Selasa, 31 Juli 2012

Article#76 - Menuang Sedikit Isi Pikiran: Hidup

Betulan kok, cuma sedikit... Kalau ternyata banyak, berarti memang standar Anda yang beda. Sudahlah, daripada ribut memperbincangkan hal sepele macam itu, langsung saja kita sambut artikelnya...

Kalau boleh jujur, ini termasuk aktivitas paling sporadis yang pernah saya lakukan di balik layar halaman blog. (Tenang, bukan di dalam monitor). Sampai tanggal 27 Juli lalu, saya sudah merancang sebuah tulisan yang tadinya akan dipasang di blog dengan label Artikel nomor 75. Namun ketika saya memutuskan untuk membaca ulang draft artikel terkait, makin dalam saya membaca, makin bingunglah saya. Terlalu serius. Dan jujur saja, acak-acakan. Alhasil, saya memutuskan untuk merombaknya secara keseluruhan dan menampilkan artikel baru segar yang baru saja dikukus dalam oven di rumah tetangga saya. Dan dengan bau kertas hangus menyengat, saya memutuskan untuk melupakannya dan segera menulis mengetikkan artikel ini.
Catatan: Bahkan artikel yang tertulis di bawah ini telah mengalami berbagai penulisan ulang akibat tidak fokusnya sang pengetik. Berhubung sudah jadi, sekarang sudah sedikit lega..

Hidup.
Sebuah kata sederhana dari 5 huruf, yang seperti banyak kata 5 huruf lainnya, familiar di telinga warga Indonesia. Meskipun bukan termasuk kata yang sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari, sehubungan dengan maknanya yang vital dan mencakup tiap embusan nafas Anda di dunia ini, makna kata hidup ini kini cenderung dimaknai secara filosofis.

Tetapi apa sebenarnya hidup itu?


Ada yang bilang, hidup itu layaknya selembar kertas. Seperti dendang band Padi dalam lagunya, 'Harmoni', Kita terlahir bagai selembar kertas putih. Terlahir dari pulp berupa selembar putih bersih tanpa noda, yang siap untuk memberi kontribusi pada dunianya berkiprah kelak. Seiring waktu, debu perlahan menghinggapi ruang di antara serat selulosa kertas, yang walaupun mengotori juga menjaga sang kertas dari penumpukan debu lebih lanjut. Semua itu menjaga kemurnian kertas, hingga datang berbagai alat meninggalkan berbagai pengaruhnya di kertas tersebut. Ada yang menggunakan pensil, ada yang menggunakan pena, dan ada yang menggunakan spidol. Ada yang melubangi kertas tersebut, ada yang menempelinya dengan aksesoris.

Tiap pengaruh di lembaran kertas itu kebanyakan akan tertinggal dan menjadi citraan baru akan wujud sang kertas itu sendiri. Pada saat tertentu, kertas itu akan menjadi lecek dan terlipat oleh pengaruh keadaan dan benda sekitar. Sayangnya, meskipun guratan pena dan pensil dapat dihilangkan atau ditutupi dari selembar kertas, ketike ia lecek atau terlipat, bekasnya akan selalu ada, tak peduli seberapa besar usaha kita untuk meratakannnya. Bahkan jika kita salah memperlakukannya dan mencoba membersihkannya dengan air, kertas itu justru akan melemah dan hancur.

Sebagaimana kertas, hidup seorang manusia berhiaskan berbagai guratan pengaruh dari lingkungan sekitarnya, yang membentuk perangai dasarnya sejak kecil. Ia rentan dan rapuh akan pengaruh lingkungan, sehingga sudah menjadi tanggung jawab yang dititipi hidup untuk menjaganya dengan baik.

Ada yang bilang, hidup itu perjalanan. Baik perjalanan menuju suatu tempat yang baru ataupun perjalanan untuk kembali pulang. Baik perjalanan mengaruhi lautan layaknya sebuah bahtera, atau melayang di ketinggian layaknya pesawat udara.

Sebagai bahtera, hidup seseorang berlayar menuju tempat impian yang belum diketahuinya, seraya mengira-ngira berdasarkan naluri alamiahnya akan jalan tercepat dan terefektif mencapainya. Bahtera yang telah disiapkan dan harus siap menghadapi ganasnya ombak yang menghadang, dengan hanya mengandalkan pemandu berupa bintang di langit dan peta untuk menentukan arah dan tujuan (Oke, sekarang pakainya GPS. Tapi disini baterainya habis..). Padahal bahkan petanya belum tentu peta yang tepat.

Disanalah awak kapal kehidupan mempelajari pentingnya membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak, dan bagaimana mereka bisa mengambil keuntungan dari perjalanan berupa ikan segar yang akan membantu mereka menyiapkan energi dalam menghadapi keganasan lautan di depannya menuju tujuan.
Sebagai pesawat, persiapan dalam mengarungi langit yang penuh dengan ketakterdugaan dan ketakpastian haruslah dilakukan sebaik mungkin. Dan sang pilot harus bisa mengendalikan pesawat sebaik mungkin supaya pesawat dan banyak nyawa di dalamnya terjamin keselamataannya menuju tempat pendaratan.

Terlepas dari semua itu, tidaklah penting coretan apa yang terukir dalam kertas kehidupanmu, dan gelombang sebesar apa yang telah membawamu terombang-ambing di tengah lautan dunia luar. Seperti pernah saya pasang dahulu kala di artikel 3, yang akan saya kembali tuliskan di bawah:
"Hidup bukanlah mengenai apa yang kau alami. Hidup adalah tentang bagaimana kau menyikapi apa yang kau alami."
Karenanya, untuk apa menyikapi dengan berbagai keluhan dan amarah jika ada cara yang lebih baik untuk menyelesaikan permasalahan hidup. Mari berkarya dan berubah demi pribadi yang lebih baik! (:g)
Lanjutkan baca »

Article#75 - 6000 pengunjung....

Dengan hadirnya bulan Juli, yang juga diiringi datangnya tahun ajaran baru, satu persatu pembaca setia blog aneh ini meninggalkan kursinya di depan komputer dan mulai beranjak menuju hidup dan cerita baru di tahun ajaran baru. Entah kelas baru setelah kenaikan kelas, sekolah baru setelah pindah sekolah, atau pola kehidupan baru seiring dengan berjalannya arus kehidupan, hampir semuanya mengarah kepada tanda berkurangnya pengunjung blog aneh saya ini. Sebenarnya, dengan semua kejadian di bulan ini pun saya sudah ragu jika jumlah 6000 pengunjung akan dicapai dalam bulan ini juga, mengingat makin sedikitnya pengunjung yang tetap aktif menemani kiprah blog aneh ini. Tetapi rupanya masih ada segelintir orang aneh yang mau-maunya mengunjungi blog aneh ini. Alhasil, pada 29 Juli 2012 lalu, pukul 01.40 WIB, sekitar 32,5  hari setelah artikel sejenis sebelumnya terbit pada 26 Juni lalu, kursi statistik resmi mencatat angka 6000 pengunjung. Kini saya sudah sedikit terbiasa, sehingga bahkan hal semacam ini tak bisa membuat saya heran lagi.
Oke, cepat saja, sebuah artikel yang agak 'berisi' akan menyusul (sebisa mungkin) malam ini. Daah!
Lanjutkan baca »

Senin, 16 Juli 2012

Article#74 - Kutipan Hari Ini

"Orang yang berbuat baik, meskipun rejeki belum tiba, bencana telah menjauhinya. Orang yang berbuat jahat, meskipun bencana belum tiba, rejeki telah menjauhinya."
 ~dikutip dari buku catatan penulis pada Senin, 16 Juli 2012, 08:43 (UT+7)


Lanjutkan baca »

Senin, 09 Juli 2012

Article#73 - Pemberhentian yang Juga Sebuah Permulaan

Di tengah pemutaran film Kung Fu Hustle yang untuk keempat kalinya saya tonton (kalau nggak salah) di malam 7 Juli, saya memutuskan untuk mulai mengetikkan kata-kata aneh yang terukir di bawah ini. Terinspirasi dari berbagai kejadian yang ada selama 2 hari terakhir (antara 6-7 Juli), ditambah film yang menyuguhkan berbagai kegilaan dicampur dengan aksi kung fu yang tak masuk nalar, saya memutuskan untuk merefleksikan apa yang saya amati dan renungi disini. Eits, jangan langsung berpikir isi artikel kali ini hanya galau, dan mengira saya sedang 'memancing di air lanau'. Santai saja, saya hanya mengajak kalian merenungkan, renungkan apa yang ada sekarang untuk dijadikan pijakan masa depan.

