menuju faedah dari perjalanan sekian lama yang agaknya masih tergantung dalam belantara entah di sana. Sementara aku terbuai dalam kenyataan akan kemewahan yang sedang dicecapi dalam takzim dalam setiap detiknya, setiap meternya. Sementara tiap-tiap jiwa raga berkelebat pergi dalam tiap-tiap pemberangkatan dan tiap-tiap pemberhentian. Sementara kroni yang berkumpul membahas segala apa yang tak dinyana akan dijumpa pada tujuan. Sementara aku masih mencoba merangkai nyata menjadi segenap kata untuk dituturkan. Sementara aku masih tak menduga, tak memantik prasangka, akan tujuan di sebalik apa-apa yang telah digelontorkan dalam usaha.

Kereta terus melaju, tak menggubris jiwa-jiwa yang tak menahu akan kelanjutan hidup.


Jiwa-jiwa yang tak mengetahui arahnya melangkah, tidak selalu memahami ketersesatannya.
Shinkansen Nozomi. 27 Oktober 2015, 13:48 (UT+9)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...