Alfred panik.
Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh lewat seperempat ketika ia memasuki kompleks kampus. Kepanikan terlihat jelas di wajahnya. Bagaimana tidak panik, ada ujian yang dimulai pada jam sembilan pagi tadi. Artinya. hampir satu setengah jam yang lalu.
Jantung Alfred berdegup makin kencang, meskipun ia sudah berhenti berlari akibat kelelahan.
Duh, mati aku hari ini. Ngomong apa coba ke Pak Hendi?
Alfred membatin penuh keputusasaan, ketika ia melihat Benny berlari terengah-engah menyusulnya.
"Duh, Fred, lo telat juga? Hah, syukurlah gw ada temen," engah Benny kelelahan.
"Malah seneng elo. Gue takut nih, ntar kita dapet E lagi," Alfred bergidik membayangkan ia harus mengulang mata kuliah Pak Hendi.
"Udah, lo pikirin ntar aja... Tuh kita kedatengan temen lagi," sahut Benny menunjuk ke pepohonan di sisi lain gedung. Pada jalan di balik pepohonan itu terlihat dua pasang kaki berlari ke arah yang sama dengan tujuan Alfred dan Benny.
"Nah, si Cagur sama Danang juga telat. Santai broh, aman," Benny mencoba menenangkan diri.
Tak lama, mereka berpapasan di depan ruang kelas 216. Dengan nafas tersengal dan tubuh berkeringat, mereka mengetok pintu ruang kelas tersebut. Tentu saja, pintu dibuka oleh Pak Hendi dengan alis kanannya yang berkedut-kedut.
"Menurut kalian, sekarang jam berapa?" Wajah Pak Hendi yang tanpa ekspresi membuat suasana terasa lebih mencekam. "Ujian baru saja selesai."
"Ma-maaf Pak.. Kami terlambat..," ujar Alfred terbata-bata.
"...Iya, maaf Pak," Cagur menyahut. "Tadi... ng, kami naik angkot yang sama pak.."
"Betul Pak.... Trus di tengah jalan... ban angkotnya meletus..." lanjut Danang.
"Iya Pak, kami kasihan sama pak supir... Jadi kami bantu pak supirnya pasang ban baru.." Benny ikut melanjutkan.
"Karena itu Pak, kami mohon... Izinkan kami ikut ujian susulan.." Alfred menutup laporan.
Beberapa saat hening. Pak Hendi memandang keempat mahasiswa di depannya sejenak.
"Kalau begitu, baiklah. Besok siang, jam dua, kalian datang ke ruang ini. Datang, atau kalian saya nyatakan tidak lulus." Pak Hendi berlalu dan merapikan buku-bukunya.
Alfred sama sekali tidak menyangka, ketiga temannya sempat mengarang-ngarang alasan demi izin ujian susulan. Tetapi tentu saja ia merasa lega. Setidaknya masih bisa menyambung nafas hingga esok hari. Ia pun menyusul Benny dan Cagur, yang mengobrol dengan penuh cengir kebanggaan.
Esok siangnya, Alfred, Benny, Cagur dan Danang kembali ke kelas Pak Hendi. Dengan mantap mereka melangkah, dan Pak Hendi mengulurkan empat set kertas soal ujian.
"Ini, soalnya ada dua lembar. Tapi, lembar kedua baru boleh dikerjakan setelah lembar pertama kalian kerjakan. Sekarang Alfred, kamu masuk ke kelas 221. Benny, kamu ke 222. Cagur, kamu ke 223. Dan Danang, kamu ke 224. Kalian bebas duduk di mana saja, asal di dalam kelas tersebut. Tas dan ponsel ditinggal di kelas ini, ya."
Keempat mahasiswa itu saling pandang, sebelum mereka bergerak ke ruang kelas masing-masing membawa alat tulis. Mereka mengikuti saja apa kata Pak Hendi. Paling supaya tidak ada yang saling mencontek.
Mereka mulai melihat soal di lembar pertama. Fiuh, mudah sekali. Isinya sama persis dengan penjelasan Pak Hendi pekan sebelumnya. Nilainya 20 lagi.
Dengan sumringah, mereka menuliskan jawaban di lembar soal tersebut.
Mereka kini membalik lembar pertama, untuk membaca soal di lembar kedua. Nilainya 80. Pertanyaannya pun lebih singkat. Tetapi keringat dingin pun mulai bercucuran.
Di lembar kedua tertulis pertanyaan berikut.
“Kemarin, ban angkot sebelah mana yang meletus?”
~diadaptasi dari cerita yang dikirim bung Hanivan via grup wasap angkatan penulis
Alfred Story lagi dong Gi, yang banyak..... :))
BalasHapusMohon doanya :v
HapusSiap. Nanti gue promosiin ke anak anak itebeh.
HapusHohoho.
HapusKapan-kapan kunjungi aja tajuk "Gurau", Yam.