Oke, sebagaimana umum diketahui oleh banyak orang di seluruh Indonesia, 6 Juli kemarin diumumkan hasil senam tulis. (Oke, sebenarnya sebutannya yang benar SNMPTN, tapi super ribet kan. Makanya saya lebih suka menyebutnya senam. Serius deh, kenapa sih si pemerintah nggak bisa bikin istilah yang mudah diucapkan saja?). Syukurlah banyak rekan seperjuangan saya di SMA (oke, MAN) yang mendapat berita bahagia berupa bangku kuliah dari pengumuman tersebut. Buat yang belum dapet berita bahagia tersebut, tetap semangat, akan ada waktunya bagi kalian untuk mendapatkannya..
Kemudian, ada lagi berbagai berita mengenai beberapa anak-anak tukang belajar yang terpilih sebagai delegasi nasional untuk mengikuti olimpiade sains internasional. Dimana-mana di situs jejaring sosial, berseliweran kabar mengenai terpilihnya si dia, si itu, si ia dan lainnya, berupa ucapan selamat, doa, dan lainnya. Ada juga yang berhasil memastikan posisinya dalam kompetisi. Ada yang mendapatkan beasiswa luar negeri, ada yang berhasil berpetualang, dan lain-lain.

Ada berbagai macam keberhasilan yang saya tangkap dan jaring untuk disimpan di memori kepala saya, tetapi yang pertama terlintas di benak adalah: kenapa ya keberhasilan selalu identik dengan mendapatkan sesuatu? Hah, terbalik, saya pikir kemudian. Tentu saja akan begitu, karena kata 'berhasil' memiliki kata dasar 'hasil', yang saya rasa cukup menjelaskan korelasinya. Kemudian, jika seseorang tidak mendapatkan sesuatu, atau tidak 'berhasil', apakah ia pantas disebut 'gagal'? Nyatanya, tidak. Meskipun warga Indonesia bersama-sama paham bahwa kata 'berhasil' memiliki antonim berupa kata 'gagal', dalam pemaknaan linguisitik sehari-hari, orang yang tidak berhasil tidak selalu bisa dibilang gagal. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, saya dapati kebanyakan masalah normatif. Tetapi rupanya ini juga masalah perspektif:
Keberhasilan itu relatif.

Meski mungkin citraan orang mengenai sebuah 'keberhasilan' cenderung sama (yang bisa saja banyak dipengaruhi faktor normatif pula), standar keberhasilan menurut orang seringkali berbeda. Tinjau saja standar keberhasilan tiap siswa untuk kuliahnya: sebagian menganggap diterima di jurusan kedokteran itu berhasil, sebagian tidak. Sebagian menganggap diterima di jurusan teknik itu berhasil, sebagian tidak. Sebagian menganggap diterima di jurusan ekonomi itu berhasil, sebagian tidak. Sebagian menganggap diterima di universitas top regional itu berhasil, sebagian tidak. Sebagian menganggap diterima di universitas top nasional itu berhasil, sebagian tidak. Sebagian menganggap diterima di universitas top internasional itu berhasil, sebagian tidak. Dan seterusnya. Ingat, ini baru sekadar menentukan pilihan kuliah. Di luar itu, tentunya, jauh lebih banyak lagi perbedaan standar ini. Ada yang menjadikan bekerja di perusahaan luar negeri sebagai patokan keberhasilan. Ada yang menjadikan berkeluarga dan hidup mapan sebagai patokan keberhasilan. Ada yang menjadikan jabatan sebagai patokan keberhasilan. Bahkan ada yang menjadikan mengubah dunia sebagai sebuah keberhasilan. Perbedaan mereka hanya di penentuan tujuan: yang satu menempatkan tujuannya setinggi mungkin, dan yang lain mungkin telah dikalahkan oleh ketakutannya sendiri akan 'kegagalan' dan kemudian ia 'merendahkan' tingkatan tujuan hidupnya ke taraf yang ia pikir 'realistis'. (Mengenai bagaimana impian seseorang dikalahkan rasa takutnya, lihat di sini).

Sekarang kembali ke masalah sebelumnya, jika mendapatkan sesuatu diidentikkan dengan berhasil, dapatkah 'tidak mendapatkan' disamakan dengan 'gagal'? Terlepas dari sebagian besar yang tidak mau menyebut ketidakberhasilannya mendapatkan sesuatu sebagai sebuah 'kegagalan', ternyata, ketika seseorang tidak berhasil mendapat sesuatu, ada 'pengganti' yang kita dapatkan. Oke, mungkin bukan selalu.. Oke juga, mungkin 'digantinya' tidak langsung. Tetapi, itu ada. Memang ada kalanya kau akan kecewa ketika apa yang kau dapatkan tak selalu sesuai dengan yang kau inginkan, tetapi yang terbaik tidaklah selalu sesuai dengan apa yang kau inginkan. Mungkin sedikit cerita pengalaman saya bakal membantu. (tapi jangan tendang saya ke bulan kalau tidak...)

Sampai beberapa bulan yang lalu, saya masih tercatat sebagai peserta pelatihan nasional untuk seleksi mendapatkan delegasi 5 bocah pesakitan menuju olimpiade internasional. Saya berpartisipasi di bidang astronomi. Dan sampai saat itu pula, saya berharap untuk dapat lolos dan bergabung dalam delegasi timnas menuju ke Brazil. Tetapi, saat itu tetaplah saat itu. Saya selalu berusaha mengikis pikiran saya yang muncul, yang saya anggap sebagai gangguan: Kalau ternyata nggak lulus gimana gi? Saya katakan pada diri sendiri, optimis, pasti bisa. Pasti bisa. Lulus. Seratus. (Jadi ingat kata pengobar semangat dari kepala sekolah saya di masa UN.)

Tetap saja, menjelang akhir dari pelatihan, setelah sekerumunan tes akhir yang memuakkan kepala, pikiran itu makin sering bercokol di kepala saya. Tetapi pertanyaannya, meskipun topiknya serupa, namun kehadirannya di kepala makin meningkat seiring waktu. Saat itu saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika saya tidak terpilih menjadi salah satu anggota delegasi tersebut. Saya coba berpikir jernih, dan ternyata hanya butuh satu pertanyaan sederhana untuk mengusir rasa galau itu perlahan-lahan: Kalau lolos, lalu ikut, lalu selesai, lalu apa? Pertanyaan sederhana memang, tetapi dengannya saya tersentak tanpa sadar. Saya terlalu ambisius. Terlalu fokus akan satu tujuan, yang jangka pendek. Saya nyaris lupa akan rencana jangka panjang saya, termasuk kuliah. Seolah saya hanya perlu hidup untuk mengincar kursi di ruang tes IOAA. Sejak itulah, saya tersadar, dan memutuskan untuk melupakan masalah olimpiade ini. Paling tidak, hingga surat pengumuman diedarkan.

Dan akhirnya saya tidak terpilih sebagai salah satu delegasi tersebut, memang. Tetapi ketika saya tahu informasi tersebut, waktu dan benak saya telah sukses bekerjasama, sehingga ketakutan yang sempat saya rasakan tak muncul lagi, dan hanya menjadi sekadar bumbu di tengah perjalanan hidup. Saya berhasil untuk tidak menyesal, karena meskipun saya tidak jadi mengikuti IOAA, waktu yang tadinya akan terpakai utnuk pelatihan persiapan olimpiade tersebut akhirnya bisa menjadi lebih bermakna. Menilik hal tersebut, sesuai tulisan ketikan saya di paragraf sebelumnya, saya tidak gagal. Ada sesuatu yang didapatkan sebagai gantinnya, dan sesuatu itu lebih berharga.

Dan waktu yang berharga itulah yang saya susun sedikit demi sedikit untuk merancang masa depan, termasuk di halaman-halaman tak jelas di blog ini. Mungkin ada sesuatu yang saya hentikan, tetapi ada lebih banyak yang saya mulai. Dan yakinlah, ketika kau bisa memulai sesuatu setelah bangkit dari kegagalan, kau akan tumbuh lebih bijak dan lebih baik menghadapi kerasnya gilasan roda kehidupan. Lagipula, seperti pernah dituturkan bung Tere Liye, kebahagiaan hidup itu tak pernah tertukar. Jangan takut untuk gagal sekarang, karena gagal sekarang bisa saja membawamu ke berhasil yang nanti.

Kegagalan mungkin tampak sebagai sebuah pemberhentian, namun ia sebenarnya juga sebuah permulaan.
Begitu pula keberhasilan.
Lihatlah bagaimana kedua hal yang amat berlawanan ini bisa memiliki kesamaan yang begitu kuat. Jadi, pembaca, beranikah kalian untuk gagal? Dan beranikah kalian untuk bangkit setelah gagal? Kalianlah yang bisa menjawabnya. (:g)
Lanjutkan baca »

Sabtu, 07 Juli 2012

Article#72 - Detik Kabisat, Kecil-kecil tapi Bukan Cabai Rawit

(sebelumnya saya ucapkan terimakasih untuk saudara Mohamad Rifai serta saudari Arum Adiningtyas dan Nisa Karima yang mendukung saya untuk mengetik seluruh artikel ini, meskipun sudah sedikit terlambat)

Waktu. Sebuah instrumen penting dalam kehidupan yang menuntunnya berjalan mengikuti goresan pena takdir. Sesuatu yang begitu berpengaruh dalam sejarah meskipun manusia tak pernah merasakannya hadir. Sesuatu yang membuat lagu-lagu nasyid Maher Zain dapat muncul menggantikan lagu Magadir. Sesuatu yang... yah, kepanjangan kalau semuanya disebut disini. Buang-buang waktu namanya. Padahal tadi dibilang waktu itu penting kan? Jadi, supaya waktu yang penting itu termanfaatkan dengan baik, mari kita berhenti buang sampah sembarangan basa-basi dan segera mulai. (Walaupun ditambahkannya kata-kata barusan juga buang-buang waktu. Ah, waktu yang malang—yang orang Malang jangan ge-er)

Bicara soal waktu, karena begitu pentingnya waktu, manusia seringkali bergantung padanya dalam hampir segala urusan. Karenanya jelas saja, jika ada salah satu bagian sistem waktu kita ini yang diubah, pasti akan banyak yang kelabakan. Sebagaimana yang terjadi pada 30 Juni 2012 kemarin, saat sebuah detik ditambahkan oleh IERS (International Earth Rotation and Reference System Services) pada tanggal itu sehingga sehari pada 30 Juni 2012 tidak lagi berjumlah 86.400 detik seperti hari–hari sebelumnya, melainkan menjadi 86.401 detik. Konsekuensinya pada setelah pukul 23:59:59 UTC tidak kemudian berubah jadi pukul 00:00:00 UTC, melainkan berlanjut ke pukul 23:59:60. (Situasi tersebut hanya berlangsung untuk tanggal 30 Juni 2012 saja, sementara pada tanggal berikutnya, yakni 1 Juli 2012 dan seterusnya, tidak berlaku). Inilah yang disebut detik kabisat, dan meskipun hanya sedetik, karena sedemikian pentingnya ketepatan waktu di zaman modern ini, perubahan sekecil itu menyebabkan kepanikan sementara di dunia maya akibat beberapa pengelola situs yang tidak siap menghadapinya, seperti Reddit, Mozilla, Linux, bahkan hingga Amazon dan Qantas.

Yang menjadi masalah, mengapa sih harus ada detik kabisat ini?


Sejarahnya cukup sederhana, tetapi akan saya jelaskan dari dasar, supaya tidak bingung. (atau justru gara-gara penjelasan diatas jadi tambah bingung..? Sudahlah, baca saja.) Sejak dulu, manusia memutuskan sudah selayaknya waktu mendapatkan perlakuan istimewa (menurut manusia) karena pentingnya mengatur waktu dalam kehidupan manusia (Bahkan hingga saat ini). Dalam rangka memanjakan waktu dengan perlakuan istimewa yang layak ia dapatkan (masih pemikiran manusia), dibuatlah berbagai sistem waktu dan kalender, yang jika dijelaskan semuanya disini, akan banyak buang-buang waktu.
Buang-buang waktu... secara (sedikit) harfiah.
Oleh karenanya, sekarang harus mulai fokus.
Sebagaimana satuan-satuan fisis lain, waktu tidak dapat didefinisikan dan ditentukan rentangnya secara tepat. Berapa banyak sih orang yang dapat menentukan panjang satu detik dengan tepat, atau paling tidak dengan ketelitian tinggi? Bahkan jam sendiri sulit melakukannya, apalagi manusia. Mungkin sedikit ironis, mengingat manusialah yang mendefinisikan satu 'detik'. Hei, kasihan kalau manusia dihina terus. Kasihanilah sedikit. Tapi, jika ditilik lebih dalam, mungkin cukup wajar jika manusia sendiripun kebingungan menentukan durasi satu detik. Definisi resmi pertama manusia akan panjang satu detik adalah "1/86.400 panjang hari matahari rata-rata". Tetapi, tentu saja, bagaimana cara menentukan panjang hari itu sendiri tanpa alat? Dan, yang lebih gila, bagaimana caranya membagi panjang hari tersebut menjadi 86.400 bagian sama besar? Bahkan para peraih hadiah Nobel belum tentu bisa membagi sesuatu menjadi 86.400 bagian sama besar.

Oke, pertanyaan bagus. Mengapa dipilih angka 86.400? Angka ini diperoleh dari sistem waktu manusia, yang membagi satuan hari menjadi 24 jam, dengan satu jamnya berisi 60 menit, dan satu menitnya berisi 60 detik. Maka satu hari menurut sistem tersebut terdiri dari 86.400 detik. Darimana angka-angka itu berasal? Angka-angka itu adalah warisan sejarah, diturunkan dari kebudayaan Mesir Kuno, Babilonia, India Kuno, dan belakangan Islam. Mengapa angka-angka itu yang dipilih? Tidak ada jawaban pasti, namun para ilmuwan cukup yakin hal tersebut ada hubungannya dengan fakta bahwa baik 24 atau 60 dapat dibagi dengan banyak bilangan, seperti 1, 2, 3, 4 atau 6.
Seolah belum cukup derita orang zaman dulu yang ingin janjian minum teh, masalah tersebut juga diperparah oleh kenyataan bahwa satu hari matahari itu tidaklah tetap.
Besar penyimpangan panjang hari matahari, dibandingkan dengan 86400 detik dari jam atom, ditandai dengan grafik abu-abu.
Mengapa bisa satu hari matahari panjangnya tidak tetap? Ada banyak faktor, diantaranya:
  1. Tidak tetapnya kecepatan bumi mengorbit matahari. Karena orbit bumi sedikit lonjong, ada saat-saat dimana bumi mengorbit dengan kecepatan lebih besar daripada di saat-saat lain. Akibatnya, 'gerak semu harian' matahari akan terlihat berbeda (meskipun sangat kecil, kisaran seperseratus detik).
  2. Tidak tetapnya posisi kutub. Siapa bilang kutub geografis bumi tetap pada tempatnya? Gambar berikut menggambarkan perpindahan posisi kutub bumi antara tahun 2005-2012. 50 mas (mas = miliarcsecond = mili detik busur, sebuah besaran sudut koordinat dengan 3.600.000 mili detik busur = 1 derajat) di gambar tersebut mewakili sekitar 1,5 meter. 
    Arah sumbu X menuju Greenwich, dan arah sumbu Y menuju bujur 90 derajat. Posisi kutub disini ditentukan relatif terhadap posisi kutub rata-rata tahun 1900.
  3. Ketidaktepatan pengukuran oleh manusia sendiri. Faktor ini termasuk yang paling besar pengaruhnya, tetapi juga paling sulit ditentukan besarnya. Penyebabnya beragam, bisa karena kurang telitinya alat, standar yang tidak pas, dan lainnya.
  4. Berubahnya periode rotasi bumi. Betul, periode rotasi bumi berubah seiring waktu. Kadang berubahnya periode rotasi ini ada hubungannya dengan poin 2, tetapi seringkali karena proses geologis Bumi serta interaksinya dengan Bulan. Adanya gesekan dengan pergolakan samudra dan atmosfer, ditambah gaya pasang surut oleh Bulan memperlambat rotasi Bumi sebesar 14 mikrodetik per tahun (yang artinya rotasi bumi bertambah panjang 1 detik setiap 50 ribu tahun). Kadangkala ada percepatan rotasi, seringnya karena gempa bumi (gempa bumi Aceh di penghujung tahun 2004 lalu mempercepat rotasi bumi 2,68 mikrodetik), tetapi karena jarang, rotasi Bumi cenderung melambat.
Karena faktor-faktor tersebut, orang memutuskan standar tersbut sudah selayaknya diganti. Dibuatlah definisi baru, satu detik adalah periode bergetarnya atom cesium-133 akibat transisi energi elektron sebanyak 9.192.631.770 kali. (Banyak? Memang.) Dengan definisi ini, maka dibuatlah jam atom yang dianggap cukup akurat, dengan ketelitian terbaik dalam menghitung periode getaran hingga 1 detik dalam 30 juta tahun. (Meskipun saya sendiri ragu jam itu akan bertahan hingga 30 juta tahun). Dengan jam atom ini sebagai acuan, dibentuklah UTC (Universal Time Coordinated) sejak tahun 1961.

Meski UTC terbentuk, namun waktu universal sebelumnya yakni UT1 atau dulu dikenal sebagai GMT (Greenwich Mean Time) disepakati untuk tetap dipertahankan sampai kurun waktu yang belum dibatasi. Konsekuensinya sejak 1961 kinerja jam atom selalu disinkronisasikan dengan rotasi Bumi. Karena kemudian diketahui bahwa 1 hari matahari rata-rata lebih lama 0,002 detik daripada 86.400 detik dari jam atom, dalam sepuluh tahun, kinerja jam atom telah diperlambat 10 detik. Ini dianggap menyulitkan dan dipandang akan lebih mudah jika yang dilakukan adalah sebaliknya, yakni menambahkan satu detik pada saat–saat tertentu untuk UT1. Dari sinilah muncul istilah detik kabisat, ketika waktu UT1 ditambahkan satu detik untuk  menjaga supaya selisih antara UTC dan UT1 selalu kurang dari 0,9 detik.
Grafik selisih UT1 dengn UTC dalam detik, antara tahun 1985-2013. Garis verikal menyatakan detik kabisat. Disadur dari  http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/fb/Leapsecond.ut1-utc.svg

Tentu saja, adanya penambahan detik kabisat ini menimbulkan beragam masalah di setiap pengaplikasiannya. Dan parahnya, hingga saat ini belum ada pola yang teratur untuk pemberlakuan detik kabisat. Tahun kabisat masih lebih bisa diadaptasi, karena ada pola yang teratur, 4 tahun sekali dengan pengecualian tahun abad yang tidak habis dibagi 400. Tetapi, nyaris bisa dikatakan tidak ada keteraturan untuk penempatan detik kabisat. Lihat saja, sebelum 2012, penambahan detik kabisat berlangsung pada:
  • 31 Desember 1971,
  • 30 Juni dan 31 Desember 1972, 
  • 31 Desember untuk tahun 1973–1979, 
  • 30 Juni untuk tahun 1981–1983 dan 1985, 
  • 31 Desember untuk tahun 1987 dan 1989–1990 , 
  • 30 Juni untuk tahun 1992–1994, 
  • 31 Desember 1995, 
  • 30 Juni 1997, 
  • 31 Desember 1998, 
  • 31 Desember 2005, 
  • serta 31 Desember 2008.
(daftar didapat dari sini)
Nyaris tidak ada pola yang tetap kan? Itulah yang membuatnya menyulitkan untuk dipakai dan diadaptasikan. Dan kemudian muncul usulan untuk menghapus konsep detik kabisat, yang bergaung sejak 2005. Per Januari 2012 keputusan soal jadi tidaknya penghapusan detik kabisat ditangguhkan oleh ITU (International Telecomunation Union), badan PBB yang mengurusi masalah telekomunikasi global. Saat itu posisi dunia terhadap penghapusan detik kabisat terbagi ke dalam tiga kubu. Kubu yang mendukung penghapusan tersebut terdiri dari AS, Perancis, Italia, Jepang dan Meksiko. Sementara kubu penolak terdiri dari Cina, Kanada, Jerman dan Inggris Raya. Kubu ketiga adalah kubu netral namun menghendaki penelitian lebih lanjut, yang dimotori Rusia dengan dukungan Nigeria dan Turki. Status detik kabisat rencananya akan dibahas kembali dalam World Radio Conference tahun 2015.

Penutup: Jadi, inilah para pembaca sekalian, sekelumit (tapi banyak) penjelasan mengenai detik kabisat. Mungkin memang telat seminggu, tapi peduli amat lah. (:g)

Sumber:
http://www.kafeastronomi.com/kala-detik-kabisat-mengguncang-jagat.html
http://www.timeanddate.com/time/leap-seconds-background.html
http://adsabs.harvard.edu/abs/1995RSPTA.351..165S
http://www.nist.gov/pml/div688/leapseconds.cfm
Lanjutkan baca »

Selasa, 03 Juli 2012

Article#71 - Cerita Seorang Pengangguran Dapat Kerja

Bingung dengan pekerjaan, Sucipto memutuskan untuk bekerja di sebuah villa sebagai pelayan dari pemilik villa bernama Pranoto. Suatu hari, ketika Pranoto sedang berlibur di Goa Selarong, dia menerima telepon dari Sucipto. Berikut percakapan mereka di telepon.
Sucipto: Halo Tuan Pranoto? Ini Sucipto.
Pranoto: Oh, Sucipto. Ada masalah?
Sucipto: [gelisah] Hmm...begini...burung kakatua tuan mati pagi tadi.
Pranoto: Kakatua yang sudah menang penghargaan internasional itu??? Yang itu????
Sucipto: Ya, betul tuan. Yang itu.
Pranoto: Ah, padahal saya sudah keluarin banyak uang untuk melatihnya. Matinya kenapa?
Sucipto: Dia makan daging busuk, tuan.
Pranoto: Lah, kamunya sih bodoh, kakatua kok dikasih daging busuk.
Sucipto: Bukan tuan, dia makan daging bangkai kuda.
Pranoto: Bangkai kuda?!!? Kuda siapa?
Sucipto: [makin gelisah] Mm...kuda tuan.
Pranoto: Maksudmu si Ketipak-ketipuk yang sudah menang kejuaraan pacuan kuda internasional itu???!
Sucipto: Betul, tuan. Yang itu.
Pranoto: AAHH!!! Kamu ini bagaimana sih, tuh kuda kok bisa sampai mati. Dia gak diberi makan ya?!
Sucipto: Bukan tuan, dia mati kelelahan habis menarik gerobak buat bawa tong isi air.
Pranoto: Tong air? Harusnya kamu yang tarik dong. Memang itu tong buat apa?
Sucipto: [tambah gelisah] Mm...begini tuan..buat memadamkan api..yang membakar...villa tuan.
Pranoto: [makin panik] TERBAKAR?!?!??! VILLA MEWAHKU ITU HANGUUUSS?!?!? Bagaimana bisa??!?!
Sucipto: Ada lilin jatuh ke karpet, waktu saya tahu, apinya sudah besar sekali, Pak. Akhirnya villa tuan terbakar habis.
Pranoto: Kamu ini...[menahan marah].. Ngapain sih kamu pakai lilin. Di villa itu kan banyak lampu. Itu lilin buat apa?
Sucipto: [sudah sangat gugup] Hm....begini tuan...itu lilin buat....peringatan kematian adik tuan Pranoto, tuan Rafi.
Pranoto: APA?! DIA MENINGGAL?!? KENAPA????
Sucipto: 10 hari yang lalu, dia jalan-jalan di ruang keluarga jam 1 pagi. Karena saya kira pencuri, saya pukul kepalanya pakai stik golf Dike punya tuan itu.
Pranoto: BOOOODOOOOOOOOOHHHHHHH!!!!!
Sucipto: Beribu-ribu maaf, tuan..
Pranoto: [akhirnya meledak marah] LAIN KALI KALAU KAMU MAU MUKUL ORANG, PAKAI TONGKAT BISBOL SAYA!!!! JANGAN PAKAI STIK GOLF ITU!!! MAHAL TAHU!! AWAS KALAU STIK ITU LECET!!!!
Sucipto: ??!?!?!!?!
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...