[DISCLAIMER: Jika Anda sekalian yang mampir ke laman ini hendak mencari informasi tentang pendaftaran visa Schengen dan tidak berminat membaca informasi lain, silakan singkap tulisan ini hingga Anda menemukan tulisan bercetak tebal selanjutnya.]
"Jadi bagaimana? Tertarik bergabung?"
Tulisan pertama dari tiga bagian.
Berkecimpung di dunia lab universitas di tahun terakhir perkuliahan, berarti saya berkesempatan untuk terjun langsung memasuki dunia akademika dengan citarasa Jepang yang khas. Juga berkesempatan untuk mencecap rasanya berkutat dengan ritme kehidupan a la dunia riset, dengan segala macam riset, analisis dan presentasi yang siklusnya terus mengular silih berganti.
Sebagai tata cara baku untuk bisa meloloskan diri dari pergulatan dunia kampus, saya memasuki salah satu dari sekian banyak lab yang tersedia untuk disusupi demi menuntaskan masa akhir perkuliahan di negeri samurai. (Lho? Kuliah?)
Meskipun saya memasuki lab terkait sebagai mahasiswa sarjana tahun keempat, memasuki lab riset aktif berarti saya akan terekspos pada pergulatan dunia riset yang sesungguhnya. Terlebih jika menilik fakta bahwa profesor saya sendiri menghabiskan hampir separo waktunya menghadiri riset atau konferensi di luar negeri, dan bahwa rekan-rekan sesama mahasiswa di dalam lab sesekali menghilang dari peredaran dalam beberapa waktu. Tak pelak, hal yang sama kemudian juga saya alami di paro awal November 2015 lalu. Dengan terkantuk-kantuk lelah, saya terseret ke dalam ritme riset yang tak mengenal paparan sinar matahari dan pola hidup manusiawi di suatu pojok terpencil di prefektur Hyogo, Jepang. Merasa melewatkan liputannya di blog? Jangan khawatir, saya memang tidak menuliskan apapun tentangnya. Tidak ketika saya merasa perlu mengambil libur tiga hari supaya kepala sedikit waras.
Berangkat dari pengalaman tersebut, ketika tawaran untuk berpartisipasi dalam sebuah riset datang untuk kedua kalinya, sikap yang saya ambil pada awalnya adalah mengatakan tidak dengan penuh keyakinan. Saya tidak butuh menjebak diri di suatu pojok terpencil negeri selama tiga pekan untuk mencurahkan segenap waktu berkutat dengan riset yang tidak saya cintai. Heah.
Namun semua keyakinan tergoyahkan dengan pemberian satu informasi penting:
Dan saya tidak butuh waktu lama untuk meyakinkan diri menerima tawaran tersebut. Tawaran ini berarti kesempatan untuk menjejak tanah Benua Biru lebih awal dari apa yang saya canangkan sebelumnya, yang meliputi rencana kelanjutan studiyang bahkan sama tidak pastinya dengan berbalas atau tidaknya rasa ini.
Dibayari, pula.
Maka nikmat manakah yang kamu dustakan?
[Informasi terkait pendaftaran visa Schengen yang saya tempuh dimulai dari bagian ini. Harap diperhatikan bahwa informasi di bawah benar setidaknya hingga Mei 2016, dan pendaftaran visa dilakukan di Kedutaan Besar Prancis di Tokyo, Jepang. Dokumen yang diperlukan dan metode pengurusan bisa berbeda bergantung waktu pendaftaran dan negara tujuan dalam visa Schengen.]
Sebagai warga sebuah negara yang paspornya tergolong mempunyai daya tawar lemah dalam percaturan dunia imigrasi internasional, tentunya langkah yang cukup bijak saya ambil selanjutnya adalah memastikan saya bisa memasuki wilayah Prancis. Simpelnya, saya harus mendapatkan visa Schengen untuk memasuki wilayah Prancis.
Dasar saya tinggal di negara yang paspornya kuat, pernyataan bahwa saya akan perlu mendaftar visa sempat memunculkan raut muka kebingungan di dalam ruang pertemuan lab. Beruntunglah saya, mereka masih cukup baik untuk membantu mencarikan informasi pendaftaran visa dan segenap dokumen yang saya perlukan untuk melengkapi proses pendaftaran.
Pada dasarnya, segala informasi yang diperlukan untuk mempersiapkan dokumen visa dan mendaftarkannya ke kedutaan besar Prancis dapat diperoleh dengan mudah di kedua tautan berikut:
Prosedur pendaftaran visa yang dimaksud pun sebenarnya cukup sederhana. Prinsipnya hanyalah mendaftar visa dengan menetapkan waktu kedatangan, datang tepat waktu dengan membawa segala dokumen yang diminta langsung ke kedubes, dan kemudian menunggu informasi diterima atau ditolaknya visa (yang bisa diperiksa melalui tautan ini).
Meskipun info dapat disimak dengan baik di kedua tautan yang telah saya berikan di atas,mengingat banyaknya kelas menengah ngehe yang malas menelusur informasi saya rasa bukanlah masalah besar untuk melampirkan daftar dokumen yang diminta oleh kedubes Prancis di Tokyo. (Prosedur pendaftaran visa Prancis di Jakarta dapat disimak dari tautan berikut)
Sebagaimana telah saya sebutkan di bagian sebelumnya, setiap pemohon aplikasi visa Prancis diwajibkan membuat appointment alias perjanjian dengan pihak kedubes sebelum hadir membawa dokumen yang diperlukan. Tentu saja, karena kita berurusan dengan instansi macam kedutaan, pengurusan hanya bisa dilakukan di hari kerja. Karena kedutaan Prancis terletak di kota Tokyo, sementara saya berdomisili di kota Sendai, pergi mengurus visa berarti saya akan memakai satu hari kerja untuk pergi ke Tokyo mengurus visa; berangkat menggunakan bus Kamis malam dan pulang pada Jumat malam. Bagi saya pribadi, ini berarti urusan akan lebih mudah jika dikerjakan di penghujung hari kerja, alias hari Jumat. Dengan memperhitungkan segala waktu yang saya perlukan untuk mempersiapkan dokumen-dokumen terkait, saya tetapkan tanggal 13 Mei sebagai hari di mana saya akan melangsungkan pengajuan visa.
Waktunya? Paling mudah tentunya pagi hari; saya baru akan sampai di wilayah Tokyo pada Jumat pagi, sehingga pengurusan pada pagi hari akan mengurangi waktu tunggu saya di pagi hari, dan membuat jadwal saya di sisa hari lebih longgar.
Singkat cerita, berangkatlah saya menuju Tokyo, menuju kedutaan besar Prancis untuk mengurus visa Schengen.
....Ya, kedutaan besar Prancis...?
Entahlah.
Kedatangan saya sekitar pukul 8.45 di depan pintu kedubes Prancis disambut dengan tatapan dingin sang penjaga kedubes yang menyuruh saya untuk menunggu hingga pintu ruang pengajuan visa dibukakan. Sekitar lima belas menit menunggu dihabiskan dengan mengamati beberapa "bule" (yang saya asumsikan adalah warga Prancis karena alasan yang sangat jelas), juga dengan menyaksikan beberapa orang lain yang bernasib serupa dengan saya: menunggu di depan gedung kedubes dengan map berisi dokumen pengajuan visa di tangan.
Dua-tiga menit selepas pukul sembilan pagi, kami para pemohon dipersilakan masuk ke dalam ruangan dengan alat pemindai memeriksa barang bawaan kami.
Tak butuh lama bagi kami untuk menunggu di dalam, karena secara bergantian kami para pemohon dipanggil untuk mendatangi loket-loket yang tersedia di sisi lain ruangan.
Prosedur pengajuan visa sendiri sederhana saja: memberikan semua dokumen yang diminta, menjawab beberapa pertanyaan yang sesekali dicetuskan oleh sang petugas, membayar biaya aplikasi visa, dan melenggang keluar dari bangunan kedubes.
Hanya saja, saya merasa perlu membahas beberapa hal terkait prosedur pengajuan visa:
Lanjutkan baca »
"Jadi bagaimana? Tertarik bergabung?"
Kalimat itu meluncur mengarungi segenap ruangan. Beberapa jiwa yang masih berkutat mengelilingi meja pertemuan itu menggerakan perhatian mereka. Menyusur, mengikuti arah pertanyaan, menuju pemuda tanggung yang tengah meracik jawabannya.
