Selasa, 25 Februari 2014

Article#267 - Secarik Kisah Beku (1): Sesalju

Butir-butir itu terus berjatuhan turun.
Dengan penuh takjub, Fandi memandangi gedung-gedung yang berlalu lalang, dari balik jendela bus. Tidak hanya gedung, orang-orang pun masih banyak yang berjalan mengiringinya. Semuanya berpadu di luar sana, bergerak menembus badai yang menerpa. Butir-butir putih yang melaju gesit tampak tak dihiraukan oleh mereka yang terus berjalan.

Bus kembali berhenti, kali ini di depan kampus. Dengan muka sumringah, Fandi bergerak gesit untuk membayar dan segera turun. Bersama teman seperjalannya Dimas, yang sudah setahun tinggal di kota itu, Fandi keluar dan menghadapkan diri pada butir-butir putih. Butir putih, yang terus menghujam bumi dengan galak sejak tadi.

"Kau sepertinya terlalu bersemangat, Fandi," ucap Dimas yang terakhir turun dari bus.
"Bagaimana tidak semangat," seru Fandi dalam langkahnya yang menghentak-hentak dahsyat. Mungkin dia merasa sedang membawa Sang Saka di tengah lapangan upacara. "Aku belum pernah lihat salju sebelumnya, Dim."

Dasar anak baru, Dimas menghela nafas.
"Menurutmu ini salju? Ini bukan salju loh."
Langkah Fandi yang dihentak-hentak mendadak loyo.
"Bukan salju?"

*****
sumber
Satu hal yang cukup menarik tentang salju adalah bahwa ia cukup dikenal, bahkan di negara-negara tropis yang notabene identik dengan cuaca yang panas sepanjang tahun. Di Indonesia sendiri, dengan pengecualian sebuah keterangan "di puncak Jayawijaya" yang sering terngiang di buku pelajaran sekolah, praktis tidak ada bentang es yang menggeletak. Tentu saja kita harus mencoret opsi kulkas, yang sama sekali tidak berkaitan dengan 'cuaca'.
Mungkin ada kaitannya dengan mudahnya akses informasi? Atau berkaitan dengan tidak turunnya salju di wilayah tropis? Banyak kesimpulan yang mungkin mempengaruhi.

Butir Air Lebih Dingin dari Es?

Kebanyakan orang mengenali salju sebagai analog hujan yang turun pada saat suhu udara cukup dingin. Sehingga, syarat-syarat umum yang diperlukan untuk turunnya sebuah hujan, secara umum bisa digunakan sebagai syarat turunnya salju di suatu daerah, dengan tambahan kriteria berupa suhu mendekati 0°C. Komposisi standar hujan sendiri berupa sekumpulan besar uap air, dan gaya yang mengangkat uap air ini lebih tinggi ke atmosfer. Gaya angkat ini membawa uap air ke bagian atmosfer yang lebih dingin, sehingga uap air ini mengembun menjadi butir-butir air. Kumpulan butir air ini kemudian tampak sebagai awan. 
Dalam kasus hujan, cerita akan berjalan dengan cukup sederhana; butir-butir air akan bergabung antar satu sama lain. Suatu saat ia sampai pada titik dimana ia terlalu berat untu bertahan dalam awan, dan mematuhi gravitasi untuk terjun menuju Bumi. Tetapi, dalam kasus salju, cerita sedikit berbeda.

Seperti yang mungkin dengan mudah terbayang, dalam suhu yang cukup dingin, butir-butir air ini bisa juga membeku menjadi kristal es. Sedingin apa? Nol derajat Celsius?
Rupanya, tidak begitu. Mari dibongkar: butir-butir air murni baru membeku ketika suhu sudah turun hingga -48°C. Mulai dari suhu itu, butir air baru akan membeku secara otomatis. (Contoh dari kondisi tersebut digambarkan dalam video di tautan berikut.)
Tapi selama ini air membeku di suhu 0°C, bukan -48°C? Benar, suhu 0°C adalah suhu dimana es meleleh, dan air cair membeku. Buktinya, termometer Celsius, yang skalanya dibuat berdasarkan titik beku dan didih air, mencatat titik beku air pada nol derajat.

Lalu, bagaimana butir air bisa bertahan dalam wujud cair hingga suhu sedingin itu?
Perbedaan yang menentukan dalam hal ini adalah kemurnian butir air terkait. Pada butir air yang hampir murni, dimana-mana hanya ada molekul air yang seragam dan kedinginan. Karena nyaris tak ada perbedaan dalam kelompok besar air tersebut, molekul-molekul air ini merasa nyaman dengan keadaannya, dan tak tertarik untuk bersatu membangun kristal es.

Proses nukleasi, berupa gelembung karbon dioksida yang
menempel pada cincin. Gambar disadur dari sini.
Supaya molekul air tersebut segera berpadu membangun kristal es tanpa mendingin hingga -48°C, diperlukan "gangguan" dari pihak luar. "Gangguan" yang paling umum dalam kasus ini adalah memberikan setitik ketidakseragaman pada butir air terkait, misalnya dengan menambahkan sebutir debu mikroskopik. Penambahan sebutir debu mikroskopik ini akan mengganggu 'kenyamanan' molekul yang berdiam dalam butir air itu, dan mendorong molekul-molekul air untuk bergabung. Molekul yang bergabung dengan debu mikroskopik kita ini tidak suka berdesak-desakan, sehingga mereka akan mengatur posisi mereka dengan teratur dan rapi, menjalani sebuah proses yang disebut "nukleasi", yang secara bahasa berarti "pembentukan inti". Selama suhu lingkungan masih di bawah 0°C, nukleasi akan terus berlangsung, sedemikian hingga paduan molekul air yang tersusun rapi itu membentuk sebuah kristal es.
(Tambahan: proses nukleasi juga berperan dalam pembentukan buih di dasar panci berisi air yang sedang mendidih, atau dalam botol soda, dll. Mungkin proses nukleasi juga diadaptasi dalam proses berafiliasinya orang-orang ke kelompok tertentu?)

Hujan Dingin, Belum Tentu Salju

Sekarang, awan terkait sudah menampung sekian banyak kristal es yang terus tumbuh. Sebagaimana yang terjadi pada butir air hujan, kristal es ini terus tumbuh, sampai ia terlalu berat untuk tetap menghuni awan. Maka beramai-ramai kristal es berjatuhan ke Bumi, sembari 'merekrut' butir-butir air yang mungkin dijumpai.
Tentunya, atmosfer Bumi bukanlah satu kesatuan massa udara yang seragam. Kadar air di satu bagian atmosfer akan berbeda dengan kadar air di bagian lain. Temperatur di satu lapisan atmosfer pun juga berbeda dengan temperatur di lapisan lainnya.
Perbedaan ini, terutama yang berkaitan dengan temperatur, menghasilkan 4 jenis presipitasi (hasil pengembunan uap air di atmosfer yang jatuh kembali ke muka Bumi–pen.) dalam musim dingin.

Keempat jenis tersebut dibedakan oleh keberadaan massa udara hangat (diatas 0°C) pada jalannya menuju muka Bumi.
Jenis-jenis presipitasi dalam musim dingin. Daerah oranye
mewakili massa udara hangat (suhu di atas 0°C), sementara
daerah biru mewakili massa udara dingin (suhu di bawah 0°C).
sumber

  • Pada kondisi pertama, massa udara hangat dominan menguasai jalur sang kristal es, termasuk di dekat tanah. Sehingga kristal es tersebut segera mencair, dan tetap dalam keadaan cair saat ia menyentuh muka Bumi. Jenis yang ini dikenal sebagai hujan.
  • Kondisi kedua, alih-alih ditemani massa udara hangat sepanjang perjalanan, butir kristal es yang telah mencair itu kembali bertemu massa udara dingin. Butir-butir air tidak sempat membeku sebelum mencapai segenap muka Bumi, tetapi membeku setelah bersentuhan dengan objek-objek di permukaan, melapisinya dengan es. Jenis yang ini dikenal sebagai 'hujan beku' (freezing rain).
  • Kondisi ketiga, massa udara hangat yang dihadapi butir kristal es tidak setebal pada kondisi pertama dan kedua. Karenanya, butir kristal es yang telah meleleh itu bisa kembali membeku, membentuk butir-butir kecil es. Jenis ini dikenal sebagai 'sleet', yang dalam ekuivalensinya di Wikipedia bahasa Melayu diartikan sebagai "hujan es".
  • Kondisi keempat, tidak ada massa udara hangat yang signifikan untuk melelehkan kristal es, sehingga mereka bisa mencapai permukaan Bumi dalam bentuk kristal. Bentuk yang biasa disebut salju.
Awan kumulonimbus, dipotret dari Tokyo, 20 Agustus 2007.
Selain bahaya hujan es, awan ini juga identik dengan kondisi
badai petir dan angin kencang.
Gambar disadur dari sini
Khusus bagi kondisi ketiga, mungkin dari kalian ada yang akan membandingkannya dengan 'hujan es' yang kadang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, atau istilah bahasa Inggrisnya 'hail'. Bedanya dengan 'sleet' bisa dibandingkan dari besar partikel es yang dijatuhkan; 'sleet' cenderung lebih kecil, kurang lebih sebesar kepala jarum, sementara 'hail' kadang-kadang bisa mencapai ukuran kelereng atau lebih.
Juga, manakala 'sleet' praktis bisa terjadi pada semua awan yang membawa cukup cadangan air, 'hail' hanya terbentuk dalam awan badai yang dikenal dengan nama kumulonimbus. Ukuran keping hujan es yang cukup besar adalah hasil dari pergerakannya yang berputar-putar antara bagian bawah dan atas awan, dimana temperaturnya cukup untuk membekukan butir-butir air yang ada.
Sesuai dengan karakteristiknya, maka 'sleet' hanya terjadi ketika suhu udara dekat tanah berada di bawah titik beku. Sementara 'hail' tetap bisa terjadi ketika suhu udara berada jauh diatas titik beku (diatas 15°C), karena keping-keping es yang terbentuk cukup besar, sehingga berpeluang tidak habis mencair sebelum sampai ke muka Bumi.

Keping Salju yang Nyentrik

Sebelumnya sempat dibahas bahwa perbedaan kondisi atmosfer dalam perjalanan sebutir kristal es bisa menghasilkan perbedaan tertentu. Perbedaan yang muncul tersebut, pada gilirannya, ikut membentuk keping-keping salju yang berjatuhan dalam bentuknya masing-masing.
Dalam perjalanannya jatuh ke muka Bumi, si keping salju senantiasa 'merekrut' butir-butir air yang ia temui di perjalanannya. Bagaimana dan dimana butir-butir ini bergabung memperluas kristal salju akan sangat bergantung pada kondisi lingkungan ketika satu persatu butir air bergabung padanya.

Penelitian dan rasa kepo orang-orang akan wujud keping salju ini mendapat banyak kemajuan ketika Wilson A. Bentley (1865-1931) mempublikasikan hhasil fotografinya, yang memanfaatkan mikroskop untuk memotret hingga 5.000 keping salju. Hasil foto Bentley menunjukkan keberagaman yang begitu luas antar bentuk-bentuk keping salju yang terpotret, meskipun secara umum bentuk-bentuk keping salju yang demikian beragam itu kemudian dikelompokkan tahun 1951. Adalah IACS (International Association of Cyrospheric Sciences) yang mengelompokkan bentuk-bentuk keping salju, ke dalam 10 bentuk umum sebagaimana diperlihatkan oleh gambar berikut.

Klasifikasi 10 bentuk umum keping salju oleh IACS. Gambar disadur dari sini.
Berbagai studi lebih lanjut oleh Kenneth Libbrecht, profesor fisika di California Institute of Technology, menyibak lebih lanjut hubungan antara kondisi udara (terutama kelembapan dan suhu) dengan bentuk keping salju yang dihasilkan. Secara umum, makin kering dan dingin kondisi udara saat pembentukan, makin sederhana bentuk keping salju yang terbentuk.

Hubungan antara kelembapan udara, suhu, dan bentuk keping
salju yang terbentuk. Gambar disadur dari sini.

Menilik sensitivitas yang ada dalam proses ini, bisa disimpulkan, bahwa secara praktis akan sangat sulit mendapatkan dua keping salju yang identik. Kalau yang nyentrik, banyak.
Tetapi, dari sekian banyak keping salju tersebut, ataupun sepuluh bentuk yang disetujui pengelompokannya, semua keping salju ini mematuhi tata letak kristal yang sama: Bentuk segi enam.
Bentuk segienam ini sendiri berasal dari susunan atom hidrogen dan oksigen penyusun molekul air, yang seluruhnya tertata dalam bangun-bangun segienam, dan pada akhirnya menjadi kesatuan keping salju yang juga berbasis bentuk segi enam.
Kesimpulan: Jika kau diberikan gambar keping salju dengan tata kristal segi lima, tujuh, kemungkinan besar itu bukan keping salju sungguhan. Meskipun terkadang keping salju bersudut tiga atau dua belas pun bisa terbentuk.

Jika ingin menikmati suguhan lebih mengenai proses terbentuknya kristal es, berikut ini adalah video pendek buatan Vyacheslav Ivanov yang menampilkan pertumbuhan sekeping salju. Silakan simak video snow-motion berikut, dan keterangan lebih lanjut bisa dikunjungi di laman ini.



Tertarik untuk tahu lebih lanjut? Berikut beberapa referensi dan bahan bacaan lanjutan:
http://en.wikipedia.org/wiki/Snowflake
http://www.weather.com/encyclopedia/winter/precip.html
http://www.ehow.com/list_6903877_conditions-needed-snow_.html
http://www.wunderground.com/news/sleet-freezing-rain-difference-20121123
http://www.ehow.com/how-does_4563981_snow-form.html
http://www.sciencedaily.com/releases/2011/11/111123133123.htm
http://chemistry.about.com/od/snowsnowflakes/tp/snowflakeshapes.htm
http://www.its.caltech.edu/~atomic/snowcrystals/class/class.htm
http://www.iflscience.com/chemistry/watch-snowflake-form-your-eyes

Sampai jumpa di tulisan selanjutnya, nanti!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...