sumber |
Membangunkan jiwa dan raga yang belum bugar.
Agaknya, perlu sedikit percik kenyataan pada muka saya yang setengah terpejam untuk menyeret saya kembali siaga. Di hadapan layar kaca berhiaskan sekian banyak dioda, setidaknya ada dua pilihan yang telah terbukti ampuh menjerumuskan sekian banyak penggunanya. Baik ia berupa kesilauan atas derai cahaya yang menghujani retina, atau ketidakmampuan kita menjaga tujuan atas apa yang hendak dilakukan. Atau gelegar genderang perang yang ditabuh organ-organ tubuh yang merasa kehilangan perhatian. Atau teriakan yang bergema dari tumpukan pertanggungjawaban yang belum terselesaikan. Atau tarikan gravitasi dunia maya, yang konon mengerdilkan tempat tidur akibat besarnya massa keributan yang bercokol di dalamnya. Atau fakta bahwa daftar yang baru saja saya lampirkan telah membengkak menjadi enam. Atau...
...sudah, hentikan saja ini, ya.
Sebagai salah satu orang iseng yang mengaku suka menuangkan sedemikian ragam kenyataan dalam bentuk tulisan, agaknya saya telah terbuai candu untuk menjaga keberlangsungan aliran tulisan. Mereka biasa bilang, cerita terbaik adalah cerita yang paling mampu menggambarkan kenyataan, maka saya menempuh jalan tersebut dalam usaha mengasah ketajaman jemari saya dalam
Kau boleh saja menyebut saya sebagai orang yang fleksibel, yang bisa
Terbilang empat ratus citarasa, segala keanehan yang tercampuradukkan hingga ramai rasanya.
Terbilang empati salah arah, segala penyesuaian yang menyimpang dari apa yang diniatkan.
Ketika saya berbicara soal empati, saya harus tahu terlebih dahulu, apa itu empati. Hal yang selanjutnya akan saya lakukan, biasanya, adalah membuka entah KBBI atau Wikipedia, dan menggunakan definisi yang tercantum di sana untuk memperjelas duduk perkara. Walaupun perkara mungkin sedang berdiri, atau bahkan meloncat.
Baik, KBBI bilang, empati adalah "keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain".
Entah apa artinya itu. Terjemah kasar saya, maksudnya adalah menempatkan diri dalam posisi orang lain. Misalnya, ketika teman kita membuka kotak bekal untuk memakan
....Atau demikiankah? Yah, mungkin.
Bagi kasus saya yang berkecimpung dalam dunia tulis-menulis, saya amati banyak tulisan dari entah sesiapa yang kerap kali mengaku gagal menjaga konsistensinya dalam penuangan tulisan demi tulisan. Maka kemudian saya kembali berempati pada mereka; dengan kata lain, saya menempatkan diri saya pada posisi orang yang gagal menjaga konsistensinya dalam memperbarui isi laman belog aneh ini.
Alhasil, saya kini kewalahan menjaga kinerja saya tetap pada jalurnya.
Setidaknya, dalam dua bulan terakhir ini, saya terus memulurkan jadwal publikasi tulisan saya, yang telah sedemikian banyaknya berkerak di kolom draft. Tulisan ini pun mulur lebih dari sebulan dari waktu yang sebelumnya telah saya jadwalkan. Mohon maaf ya, handai taulan sekalian. (Tulisan ini, dan beberapa tulisan lain yang akan mengikuti, semua diberi tanggal publikasi sesuai dengan tanggal hadir post terkait pada kolom draft.)
Maka baiklah, akhir kata, semoga laman laman yang nampak terkapar ini, meski sering mulur, bisa terus menebarkan citarasa yang memperkaya khazanah kehidupan kita semua. Terlepas dari apa sebenarnya "khazanah kehidupan" tersebut.
Semoga tetap waras, meskipun tulisan yang ada di hadapan kalian tidak.
(:g)
jadi critanya kamu lagi berempati pada oang-orang yang nggak konsisten ngisi blog, terus kamu jadi terbawa gitu gi? Kalo gitu mah jadinya simpati nggak sih? udah bukan empati lagi ... (materi kuliah semester satu, perbedaan antara simpati dan empati --a)
BalasHapusWahduh, gimana yah? Mungkin perlu ngecek definisi simpati dulu.
HapusEh tapi simpati kan kartu hape :x