"Saya pertimbangkan dulu," jawab si pemuda asal-asalan. Ingatan akan kegiatan serupa yang berlangsung lima bulan sebelumnya sedikit memunculkan keraguan akan niatan bergabung.
Hari itu, 26 April. Di mana musim semi beranjak mendekati akhir. Di mana perjalanan baru siap bergulir.
*****
Tulisan pertama dari tiga bagian.
Berkecimpung di dunia lab universitas di tahun terakhir perkuliahan, berarti saya berkesempatan untuk terjun langsung memasuki dunia akademika dengan citarasa Jepang yang khas. Juga berkesempatan untuk mencecap rasanya berkutat dengan ritme kehidupan a la dunia riset, dengan segala macam riset, analisis dan presentasi yang siklusnya terus mengular silih berganti.
Sebagai tata cara baku untuk bisa meloloskan diri dari pergulatan dunia kampus, saya memasuki salah satu dari sekian banyak lab yang tersedia untuk disusupi demi menuntaskan masa akhir perkuliahan di negeri samurai. (Lho? Kuliah?)
Meskipun saya memasuki lab terkait sebagai mahasiswa sarjana tahun keempat, memasuki lab riset aktif berarti saya akan terekspos pada pergulatan dunia riset yang sesungguhnya. Terlebih jika menilik fakta bahwa profesor saya sendiri menghabiskan hampir separo waktunya menghadiri riset atau konferensi di luar negeri, dan bahwa rekan-rekan sesama mahasiswa di dalam lab sesekali menghilang dari peredaran dalam beberapa waktu. Tak pelak, hal yang sama kemudian juga saya alami di paro awal November 2015 lalu. Dengan terkantuk-kantuk lelah, saya terseret ke dalam ritme riset yang tak mengenal paparan sinar matahari dan pola hidup manusiawi di suatu pojok terpencil di prefektur Hyogo, Jepang. Merasa melewatkan liputannya di blog? Jangan khawatir, saya memang tidak menuliskan apapun tentangnya. Tidak ketika saya merasa perlu mengambil libur tiga hari supaya kepala sedikit waras.
Berangkat dari pengalaman tersebut, ketika tawaran untuk berpartisipasi dalam sebuah riset datang untuk kedua kalinya, sikap yang saya ambil pada awalnya adalah mengatakan tidak dengan penuh keyakinan. Saya tidak butuh menjebak diri di suatu pojok terpencil negeri selama tiga pekan untuk mencurahkan segenap waktu berkutat dengan riset yang tidak saya cintai. Heah.
Namun semua keyakinan tergoyahkan dengan pemberian satu informasi penting:
Eksperimen akan dilangsungkan di Prancis. Tepatnya, di Synchrotron Soleil.Bahkan sekadar informasi bahwa eksperimen akan dilangsungkan di luar Jepang sudah lebih dari cukup untuk menggoyahkan pendirian saya. Apalagi jika mengingat bahwa peluang bergabung dengan eksperimen di luar negeri merupakan salah satu penarik utama bergabungnya saya di lab saya kini, Ueda Lab. Tak pelak, saya hanya bisa mengganti jawaban tidak yang sebelumnya siap saya utarakan dengan yakin, menjadi kalimat normatif "akan saya pikirkan nanti".
Dan saya tidak butuh waktu lama untuk meyakinkan diri menerima tawaran tersebut. Tawaran ini berarti kesempatan untuk menjejak tanah Benua Biru lebih awal dari apa yang saya canangkan sebelumnya, yang meliputi rencana kelanjutan studi
Dibayari, pula.
Maka nikmat manakah yang kamu dustakan?
[Informasi terkait pendaftaran visa Schengen yang saya tempuh dimulai dari bagian ini. Harap diperhatikan bahwa informasi di bawah benar setidaknya hingga Mei 2016, dan pendaftaran visa dilakukan di Kedutaan Besar Prancis di Tokyo, Jepang. Dokumen yang diperlukan dan metode pengurusan bisa berbeda bergantung waktu pendaftaran dan negara tujuan dalam visa Schengen.]
Sebagai warga sebuah negara yang paspornya tergolong mempunyai daya tawar lemah dalam percaturan dunia imigrasi internasional, tentunya langkah yang cukup bijak saya ambil selanjutnya adalah memastikan saya bisa memasuki wilayah Prancis. Simpelnya, saya harus mendapatkan visa Schengen untuk memasuki wilayah Prancis.
Dasar saya tinggal di negara yang paspornya kuat, pernyataan bahwa saya akan perlu mendaftar visa sempat memunculkan raut muka kebingungan di dalam ruang pertemuan lab. Beruntunglah saya, mereka masih cukup baik untuk membantu mencarikan informasi pendaftaran visa dan segenap dokumen yang saya perlukan untuk melengkapi proses pendaftaran.
Pada dasarnya, segala informasi yang diperlukan untuk mempersiapkan dokumen visa dan mendaftarkannya ke kedutaan besar Prancis dapat diperoleh dengan mudah di kedua tautan berikut:
Prosedur pendaftaran visa yang dimaksud pun sebenarnya cukup sederhana. Prinsipnya hanyalah mendaftar visa dengan menetapkan waktu kedatangan, datang tepat waktu dengan membawa segala dokumen yang diminta langsung ke kedubes, dan kemudian menunggu informasi diterima atau ditolaknya visa (yang bisa diperiksa melalui tautan ini).
Meskipun info dapat disimak dengan baik di kedua tautan yang telah saya berikan di atas,
- Dokumen pendaftaran visa Schengen yang telah diisi dan ditandatangani. Dokumen harap diisi menggunakan pulpen dan ditandangani dengan tandatangan yang sama dengan tadatangan paspor.
- Pas foto diri berwarna, ukuran 3.5 x 4.5 cm. Harap diperhatikan bahwa latar belakang foto haruslah warna putih atau warna cerah lain.
- Paspor yang masih berlaku setidaknya 3 bulan setelah keberangkatan dari wilayah berlakunya visa Schengen. Pastikan masih ada setidaknya 4 halaman kosong di paspor, dan berikan kopi halaman identitas diri beserta tanda tangan.
- Uang tunai setara €60 untuk biaya pengajuan visa. Harap diperhatikan bahwa uang ini tidak dapat dikembalikan meskipun pengajuan visa ditolak.
- Bukti identitas diri. Umumnya ini berarti kartu identitas utama seperti KTP, khususnya kartu identitas yang dikeluarkan negara tempat kedubes berada. Siapkan juga kopinya.
- Surat keterangan berkuliah (在学証明書 dalam bahasa Jepang) sebagai bukti bahwa saya bermukim di Jepang dalam rangka menjalankan kuliah di Jepang. Sejauh yang saya amati, di beberapa universitas negeri di Jepang, surat semacam ini sangat mudah diperoleh. Bahkan kita bisa memperolehnya secara mandiri di mesin pencetak surat yang diletakan pada titik-titik tertentu di seantero kampus.
- Surat undangan dari ketua tim riset, karena sejatinya saya akan diberangkatkan ke Prancis untuk berpartisipasi oleh sebuah proyek riset yang diikuti lab saya
terlepas dari apa yang sebenarnya saya lakukan di sana. - Surat keterangan keanggotaan di lab sebagai bukti saya tergabung dalam Ueda Lab sebagai seorang mahasiswa sarjana tahun terakhir. Dalam kasus saya, surat ini juga digunakan untuk memberitahukan bahwa biaya perjalanan saya akan ditanggung oleh pihak kampus. Hal yang, selain sangat menguntungkan bagi saya, juga diperlukan dalam bagian dari dokumen pendukung prosedur pengajuan visa.
- Bukti pembayaran asuransi perjalanan internasional. Dalam perjalanan ini, saya memanfaatkan rekomendasi dari pihak lab untuk mendaftar asuransi melalui International Medical Group (IMG) Europe Ltd. Prosedur pemesanan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, bermodalkan kartu kredit tentunya.
- Bukti pemesanan hotel untuk penginapan. Sebenarnya untuk kasus saya, telah jelas tercantum di surat undangan bahwa saya akan mendapatkan fasilitas penginapan di dalam kompleks Synchrotron Soleil. Meskipun demikian, karena saya memutuskan untuk menambahkan satu hari ekstra untuk tinggal di Prancis, saya akan membutuhkan hotel sebagai tempat menginap di satu hari tersebut. Bukti adanya tempat menginap ini perlu dilampirkan sebagai bagian dari dokumen pendukung.
- Bukti pemesanan tiket pesawat, terutama yang jelas mencantumkan tanggal keberangkatan dan tanggal kepulangan. Konon sekadar bukti pemesanan sudah lebih dari cukup, akan tetapi karena saya berurusan dengan agen perjalanan dalam urusan ini, tepatnya H.I.S. Corporation Ltd., mau tak mau saya harus membayar tiket tersebut sebelum saya berkesempatan mengajukan permohonan visa.
- Fotokopi halaman terakhir buku tabungan, khususnya untuk menunjukkan saldo termutakhir akun bank. Dalam aplikasi saya pribadi, saya turut menyertakan apa yang disebut bank statement, yang pada dasarnya mencantumkan informasi yang tepat sama dengan informasi dari buku tabungan, hanya saja dikeluarkan secara khusus oleh pihak bank.
***
Sebagaimana telah saya sebutkan di bagian sebelumnya, setiap pemohon aplikasi visa Prancis diwajibkan membuat appointment alias perjanjian dengan pihak kedubes sebelum hadir membawa dokumen yang diperlukan. Tentu saja, karena kita berurusan dengan instansi macam kedutaan, pengurusan hanya bisa dilakukan di hari kerja. Karena kedutaan Prancis terletak di kota Tokyo, sementara saya berdomisili di kota Sendai, pergi mengurus visa berarti saya akan memakai satu hari kerja untuk pergi ke Tokyo mengurus visa; berangkat menggunakan bus Kamis malam dan pulang pada Jumat malam. Bagi saya pribadi, ini berarti urusan akan lebih mudah jika dikerjakan di penghujung hari kerja, alias hari Jumat. Dengan memperhitungkan segala waktu yang saya perlukan untuk mempersiapkan dokumen-dokumen terkait, saya tetapkan tanggal 13 Mei sebagai hari di mana saya akan melangsungkan pengajuan visa.
Waktunya? Paling mudah tentunya pagi hari; saya baru akan sampai di wilayah Tokyo pada Jumat pagi, sehingga pengurusan pada pagi hari akan mengurangi waktu tunggu saya di pagi hari, dan membuat jadwal saya di sisa hari lebih longgar.
Singkat cerita, berangkatlah saya menuju Tokyo, menuju kedutaan besar Prancis untuk mengurus visa Schengen.
Isi email pengingat waktu perjanjian pengajuan visa di.... Konsulat Prancis di Tokyo? |
....Ya, kedutaan besar Prancis...?
Entahlah.
Kedatangan saya sekitar pukul 8.45 di depan pintu kedubes Prancis disambut dengan tatapan dingin sang penjaga kedubes yang menyuruh saya untuk menunggu hingga pintu ruang pengajuan visa dibukakan. Sekitar lima belas menit menunggu dihabiskan dengan mengamati beberapa "bule" (yang saya asumsikan adalah warga Prancis karena alasan yang sangat jelas), juga dengan menyaksikan beberapa orang lain yang bernasib serupa dengan saya: menunggu di depan gedung kedubes dengan map berisi dokumen pengajuan visa di tangan.
Dua-tiga menit selepas pukul sembilan pagi, kami para pemohon dipersilakan masuk ke dalam ruangan dengan alat pemindai memeriksa barang bawaan kami.
Tak butuh lama bagi kami untuk menunggu di dalam, karena secara bergantian kami para pemohon dipanggil untuk mendatangi loket-loket yang tersedia di sisi lain ruangan.
Prosedur pengajuan visa sendiri sederhana saja: memberikan semua dokumen yang diminta, menjawab beberapa pertanyaan yang sesekali dicetuskan oleh sang petugas, membayar biaya aplikasi visa, dan melenggang keluar dari bangunan kedubes.
Hanya saja, saya merasa perlu membahas beberapa hal terkait prosedur pengajuan visa:
- Pentingnya menyiapkan pas foto yang sesuai dengan kriteria; foto berwarna dengan latar belakang warna cerah. Pas foto saya berakhir dengan latar belakang biru yang cukup tegas, yang secara teknis tidak memenuhi syarat yang diminta. Artinya, saya harus mengambil pas foto baru. Untungnya, di loket pengajuan visa, kamera telah disiapkan untuk menjepret foto pemohon dengan latar belakang warna putih. Ruginya, pas foto yang dimasukkan ke dalam aplikasi tidak dikembalikan ke pemohon. Sehingga satu dari tiga pas foto yang telah saya cetak terbuang sia-sia.
Atau tidak, karena dari kejadian itu ada hikmah yang bisa saya dapatkan. - Pentingnya menyiapkan kopi dari dokumen-dokumen yang disiapkan. Pada dasarnya, kebijakan kedubes Prancis di Tokyo (dan mungkin kedubes negara lain di tempat lain) menetapkan bahwa pihak kedubes tidak menyediakan jasa fotokopi. Ini berarti segala dokumen asli yang diberikan tanpa kopi akan dianggap sebagai bagian dari dokumen asli, alias tidak perlu dikembalikan. Untuk ini perlu berhati-hati.
- Jika kamu tinggal cukup jauh dari kedubes, ada baiknya mencari tahu kalau kalau kamu tidak perlu datang ke kedubes untuk kedua kalinya. Untuk kasus kedubes Prancis di Tokyo, jelas tercantum bahwa pemohon visa diberikan hak untuk meminta paspor yang telah diberi visa dikirim langsung ke alamat rumah. Bermodal amplop Letter Pack merah seharga 540 yen yang diberikan bersama dokumen-dokumen, saya tidak perlu lagi mendatangi kedubes Prancis untuk mengambil paspor yang telah dipasangi visa, karena paspor akan dikirim langsung menuju rumah. Tentu saja alamat rumahmu harus tertulis jelas di amplop tersebut, dan amplop ini harus disiapkan sendiri.
Prosesi pengajuan visa berlangsung tak lebih dari 30 menit. Tak lama setelah saya mulai memasuki gedung kedubes Prancis, saya telah mendapati diri saya melenggang di bus menuju Shinjuku. Sisa hari saya lewati dengan berkelana mengunjungi beberapa titik, seperti kampus Tokodai (東工大, Tokyo Institute of Technology), dek pengamatan dari gedung pemerintah Metropolitan Tokyo (東京都庁 Tōkyō Tochō) dan satu-dua resto.
Singkat cerita, saya bertolak ke Sendai pada Jumat malam, dan paspor yang telah dibubuhi visa sampai ke rumah saya pada Rabu siang, 18 Mei.
Didapatnya visa Schengen berarti bagian terpenting dari pra-perjalanan telah terlaksana; apalagi mengingat pengajuan visa memerlukan tuntasnya beberapa hal penting seperti pengurusan tiket pesawat dan penginapan. Selebihnya hanyalah hal remeh-temeh macam persiapan jelang riset, baik itu berupa orientasi fasilitas riset, pengenalan akan topik riset yang akan dikerjakan selama dua minggu di Benua Biru, dan segala macam hal lain yang rasanya tidak cukup penting untuk dibahas di sini.
Sebagai penutup, saya akan suguhkan gambar berikut.
Singkat cerita, saya bertolak ke Sendai pada Jumat malam, dan paspor yang telah dibubuhi visa sampai ke rumah saya pada Rabu siang, 18 Mei.
Didapatnya visa Schengen berarti bagian terpenting dari pra-perjalanan telah terlaksana; apalagi mengingat pengajuan visa memerlukan tuntasnya beberapa hal penting seperti pengurusan tiket pesawat dan penginapan. Selebihnya hanyalah hal remeh-temeh macam persiapan jelang riset, baik itu berupa orientasi fasilitas riset, pengenalan akan topik riset yang akan dikerjakan selama dua minggu di Benua Biru, dan segala macam hal lain yang rasanya tidak cukup penting untuk dibahas di sini.
Sebagai penutup, saya akan suguhkan gambar berikut.
Di bagian berikutnya, tulisan ini sudah akan melanglang buana dari Benua Biru sana.
Sampai jumpa!
Sampai jumpa!