Rabu, 31 Juli 2013

Article#186 - When You Think About It.. - 2

It has been a while since the last time I posted some comics here, then I happened to arrive at that site of zenpencils.com, from which the previous comic post's original picture is posted. Aaaannndd here is the comic.
Courtesy to zenpencils.com. Quotes by Chris Guillebeau.
Let's live our lives to the fullest, and give a remarkably special contribution to everyone around!
Lanjutkan baca »

Selasa, 30 Juli 2013

Article#185 - Fotografer Tersesat

Seorang fotografer pemula sedang mengikuti latihan fotografi pemandangan di suatu lembah yang memang terkenal akan keindahan bentang alamnya. Ia begitu bersemangat memotret ke sana-sini, hingga ia tak menyadari ia sudah kehilangan jejak rombongannya.
Panik, ia mencoba menelusuri jalan yang ia lewati sebelumnya, tetapi hari semakin gelap, dan matanya yang belum cukup awas kesulitan menerawang jalan yang ia lalui. Apalagi, di seberangnya ada jurang yang bisa langsung mengantarkan seseorang yang terjatuh ke dasar lembah.

Seolah belum cukup derita sang fotografer pemula, hujan badai turun! Spontan fotografer itu makin pesimis ia bisa kembali dengan selamat. Sudah tersesat, gelap, hujan badai pula.
Tapi akhirnya timbul harapan. Di ujung jalan dia melihat lampu mobil perlahan-lahan mendekat. Tidak mau kehilangan kesempatan, dia melambaikan tangannya untuk meminta tumpangan. Ketika mobil tersebut mendekat, tanpa mau membuang waktu, sang fotografer langsung naik ke bak mobil, duduk dan kaget! Karena dia baru menyadari bahwa mobil tersebut tidak ada yang mengemudikan.

Ketakutan, tetapi berhubung ia tak melihat jalan keluar lain bagi masalahnya, fotografer tersebut tetap bertahan meringkuk di bak mobil. Ia menutup kedua telinga saking takutnya, sambil gemetaran melafalkan doa tanpa henti. Dalam perjalanan di mobil yang berjalan dengan pelan sekali, ketika mobil sepertinya akan menabrak pohon atau jatuh ke jurang, tiba-tiba muncul tangan-tangan agar mobil tidak menabrak atau jatuh.
Sang fotografer bergidik, tetapi ketakutannya membuatnya tak mampu berbicara ataupun berteriak, dan ia hanya gemetar dan terus melafalkan doa. Kemudian tangan tersebut menghilang.
Hal tersebut terus terjadi berulang kali.

Singkat cerita, mobil tersebut sampai ke sebuah warung kopi. Beberapa jam meringkuk, sang fotografer pemula tak tahan lagi dan lari terbirit-birit ke warung tersebut, memesan secangkir kopi. Sambil menangis terisak-isak, fotografer tersebut menceritakan kejadian seram yang baru saja dia alami kepada sang pemilik warung.
Setelah selesai bercerita, fotografer tersebut akhirnya pingsan kelelahan dan juga karena menahan rasa takut.

Tak lama, dua orang berpakaian kotor dan basah kuyup masuk ke dalam warung kopi dan melihat sang fotografer yang sedang pingsan. Salah satunya langsung menunjuk si fotografer yang pingsan,
"Wah ini dia orang yang seenaknya menumpang di mobil yang lagi kita dorong!"
Lanjutkan baca »

Minggu, 28 Juli 2013

Article#184 - Penggembala dan Wartawan

Seorang wartawan sedang berlibur ke suatu daerah pegunungan yang terkenal akan keindahan alamnya. Ia tak ada niat untuk meliput apapun, tetapi, tak lama ia menemukan seorang gembala dengan kawanan domba yang terlihat sehat dan kuat. Penasaran, sang wartawan memutuskan untuk bertanya,
"Anda mempunyai kawanan domba yang bagus. Bolehkan saya mengajukan beberapa pertanyaan tentang domba-domba itu?"
"Tentu," kata gembala itu.
Si wartawan pun mulai bertanya, "Berapa jauh domba-domba Anda berjalan setiap hari?"
"Yang mana, yang putih atau yang hitam?"
"Yang putih."
"Ah, yang putih berjalan sekitar enam kilometer setiap hari."
"Dan yang hitam?"
"Yang hitam juga."
"Dan berapa banyak rumput mereka makan setiap hari?"
"Yang mana, yang putih atau yang hitam?"
"Yang putih."
"Ah, yang putih makan sekitar dua kilogram rumput setiap hari."
"Dan yang hitam?"
"Yang hitam juga."
"Dan berapa banyak bulu yang mereka hasilkan setiap tahun?"
"Yang mana, yang putih atau yang hitam?"
"Yang putih."
"Ah menurut perkiraan saya, yang putih menghasilkan sekitar tiga kilogram bulu setiap tahun, kalau mereka dicukur."
"Dan yang hitam?"
"Yang hitam juga."
Kini sang wartawan menjadi penasaran.
"Bolehkah saya bertanya, mengapa engkau selalu membedakan antara domba putih dan hitam setiap kali Anda ingin menjawab pertanyaan saya?"
Gembala itu menjawab, "Tentu saja. Yang putih adalah milik saya."
"Hoo, lalu yang hitam?"
"Yang hitam juga," kata gembala itu.

-disadur dari sumber anonim, tersebar di dunia maya
Lanjutkan baca »

Sabtu, 27 Juli 2013

Article#183 - Tamparan dari Jiwa Yang Lampau

Pemberitahuan sebelum membaca: Plot cerpen ini tak diadaptasi dari kisah nyata. Tetapi beberapa kejadian di cerpen ini diadaptasi dari kisah nyata.

Butuh waktu cukup lama bagiku untuk memahami perasaan senang ketika kembali lagi ke bumi pertiwi setelah sekian lama menjelajah berbagai sudut dunia. Dan juga, butuh waktu lebih lama lagi bagiku untuk memahami makna perjuangan, ketika diri seolah berdiri tanpa siapapun di sisi, yang akhirnya membuat segala pencapaian terasa begitu berarti. Yang membuatku bingung, terkadang waktu semacam itu tak bisa didapatkan dengan mencarinya. Ia bisa datang dengan tiba-tiba, ketika kau tak menduga bahwa ia akan datang.

***

Sebagai seorang mahasiswa perantauan di negeri matahari terbit, pulang ke negeri sendiri bukanlah sebuah rutinitas yang bisa dilakukan kapan saja. Kesempatan-kesempatan yang jarang ada semacam inilah yang ditunggu-tunggu, terutama bagi melepaskan diri dari rutinitas yang sedikit membuat pusing di dunia kuliah.
Atau paling tidak, itulah yang sebelumnya kuharapkan.
Namun, setelah beberapa lama menjejak kembali tanah bumi pertiwi, baru kusadari, harusnya sudah kuperkirakan bahwa harapanku itu harapan kosong belaka. Tiap hari, ada saja yang 'memaksaku' untuk berhenti dan balas menyapa seseorang di pinggir jalan yang biasanya dibarengi sebaris pertanyaan mengenai aku dan kuliahku. Mungkin wajar ya, mengingat perumahan tempatku tinggal memiliki ikatan antarwarga yang akrab. Meskipun kadang-kadang pertanyaannya terlalu berputar-putar sampai aku merasakan kedongkolan dalam hati, tentu saja aku berusaha bersikap setenang dan senormal mungkin. Kunyatakan bahwa studiku berjalan seperti yang kuharapkan, dan bahwa semuanya berjalan lancar. Semuanya baik-baik saja, sering aku menjawab hanya demi menyelesaikan obrolan.
Tetapi, sebenarnya tidak bisa disebut 'baik-baik' juga.
Dimulai sebulan setelah kelas pertama, ada sebuah kelas khusus, dimana lab-lab yang dikatakan ‘akan menjadi pintu pelabuhan akhir’ kami di program studi yang kujalani ini, diperkenalkan satu demi satu. Dan selalu saja, aku merasa jiwaku terbang entah kemana ketika kami berkeliling menuju lab dengan segala macam perabotannya. Aku hanya menatap alat-alat itu dengan tatapan kosong, bahkan ketika teman-teman sejurusanku begitu bersemangat mendengarkan penjelasan dari sang profesor yang bertugas di lab terkait. Aku mulai merasakan atmosfer dunia ilmuwan, yang makin kental dengan berbagai jurnal ilmiah dan kawan-kawannya yang disodorkan satu demi satu guru kepada kami. Dan benih-benih ketidaksukaan diriku akan dunia ilmuwan justru mulai tersemai.
Dan hanya dalam beberapa saat di kelas ketiga, pemberontakan kecil yang sudh bersemai sejak kelas pertama, mulai berkecambah dalam diriku. Apakah ini jalan yang benar? Kalau iya, mengapa tidak ada semangat yang muncul? Kalau iya, apa berarti aku akan berurusan dengan semua wadah-wadah aneh itu, mengerjakan berbagai hal aneh seperti yang dikerjakan profesorku itu, sepanjang sisa hidupku? Begitu? Apakah dulu aku salah pilih? Mungkin jelas aku salah pilih. Aku sejak SMA mendeklarasikan tak ingin menjadi professor, ilmuwan, dan dengan bodohnya aku memilih jalan lurus ke sana. Kutertawakan diri ini, dan pilihan yang telah kuyakini. Mungkin aku memang bodoh, lebih bodoh dari Romeo yang memutuskan untuk bunuh diri hanya karena mengira Juliet tak lagi bernyawa. Atau bahkan lebih bodoh dari Narcissus yang terjatuh tenggelam, terpana akan bayangan wajahnya sendiri di air kolam.
Pikiran yang berkecamuk ini tetap terbawa dalam kepala hingga kami sekeluarga berangkat mengunjungi rumah nenekku, ibu dari ayahku, yang bertempat di utara Bandung. Seolah guratan takdir memahami kalutnya kecamuk pikiranku dan memutuskan untuk memberinya rehat sejenak. Karena rumah nenekku ini, sejak aku kecil, selalu menjadi tempat dimana aku merasa nyaman dan tenteram. Tempat ini juga adalah tempat dimana aku menghabiskan sebagian besar masa kecilku, bersama perpustakaan a la Nenek yang begitu teratur. Itu adalah tempat favoritku, bahkan sebelum kejamnya sistem pendidikan yang banyak membunuh sel otak kananku itu mengajariku membaca dan menulis. Aku ingat sering menghabiskan waktu membaca buku ensiklopedia disana, ditemani es kelapa muda dari pak Maman yang ramah di seberang jalan. Dan ketika sampai di rumah Nenek, aku memutuskan bahwa bernostalgia mengenang masa kecil yang indah itu cukup tepat untuk menjernihkan pikiran.
Rupanya pak Maman dengan kedainya masih tetap ada. Tawa cerah pak Maman yang khas membawaku bernostalgia lagi, meskipun aku tak yakin pak Maman masih mengenaliku. Dan, entah kenapa aku merasa tak enak untuk memperkenalkan diri dengan segera kepada pak Maman. Serasa ada yang mengganjal, entahlah. Apalagi kedainya sedang ramai, dan tak sempat ia memperhatikan aku keluar dari gerbang rumah Nenek dan berjalan menuju kedai.
"Es kelapa mudanya pak, yang besar saja."
"Oh iya, sebentar ya, masih banyak pesanan."
Kemudian aku duduk di salah satu kursi. Sepertinya memang pak Maman sudah lupa akan diriku. Tetapi ya sudahlah.
"Tidak kuliah dik?" tanya pak Maman.
"Lagi libur pak," aku menjawab, meskipun dalam hati bingung, mengapa tiba-tiba menanyakan kuliah.
"Libur? Libur apa bulan September begini, baru saja selesai libur lebaran? Tanggal merah juga bukan,". Pak Maman masih berakal tajam seperti dulu. Jelas saja dagangannya tetap laku.
"Saya kuliah di luar negeri pak. Sekarang sedang libur." Beliau tak nampak kaget, mungkin ia sering mendengar kalimat serupa dari warga sekitar. Apalagi jika mengingat lokasi kedainya yang relatif dekat dengan salah satu kampus terpopuler di Bandung.
Pak Maman hanya sedikit tersenyum sebelum melanjutkan, "Wah kuliah ke luar negeri ya. Saya jadi ingat seorang anak kecil dulu, waktu belum banyak rumah dibangun di daerah sini."
"Anak ini, saya tak tahu diberi apa makannya, tapi dia sangat cerdas. Kami saja, saya dengan istri saya, hanya bisa termangu ketika ia membantah dongeng saya dengan jawaban yang cerdas. Saya pernah bilang ke dia kalau isi air kelapa itu keringat para nelayan, tetapi tanpa ragu dia bilang gini: "Bapak motong kelapa saja susah gitu, mana mungkin keringat bisa masuk!". Bayangkan, dia baru 5 tahun."
Perlahan, sebuah tampilan seorang anak kecil yang cerdas itu muncul begitu saja di kepalaku, seolah sebuah film baru diputar ulang di kepalaku. Memang, pak Maman sedang bercerita tentang masa kecilku. Aku bahkan ingat ketika aku menciprati kelapa pak Maman dengan air di tanganku untuk membuktikan ucapanku saat itu.
"Ketika dia menunggu pesanan, saya sering memberinya teka-teki, dan kau tahu, da benar-benar jenius. Meskipun tak selalu benar, ia selalu menjawab, tak seperti anak pada umumnya. Saya selalu mengatakan kepadanya, 'jika kamu sudah besar, kuliahlah di luar negeri dan buat negeri ini bangga akan dirimu!'. Dia tak pernah jawab, saya tak tahu apa dia paham atau tidak." pak Maman meneruskan ceritanya dengan nada yang makin samar seiring turunnya matahari ke ufuk barat.
"Tetapi, kau tahu dik, tanpa dia mungkin kamu tak bisa menikmati es kelapa muda itu saat ini." arah cerita yang berbelok dramatik telah membuatku berhenti menyeruput es kelapa dan kini mendengarkan dengan konsentrasi penuh.
"Sampai beberapa bulan setelah pertama kali saya kenal anak tersebut, saya masih mengalami ketergantungan pada rokok. Saya dulu bisa habis 3 bungkus rokok sehari, dan akibat kebiasaan saya itu, bisnis kelapa muda ini mulai saya acuhkan. Lama-lama istri saya mulai uring-uringan akan keadaan saya yang tak kunjung sadar itu, tetapi dasar saya waktu itu sedang kalap, saya bentak ia dan saya pergi ke dekat lapangan samping TK itu. Disana anak itu dan kawan-kawannya sedang bermain bola."
"Saya hanya merokok, duduk menyaksikan mereka yang sedang asik bermain bola. setelah selesai, mereka berlarian ke rumah masing-masing, tetapi anak ini, ia mendatangi saya. Lalu dia bilang begini:
'Paman, aku coba satu dong, rokoknya!'.
“Tentu saja saya panik atuh, dan akhirnya saya menjawab 'Jangan, rokok itu berbahaya. Ada nikotin, tar, dan zat berbahaya lainnya. Kamu sendiri tahu itu. Kenapa justru kamu mau merokok?'."
"'Kalau aku tak boleh merokok, kenapa Paman merokok?'", Pak Maman diam sebentar sebelum melanjutkan. "Saat itu saya hanya bisa marah dan kesal, mau apa anak ini lancang menyuruh-nyuruh saya. Tetapi anak ini tetap bertanya, 'Kenapa Paman tak jualan es kelapa lagi? Kasihan temanku, mau beli es kelapa, tapi Paman tak jualan.'
"Bagi saya, kalimat itu biasa saja diucapkan oleh orang dewasa, akan tetapi, mendengar diri saya dinasihati anak semuda itu, saya jadi merasa malu pada diri sendiri. Mengapa saya menyia-nyiakan waktu saya dengan hal yang tak berguna."
Perlahan aku mulai merasa dibenamkan ke dasar bumi oleh cerita tersebut. Dan tiap kata-kata selanjutnya yang dihaturkan oleh pak Maman, membuatku makin tertohok tasa malu, mengenai bagaimana anak itu juga secara tak langsung mengajak satpam setempat dan pedagang lain untuk memperbaiki hidup mereka.
"Saya pernah beberapa kali bertemu anak cerdas, tetapi anak itu, dia sempurna. Cerdas, inspirator kami, dan juga selalu penuh semangat. Sayang saya lupa namanya... "
Heh, aku menggumam dalam hati. Padahal seharusnya aku yang malu dengan diri sendiri. Diri yang telah tumbuh dari seorang anak kecil yang 'sempurna' telah menjadi mahasiswa baru yang mental dan moralnya bobrok. Yang bahkan tak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Dan lebih parah lagi, menyesali keputusan sendiri.
Dan bagai rekaman yang berputar, terulang kembali berbagai momen di kepalaku. Bagaimana tetanggaku selalu bersemangat menanyaiku perihal kuliah. Bagaimana nenekku pagi tadi tersenyum melihatku makan dengan lahap. Keluargaku, guru-guruku, teman-temanku, bagaimana ekspresi mereka ketika terakhir kali aku berjumpa mereka. Bagaimana janji dan semangat terukir bersama. Bagaimana dulu aku begitu bersemangat bercerita mengenai untaian impian dan lagak kebijakan.
Tak habis pikir rasanya, kemana jiwa yang mulia itu kini? Jiwa layaknya selembar kertas yang putih bersih, tanpa sobek, tanpa cacat, tanpa noda. Bukan jiwa yang rusak seperti sekarang.
Aku ingin bisa bermanfaat bagi orang di sekitar.
Aku ingin memberi senyum bangga kepada orangtua, dari sebuah pencapaian akan karya nyata.
Aku ingin memberi kontribusi pada dunia, yang mengukir sejarah dan tak lekang ditelan masa.
Bisakah dengan kondisiku sekarang? Bisakah, jika nanti aku berubah?
Kata orang, waktu akan menjawab segalanya. Tetapi buat apa aku hanya menunggu arus waktu?

(cerpen ini termasuk salah satu cerpen yang dipublikasikan dalam buku Semut Merah 75, yang diterbitkan pertama kali pada 8 Mei 2013. Buku ini disusun oleh grup Semut Merah 75 dari PPI Dunia, diterbitkan oleh Penerbit Galang Pustaka. Naskah di post ini adalah naskah asli—naskah di buku terkait bisa mengalami beberapa perubahan di bagian pengeditan Sila baca ini untuk sedikit tambahan info)
Lanjutkan baca »

Article#182 - Kutipan Hari Ini

"Perasaan itu seperti mutiara. Kebanyakan mereka tak pernah naik ke permukaan, hanya diam di dasar laut yang sunyi. Jika ia dipamer-pamerkan kemana-mana, kilaunya akan menghilang dan akhirnya hanya menjadi batu bundar yang hambar, tak bergeming. Jagalah ia dengan penjagaan yang optimal, maka ia akan menjadi mutiara yang kilaunya memukau, terpatri dalam sanubari."

~dikutip dari berbagai ketidakjeasan pemikiran, pada Sabtu, 27 Juli 2013, 06:07 (UT+9)

sumber
Lanjutkan baca »

Selasa, 23 Juli 2013

Article#181 - Kisah Koin Tembaga dan Koin Emas

sumber

Kisah ini sebenarnya kisah lama, di masa orang-orang belum mengenal uang kertas ataupun uang kartu sebagaimana yang kita kenal saat ini. Kisah sederhana dari dua objek sederhana, yang berbentuk sama tetapi secara isi sangat berbeda.

Sekeping logam pipih itu masih panas ketika diletakkan di atas meja, bersama teman-temannya yang sudah lebih dahulu mendingin menjadi koin tembaga yang mengkilap. Tergeletak disana, koin-koin tersebut akan segera dikemas untuk dikirimkan ke bank, dan kemudian disebarkan ke masyarakat sebagai alat bayar yang sah. Mungkin koin-koin itu sedang bersemangat, menatap masa depan mereka yang akan sangat aktif sebagai alat pembayaran, entahlah. Aku tak begitu kenal dengan kehidupan koin.

Tak lama, sang pandai besi kembali tiba, dan membawa sebuah karung besar seperti yang sebelumnya dipakai sang pandai besi untuk mengangkut koin-koin tembaga itu ke atas meja. Tetapi, ketika sang pandai besi mengeluarkan isi karung, keluarlah koin yang sedikit berbeda. Kali ini mereke berwarna keemasan, beberapa lebih besar, lebih tebal, lebih mengkilap. Warna mereka yang benderang seolah meredupkan kemilau koin-koin tembaga yang sudah lebih dulu menghuni meja kayu itu.

Sebelumnya aku sudah bilang, bahwa aku tak begitu tahu menahu akan warna rupa dunia koin, tetapi mungkin kalian rela membayangkan sejenak, diri kalian sebagai salah satu koin tembaga ini. Ia jadi terlihat gelap kusam dan kecil ketika disandingkan dengan koin emas, yang kilaunya sudah sering membutakan banyak orang dari zaman ke zaman. Rasa rendah diri yang muncul, dan makin tumbuh seiring dengan makin lamanya kau memperhatikan si koin emas. Aneh sekali, koin emas itu bisa terlihat makin benderang dari waktu ke waktu, sementara kau merasa dirimu, si koin tembaga, makin gelap dan tenggelam di balik kemilau para koin emas. Menyebalkan, mungkin ya. Bukankah tadi aku sudah jelas-jelas sebutkan, jika koin tembaga yang tergeletak itu tetap memiliki kemilaunya sendiri? Kenapa koin emas yang baru datang bisa meredupkannya sedemikian rupa?
Jangan tanya aku, aku tak tahu jawabnya. Sekali lagi, aku tak tahu menahu rupa warna dari kehidupan para koin.

Singkat tenggat terlewat, koin-koin itu telah sampai ke tangan beberapa penduduk kota. Koin tembaga yang tadi diperbincangkan, kawan, dia sekarang ada di saku seorang hartawan. Hartawan yang terkenal dengan kekayaannya yang berdiri megah di berbegai penjuru kota, bahkan hingga ke seluruh negeri. Tetapi, apalah gunanya koin tembaga bagi ia, ketika ia bisa mendapatkan koin emas sebanyak yang ia mau?
Rupanya koin tembaga tersebut, beseta koin-koin tembaga lainnya ia pakai untuk diberikan ke para pengemis, yang dalam beberapa tahun terakhir mulai ramai berdatangan mengunjungi rumahnya. Entah akan ia apakan koin emasnya, yang jelas ia menyimpan koin-koin emas tersebut di dalam tasnya, tersimpan rapi, jauh dari jangkauan siapapun kecuali dirinya sendiri.

Dan lagi-lagi, si koin tembaga dinomorduakan terhadap koin emas, yang diletakkan dengan nyaman dan aman di dekat bangku sang hartawan. Mereka ditaruh dalam kantung, dan tentu saja mereka harus berjejal-jejal, ditambah aroma entah apa yang menguar di sekitar mereka. Sumpek, pokoknya. Beda sekali perlakuannya dibanding terhadap koin-koin emas.
Mungkin beberapa dari kita, dalam posisi si koin tembaga yang serba tidak menyenangkan, mungkin akan berpikir, kenapa sebelumnya tak memoles diri supaya lebih bersinar, mampu mengimbangi koin-koin emas itu. Seolah begitu yakin, dengan melakukan itu dahulu maka semua akan menjadi lebih mudah.

Bapak hartawan ini, menggeser dirinya supaya lebih nyaman, dan tanpa ia sadari, salah satu koin di kantungnya terlempar keluar, jatuh di pinggir jalan berdebu. Tentu saja sang koin tak mampu berbuat apa-apa. Entah untuk meneriaki sang hartawan dan menyuruhnya mengambil dirinya kembali, atau bahkan hanya untuk sekadar berlari mengejar kendaraan sang hartawan yang terus melaju menjauh.
Yang bisa ia lakukan, jika ada, hanya pasrah dan berharap. Mungkin menyebalkan ya, berada di posisi seperti ini.

Tak berapa lama, hujan turun. Awalnya mungkin terasa sedikit menyenangkan, jika kau sudah gerah akan segala jenis debu, dan hujan datang membasuh dirimu. Tetapi seiring terus turunnya hujan, air terus membanjiri jalan ini, merendam koin yang masih tergeletak dalam diam. Untungnya koin tak punya indra perasa ataupun pernafasan, jika punya mungkin ia sudah tenggelam kedinginan. Atau mungkin dia sebenarnya punya—hanya saja sudut pandang kita terlalu sempit untuk menyadarinya?

Di tengah hujan itu, seorang tua terseok-seok mencari tempat berteduh. Pikirannya masih tertuju kepada rombongan perampok yang mencampakkan tubuh rentanya di jalan, dan merampas kereta kudanya, beserta segenap barang di dalamnya. Pak Tua terus berjalan pelan, membayangkan skenario dirinya meringkus kawanan perampok tak berperasaan itu, entah kapan. Pak Tua itu tak peduli basah kuyup tubuhnya. Yang ia cari adalah tempat berteduh, sayangnya ia belum menemukan satupun setelah satu jam hujan berlalu.
Pak Tua sampai di dekat jalan yang dilalui si hartawan pelit beberapa waktu sebelumnya, dan Pak Tua menyadari ada suatu kilau samar di jalan di hadapannya. Rupanya hujan belum cukup mengguyur si koin tembaga dan menguburnya di balik lumpur. Penuh rasa syukur, Pak Tua mengambil koin tersebut, memasukkannya ke kantung, dan kembali berjalan, dengan laju lebih cepat.

Tak lama, Pak Tua sudah sampai di sebuah pondok dekat pohon besar, yang menaungi pondok dari hujan deras yang mengguyur kota di siang itu. Ia tak lagi khawatir akan nasibnya, karena koin tembaga di kantongnya cukup untuk sepotong besar roti, yang baginya cukup untuk makan satu hari. Lagipula rumahnya sudah dekat, dan hujan mulai reda.
Ia memutuskan untuk kembali berjalan, menyusuri jalan pulang.
Cuaca cerah perlahan mengeringkan pakaiannya, dan tinggal sepuluh menit jalan menuju rumahnya ketika ia bertemu dengan si pedagang roti. Penuh sukacita, ia membeli sepotong besar roti, dan diserahkannya koin tembaga itu kepada si pedagang.

Sementara Pak Tua pulang membawa rotinya, kini si koin berada di tempat baru, bersama koin-koin lain yang disiapkan oleh Pak Pedagang untuk keperluan usahanya. Pak Tua tadi adalah pembeli pertamanya dalam hari itu, dan adanya pembeli kurang dari sejam setelah ia keluar (sebelumnya ia tak keluar menjajakan dagangan karena hujan) membuatnya begitu bersemangat. Apalagi beberapa hari terakhir, sudah beberapa kali ia pulang dengan dagangan yang nyaris utuh. Sejak dua pekan sebelumnya, sebuah toko roti terkenal membuka cabangnya di kota tersebut, dan Pak Pedagang perlahan kehilangan pelanggan setianya, yang lebih memilih toko roti tersebut. Sebenarnya roti dagangan Pak Pedagang tak kalah enak, bahkan roti-roti tersebut hanya dijual setengah harga toko. Sayangnya penduduk kota saat itu lebih percaya dengan pamor toko roti, termasuk mereka yang biasa jadi pelanggan setia Pak Pedagang.

Tetapi hari ini beda cerita. Berhubung ia sudah mendapat satu pembeli, Pak Pedagang menjadi lebih bersemangat menjajakan barang dagangannya. Teriakannya yang lebih lantang, dibantu dengan udara yang lebih bersih setelah turun hujan tadi, membuat pembeli perlahan mendatanginya. Sepuluh orang, dua puluh orang, tiga puluh orang.... Dan tak terasa, dagangannya habis terjual! Pak Pedagang kaget bukan kepalang. Sempat terbersit di pikirannya, jika ada orang yang diam-diam mengambil rotinya tanpa ia ketahui, namun ia tersadar, ia mengawasi gerobaknya sepanjang waktu. Dengan senyum mengembang, nyaris berlari, ia mendorong gerobaknya pulang, membawa berita gembira untuk istrinya di rumah. Ia harus membawa roti lebih banyak lagi esok hari.

Beberapa hari seterusnya, ia terus mendapati dagangannya laku keras, beberapa kali habis terjual. Taraf hidup keluarganya, yang sebelumnya mendekati kebangkrutan, kini kembali terangkat, dan ia dengan senangnya menjanjikan makan di restoran kepada istri dan anak semata wayangnya-sesuatu yang belum pernah mereka lakukan dalam sebulan terakhir.
Satu hari, dengan roti lebih banyak, ia kembali berkeliling kota, menjajakan dagangan dengan lantangnya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, penbeli satu-persatu mendatangi Pak Pedagang dan membeli roti. Pak Pedagang tetap bersemangat, namun kali ini ia sedikit heran. Ada apa gerangan dengan toko roti yang terkenal itu, sampai-sampai begitu banyak pembeli tiba-tiba membeli rotinya?
Ia sampai di depan rumah seorang saudagar, yang juga memesan rotinya. Dulu, 3 tahun lalu, Pak Pedagang bekerja kepada saudagar ini, yang saat itu baru memiliki sebuah kios kecil. Sebagai mantan karyawan, Pak Pedagang kaget ketika menyadari rumah besar yang ia temui di perjalanannya adalah milik mantan majikannya. Sekadar info, Pak Pedagang dulu mengundurkan diri karena ingin mengejar impiannya sebagai pemilik toko roti.

Rupanya Pak Saudagar juga masih mengenali Pak Pedagang sebagai salah satu mantan karyawannya. Mereka mengobrol hangat, dan bagai mendapat durian runtuh, Pak Saudagar memborong seluruh sisa roti dagangan Pak Pedagang. Belakangan Pak Pedagang tahu, bahwa sejak hujan besar dua pekan sebelumnya, toko roti itu mengalami kebocoran, dan tungku besar pengolah roti di toko itu rusak akibat terguyur hujan sekian lama. Beberapa karyawannya dilaporkan hilang dan tak diketahui rimbanya hingga saat ini.
Pak Pedagang kembali pulang dengan wajah berseri, sementara Pak Saudagar membawa setumpuk roti yang baru saja ia beli ke dalam rumah.

Sepertinya kita melupakan cerita si koin tembaga. Nah, rupanya koin tembaga tersebut berpindah tangan ke Pak Saudagar sebagai kembalian dari hasil belanjaannya. Kini si koin bersarang di lemari dekat meja kerja Pak Saudagar.
Sebelumnya, aku sempat bilang kalau Pak Saudagar dulu memiliki kios kecil. Dalam 3 tahun, kios ini berkembang menjadi sebuah toko serba ada, yang sudah menjadi tujuan utama warga kota setempat ketika mereka berbelanja. Perlahan, Pak Saudagar mulai membuka usaha lainnya, seperti restoran dan biro perjalanan, yang dibangunnya dalam satu induk perusahaan dengan Pak Saudagar sendiri sebagai pemimpin perusahaan.
Seperti beberapa cerita klasik pengusaha yang sedang melejit, pengusaha besar yang lebih dahulu berkuasa gerah dan mulai bertindak untuk menyingkirkan sang pesaing. Setidaknya begitu menurut Pak Saudagar, yang belakangan menemui beberapa kasus kecil seperti anak kecil yang tak sengaja memakan makanan kadaluarsa dari kiosnya, kebocoran di kiosnya, dan juga beberapa barang dagangan yang menghilang. Pak Saudagar merasa bahwa sang 'pengusaha besar' mulai bergerak untuk mematikan bisnisnya, dan ia mulai meningkatkan kewaspadaan dalam segala tindakan.
Rusaknya tungku pembuatan roti di toko roti, yang ia ketahui sebagai milik si 'pengusaha besar' ini, dinilainya mencurigakan, mengingat toko roti itu punya reputasi besar. Mana mungkin atapnya dibiarkan bocor, demikian pikir Pak Saudagar.

Hari menjelang malam, Pak Saudagar sedang menyusun rencana barunya mengembangkan usaha ke kota tetangga. Tanpa ia sadari, matahari mulai mendekati ufuk, dan ia bersiap pergi ke warung dekat rumahnya untuk membeli makan malam. Ia ambil beberapa keping koin, ketika ia menyadari ada serangga hinggap di dekat gelas berisi teh di meja, yang baru saja dihidangkan oleh pelayan barunya. Ketika ia berusaha mengusir serangga itu, tanpa sengaja koin tembaga kita tadi terjatuh dan tercelup ke dalam teh.
Hal berikutnya yang terjadi membuat ia merinding. Perlahan gelembung bermunculan dari koin, seperti tablet
effervescent yang tercelup ke air. Tak lama gas sewarna teh menguar dari gelas tehnya, dan saat itulah Pak Saudagar tersadar, ia baru saja lolos dari upaya peracunan. Berkat koin tembaga yang jatuh tercelup tadi.

Tak lama, ia kumpulkan barang bukti dan mendatangi sahabatnya, seorang hakim. Melalui serangkaian penyelidikan, ditemukan botol berisi cairan di rumah sang saudagar, dan dari sana diketahui.... bahwa botol itu milik sang pelayan. Pelayan itu diset ke pengadilan, dan ketika hakim menatap muka sang pelayan, tersadarlah ia, bahwa si pelayan adalah salah satu orang yang merampoknya tempo hari di tengah hujan. Ya, hakim tersebut adalah Pak Tua.
Penyelidikan lebih lanjut menyeret komplotan si pelayan, yang rupanya digerakkan oleh sang 'pengusaha besar' ini untuk menyingkirkan Pak Saudagar melalui berbagai cara. Botol berisi cairan itu rupanya dicampur dari cairan pembersih logam yang baru saja dibeli Pak Tua, atau si hakim, untuk membersihkan senjata di rumahnya.

Akhirnya, 'pengusaha besar' ini diringkus aparat kepolisian, dan ditahan atas dakwaan percobaan pembunuhan. Seluruh reputasinya rontok begitu saja, seluruh aset bisnisnya disita pemerintah setempat, dan ia begitu hancur, hingga tak punya lagi semangat hidup. Meskipun begitu, ia masih bertahan dalam siksaan batinnya sendiri, hingga ia wafat 5 bulan kemudian.

Siapa yang akan menyangka, jika koin tembaga yang terjatuh ke pinggir jalan siang hari itu, akan mengubah hidup sang hartawan?
Dan kalian tahu? Salah satu koin emas di awal cerita ditemukan tergenggam di tangannya, begitu erat, sebagai harta terakhir yang ia punya.


***

"Kau tahu, Ronal, tadinya begitu banyak koin tembaga yang menyesali nasibnya. Yang kalah besar, kalah berkilau, kalah indah, dari para koin emas. Jika bisa, mungkin mereka sudah memoles diri mereka sedemikian rupa, sehingga mereka tak kalah berkilau dari para koin emas, meski kalah besar. Coba bayangkan, jika semua koin tembaga sibuk melakukan hal itu, membiarkan ampas kotoran tersebar di sekitar mereka sementara mereka sibuk memoles diri supaya tampak indah, berkilau. Padahal, ketika mereka akhirnya menjadi apa yang mereka pikir indah dan berkilau, mereka mungkin tak dikenali lagi, dan yang didapat hanyalah sedemikian banyak kotoran. Kalau begitu, untuk apa memaksakan sesuatu yang kita pikir baik? Toh belum tentu itu betul-betul baik. Mereka saja sadar mereka tak bisa melakukannya, karenanya mereka pasrah atas nasibnya. Dan terbukti, cerita mereka justru lebih indah daripada cerita para koin emas yang terlihat sempurna.
Jangan lupa kata-kata di kitab suci, Ronal. 'Boleh jadi kau membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kau menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu.'"

Kakek selesai bercerita, dan ia menyuruhku segera tidur. Aku tertidur, tanpa benar-benar memahami, atau bahkan mengingat, cerita tadi. Sama seperti hari-hari sebelumnya.

Boleh jadi kau merasa sesuatu tak berpengaruh bagimu, padahal setelahnya tanpa sadar kau menunjukkan pengaruh dari sesuatu itu setiap waktu.

~dituturkan ulang dari sebuah cerita lama yang pernah penulis baca. Meskipun latar dan alur cerita mungkin berubah drastis. 
Lanjutkan baca »

Selasa, 16 Juli 2013

Article#180 - For My Life

Another ballad at the end of May
I can only sat here and stay
The rain washed the bad memories away
As I forge myself in dismay
Will there be, a regret
When time leaving us this fast?
Will there be, some to get
And will it worth a try?

Sing me the last song of the right
To uncover the stories night can't hide
Hear the symphony flowing high
As it came and blew up all despair
But we're here, on the rough string
Vibrate the tone, ignite
And the guitar strums, the light sears
While we beat the lone life, and got kicked out

For my life, I'll bring out
The best of the living heart
While I bring, the missed out
To get them somewhere we know
Remedy, of the past
You'll tell the story, I'll smile
I will keep on
The song will make it home

And when you feel the world never give its light,
Say to yourself and proclaim
To live what is right
And not to leave them behind
Always be ready to face the colours of this life

And soon after the rain, it's the bright blue skies
On which everyone has been waiting
So live with your might
Be cheerful of yourself
Never let that warm smile go

And just keep on,
For all the stories of the nice life
That are waiting you forth
Never give up,
The time will never wait
And don't you ever let it go

Let me compose the song of this life
As if you'll hear it from afar
Let's sing it out loud, for everything beyond
The written stories of the show

You may keep the song somewhere deep inside
To be sung when your new story begun
Seep out of the tempering wisdom

I found the moonlight, when I believe I got this right
Far beyond the sky, there's this one story they left for you to look

For my life, I'l bring out
The best of the living heart
While I bring, the missed out
To get them somewhere we know
Memory, left behind
Let's face the future ahead
I will keep on
When everything broken down


source

Day 6672, as the sun sears the rising light.
Retold from a windy moment of atop,
Sunday, 14th July, 2013, 04:41 (UT+9)
35°21'55.65"N, 138°43'58.62"E
Lanjutkan baca »

Minggu, 14 Juli 2013

Article#179 - Kutipan Hari Ini

"Jika seseorang dianggap 'payah', karya sehebat dan secerdas apapun yang ia buat, rerata orang akan terlebih dahulu memandangnya sebelah mata, karya 'seorang payah'.
Tetapi, ketika seseorang dianggap 'ahli', karya seburuk apapun yang ia buat seringkali akan tetap diapresiasi sebagai karya 'seorang ahli'."

~hasil keisengan berkepanjangan. Dikutip pada Ahad, 14 Juli 2013, 19.44 (UT+9)

sumber
Lanjutkan baca »

Jumat, 12 Juli 2013

Article#178 - Alfred Story ep.61 : Alfred dan Burung Kakatua

Alfred beberapa hari ini selalu datang ke kantor dengan muka kusut seolah baru saja masuk ke mesin cuci. Semula, tak ada yang memerhatikan Alfred secara seksama. Namun, sang bos menjadi orang pertama yang menyadari berubahnya kinerja Alfred, yang makin memburuk dari hari ke hari.
Sang bos pun memutuskan untuk bertanya. Suatu hari, beliau memanggil Alfred ke ruang kerjanya.
"Alfred, saya perhatikan kinerjamu akhir-akhir ini memburuk. Ada apa?", sang bos memulai pembicaraan.
"Begini bos. Saya selalu melalui jalan yang sama tiap kali berangkat ke kantor dan pulang. Di jalan itu terdapat sebuah toko hewan peliharaan dan ada seekor burung kakaktua yang bertengger di depan toko. Tiap kali saya melewati toko itu, burung kakaktua itu berteriak, "Hei pak tua! Kamu benar-benar jelek! Anda bisa bayangkan, pak bos, betapa marahnya saya tiap hari. Setiap pergi dan pulang kerja, cacian kakaktua itu terus berseru kepada saya. Saya jenuh pak." ujar Alfred, memelas.
Merasa kinerja perusahaannya akan berkurang jika suasana hati Alfred terus saja buruk, sang bos memutuskan untuk menemani Alfred, mendatangi 'pet shop' itu.
"Hei kalian pak tua! Kalian benar-benar jelek!", sambut sang kakatua.
Alfred kembali tersulut emosinya, dan sang bos mendatangi si pemilik toko.
"Bapak lihat kakaktua di depan itu? Jika besok ia masih menghina bawahan saya ini, akan saya goreng burung kakatua itu di hadapanmu.", hardik sang bos dengan keras.
Pemilik toko menenangkan sang bos dan berjanji akan membuang kata-kata jelek itu dari mulut kakaktua. Alfred sangat berterimakasih kepada bosnya.
Keesokan harinya ...
Alfred berangkat kerja dengan begitu bersemangat. Ia yakin tak akan ada lagi gangguan dari sang kakatua. Namun, ketika ia melewati 'pet shop' itu, burung kakaktua itu menyapa dengan manis, "Hei, pak tua!"
Terdiam sejenak.
Lalu burung itu memasang tampang mengejek, "Ah, kamu sudah tahu kalimat berikutnya!"

-disadur dari sumber anonim, tersebar di dunia maya
Lanjutkan baca »

Sabtu, 06 Juli 2013

Article#177 - Kutipan Hari Ini

"Sebuah keindahan akan tetap indah tanpa perlu pengakuan dari orang-orang. Tetapi untuk mengakui keindahan sesuatu, kau harus melihatnya sendiri."

~dikutip dan disarikan ulang dari gambar latar halaman blog, pada Sabtu, 6 Juli 2013, 05:05 (UT+9)

dari sini

Lanjutkan baca »

Jumat, 05 Juli 2013

Article#176 - Sajak Empat Corak

Hei semu hijau rerumputan musim semi,
Apakah kau nyaman, terus-menerus tersibak angin?
Ketika raksa mulai merangkak naik menemani matahari
Membuka kembali, yang sebelumnya beku sunyi
Kau bersemangat menatap hari
Dan siap untuk kembali menghidupi diri
Tetapi hei rerumputan musim semi,
Apakah janji yang dulu terukir masih terpatri?
Di saat mencekam sunyi yang tertusuk dingin
Di saat cerita tanpa arti menjadi isi bagi hati yang sepi
Akankah semua itu bertahan dan lestari?
Sampai nanti, ketika cerita kini menjadi memori?

Dan ku berpaling pada sinar kuning matahari musim panas,
Aku tetap diam walaupun terpapar panas yang demikian ganas,
Berdiri di lapang kosong, tanpa tepian yang jelas,
Aku menatap ke kejauhan, jauh seolah tanpa batas.
Biarlah, jika cerita panjang ini akhirnya terbalas,
Lebih lagi jika sang naskah berakhir terserak terhempas
Tetapi, lihatlah di kejauhan sana, digariskan secara tegas
Apakah kau yakin kau akan mampu membuat dirimu terlepas
Dari intaian kisah lama yang terus mengucur deras?
Ketika rerumputan tak lagi getas
Dan bunga yang lama mati tak lagi berbekas,
Akankah kau terus bersinar tanpa kenal batas?

Arus waktu menyibak rona merah dedaunan musim gugur
Saat dedaunan yang dulu merekah meriah dan tumbuh subur
Kini tinggal menunggu waktu untuk terjatuh terkubur
Atas namanya, yang menjunjung cerita kebaikan nan luhur
Dan mungkin juga atasmu, yang masih kubiarkan terulur
Karena aku masih ingin melangkah ke depan, tak kenal mundur
Maaf dunia, jika aku terus saja berlagak tenang dan lugu
Menerabas apapun yang tak kumau, tanpa pernah mau tahu
Bagaimana cara kau memahami kebijaksanaan, daun di musim gugur?
Yang sadar tiada akan kekal, jasadmu akan hancur
Begitu jelas, begitu sederhana, tetapi sulit terukur
Dan tentangnya aku belum pernah bisa jujur

Kuucapkan sampai jumpa kepada langit biru musim dingin
Yang cerahnya berhasil mengakali batin
Saat keping-keping putih berhembus, terbawa angin
Yang nampak serupa meski tak mirip satu sama lain
Menipuku yang masih saja berbaring disini
Menunggu sang langit untuk datangkan badai
Kuucapkan sampai jumpa, untuk salju musim dingin
Karena ku tak betah untuk menatap sunyi
Menatap kalian yang terus berjatuhan dari langit
Untuk kemudian terinjak dan terhimpit
Saatnya kututup naskah lama ini, naskah cerita satir
Seperti keping salju terakhir yang mengejar kawannya menuju bumi


Hari 6662, ketika hangat hujan membasuh dedaunan.
Sabtu, 6 Juli 2013, 00:12 (UT+9)
38°16'40.69"N, 140°51'05.98"E
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...