Kereta itu terus menggeliat. Terus menyapu kantuk dari wajah mereka yang terjaga barang sekelebat.
Aku mengerjap sekilas, meskipun pagi telah beberapa jam lalu beranjak meninggalkan singgasananya. Salah satu alasanku segera beranjak menduduki bangku yang tersedia di dalam gerbong itu adalah untuk menjawab jeritan raga yang mendamba istirahat. Sedikit sapa pandang pada rencana perjalanan dapat memberitahukan dengan mudah, betapa waktu untuk beristirahat akan luang tersedia.
Beberapa orang menyusul memasuki gerbong, meski kebanyakan tidak dengan kostum khas karyawan yang sebelumnya marak kujumpa. Barangkali karena memang sudah bukan waktunya bagi mereka untuk berkeliaran. Barangkali karena titik pemberangkatan di hari itu memang bukanlah tempat mereka biasa berlalu-lalang.
Tetap saja, padanganku tidak menyigi mereka teliti, tapi hanya melamun sambil lalu. Tak peduli.
Aku menujukan pandangan jauh melebihi sekat dinding gerbong kereta. Mengucap salam perpisahan pada petak sawah, bangun perumahan, dalam detail yang terus memudar dalam ketakacuhan. Apatah aku akan peduli bagaimana romansa palsu itu meneruskan perjalanannya. Apatah aku akan ambil pusing, bagaimana nantinya tiap-tiap fragmen cerita menyatukan kebersamaannya.
Kecepatan, di hari itu, menjadi apa yang mengantarkan pada bahagia melalui rasa merdeka, sebagaimana sebelumnya ia menjemput balada untuk menggemai relung jiwa. Barangkali kehadiran sang wahana menjadi jembatan antara dua titik kulminasi yang bertolak belakang. Atau justru memicu munculnya kedua sisi ekstremitas.
Aku melayangkan ingatan, menepis pertanyaan soal faedah dari sekian pekan yang telah dilewatkan di antah berantah sana. Sementara aku melenakan diri dalam kenyataan akan kemewahan yang sedang melaju membawa raga. Sementara tiap-tiap jiwa raga berkelebat pergi dan datang tanpa sesiapa tersadar akan tiap-tiapnya. Sementara bayang-bayang akan segala ingatan perlahan berderak meninggalkan pandangan. Sementara apa-apa yang membuai adalah apa-apa yang terus mendekatkanku pada kenyataan.
Apa yang lama tak disapa, apa yang berpijar benderangnya dalam jiwa.
Kereta terus melaju, menggubris mereka yang bergegas melanjutkan hidup.
Jiwa-jiwa yang mengetahui arahnya melangkah, tidak selalu mengenali kemerdekaannya.
Shinkansen Hikari. 15 November 2015, 14:23 (UT+9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar